Hari-hari berikutnya kujalani dengan kerelaan hati, berusaha mensyukuri apa yang telah menjadi jalanku dan yang sudah tertulis dalam buku perjalanan hidupku. Aku menganggap semua ini adalah karena kehendak-Nya. Dan percaya bahwa di setiap keridaan, akan timbul keberkahan dan kebahagiaan yang selalu mengiring serta. Bismillah.
"Selamat pagi, Ma, ini Daisya buatkan teh hangat untuk Mama," ujarku pada mama yang baru keluar dari kamarnya dan berjalan mendekat ke ruang makan dimana aku berada.
Pagi ini, seperti biasa aku yang bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk keluarga suamiku.
"Papa, teh herbalnya ini ya," sambungku menyediakan teh yang sama pada Papa yang datang dari pintu halaman belakang membawa cungkir, seperti biasa papa senang merawat perkebunan sederhana di pekarangan belakang.
"Terima kasih," ujar Papa dengan senyuman.
Aku mencoba menciptakan suasana rumah yang ceria, hangat, dan bernyawa. Tidak peduli tentang apa isi hati dan apa kata mereka padaku dan keluargaku yang beranggapan jika aku ini punya niat jahat pada keluarga suamiku ini–termasuk anggapan menipu keluarga ini.
"Mama mau sarapan sekarang?" Tanyaku pada mama yang sedang menyesap teh herbal buatanku. Biasanya, mama tidak makan sepagi ini. Mama akan makan di waktu menjelang siang karena menghindari gula darah yang meninggi.
"Mama mau itu roti isinya, separuh aja tapi ya," ujar mama mertuaku. Selagi aku menyiapkan sarapan untuk suamiku, aku juga menghidangkan separuh roti isi di piring mama.
"Terima kasih, Nak," mama mertuaku yang sekarang bersikap lebih baik daripada awal pernikahan, beliau lebih bisa menerimaku menjadi menantunya karena aku yang selalu menurut dan tidak pernah menuntut.
"Aku pergi dulu ya, jangan kemana-mana selagi aku tidak ada di rumah," ujar Mas Rezky yang berpamit padaku. Aku mencium tangannya dan mengantarkannya sampai ke halaman depan.
Sampai dia masuk ke dalam mobilnya, aku masih menunggunya sampai dia benar-benar pergi. Klakson dibunyikan dan aku melambaikan tangan disertai senyuman yang menenangkan untuk melepas kepergiaannya.
Saat mobil yang dikendarai suamiku telah pergi dan lenyap dari pandangan, fokus mataku beralih pada halaman yang terlihat kotor karena sampah dedaunan yang berguguran yang berasal dari daun pohon mangga yang telah layu dan kering.
Aku mengambil sapu dan serokan untuk menyapu halaman sekalian, bersamaan denganku yang menikmati pekerjaan rumah dengan bersenandung ria lagu-lagu lawas yang aku suka. Kali ini aku menyanyikan lagu dari penyanyi lawas Ida Laila yang sering kudengarkan saat abah menyetel radionya.
🎶🎶🎶
Kuakui, kau lelaki pencuri hati
Sehingga diriku ini terbuai mimpi oh terbuai mimpi.
Ingin hatiku, nana nanana...
🎶🎶🎶
Lupa-lupa ingat dengan lirik lagunya, sembarangan aku menyanyikannya tanpa peduli seperti apa urutan lirik yang benar. Tidak terasa daun-daun telah terkumpulkan.
Tidak lama, setelah halaman sudah bersih dan sampah telah terkumpulkan menjadi satu, aku mengambil plastik sampah dan menghimpun kumpulan daun-daun kering itu dengan tanganku untuk dimasukkan ke dalam plastik sampah besar sampai semuanya masuk ke dalamnya.
Kuletakkan kembali sapu ijuk dan engkrak ke tempat sebelumnya, tetapi saat sudah meletakkan sapu itu di pojok ruang di dekat undakan rumah, terlihat mama yang sedang berdiri di depan pintu rumah dan tengah melihatku.
Melihat beliau yang tengah memperhatikan gerak-gerikku, segera aku mencuci tangan pada kran air di halaman, lalu berlari padanya. Mungkin aku yang terlalu asyik sehingga tidak menyadari keberadaannya.
"Mama, maaf, Daisya lagi nyapu. Mama mencariku?" Tanyaku.
Mama menggeleng, "Mama lagi lihat kamu, bisa nyanyi ya?" Tanya mama dengan meseman di bibirnya.
"Nggak kok, Ma, suka aja. Sering dengar lagunya jadi terngiang-ngiang," jawabku tidak enak hati.
"Suaramu bagus," ujar mama.
Apakah itu sebuah pujian atau sindiran ya? Jadi, malu deh.
"Kamu masih punya uang?" Tiba-tiba mama bertanya, biasanya aku meminta uang saat mama menyuruhku belanja. Maklum, suamiku tidak sebaik itu yang jika dimintai uang belanja tidak selalu ada dan langsung memberikannya padaku–karena dia takut jika aku akan memberikan uang itu pada keluargaku. Dasar pelit!
"Masih ada simpanan kok, Ma," jawabku jujur. Uang-uang yang kudapatkan dari mama, papa, dan suamiku kukumpulkan dan dipakai sekadarnya saja jika ada kebutuhan, selain itu aku tidak memakainya untuk membeli keperluan ku, kebetula aku bukanlah wanita yang suka dan pandai berias, jadi, lebih hemat karena tidak perlu beli lipstik warna-warni, bedak, lotion, dan semacamnya.
Mama merogoh saku dasternya, mengambil dompet kecil bekas wadah perhiasan emas yang sangat kukenal nama tokonya, tertulis di depan dompet tersebut.
"Ini uang untukmu. Buat tambah-tambah kalau kamu mau belanja, ya," Mama memberikan beberapa lembar uang berwarna biru padaku.
"Ayo, cepat diambil," pinta mama tidak sabar dan langsung meraih tangan kananku, menyelipkannya pada tanganku.
"Mama, terima kasih, Ma," ujarku.
"Yuk, cepat, ikut mama belanja sayur ke depan." Ajak Mama menarik tanganku. Aku yang masih kucel dan masih memakai daster merah sebatas lutut berjalan berdampingan dengan mama mertua.
Semua mata yang berpapasan menunduk menyapa dan melihatku aneh, aku yang minder pun tidak enak hati kalau mama merasa malu membawaku, "Ma, Daisya masih pakai daster,"
"..." Mama hanya diam dan melirik sekilas kepadaku dari atas hingga bawah.
Kami tiba di pasar dekat rumah, hanya berjalan kaki beberapa langkah saja ternyata sudah sampai di bibir pasar.
"Mang, ayamnya sekilo, paha sama dada," ujar mama pada Mang-Mang di kios ayam potong.
"Bu Rohati, ini siapa?"
"Eee, siapa ini? Menantunya ya?" Kumpulan ibu-ibu yang berdaster tengah berbelanja di kios penjual ayam potong, mereka menyapa mama dan juga bertanya siapa aku.
"Iya, istrinya Rezky," jawab mama mertua.
"Iyaa euy, geulis pisan ieu teh," ujar ibu berdaster warna pink dengan anak kecil ingusan yang berada di gendongan. Meski terlihat kucel, jangan tanyakan berapa berat gelang emas yang terjejer di pergelangan tangannya.
"Amis, tapi–" ujar ibu berdaster pink yang lainnya, kali ini warnya pink lebih tua, ya, sebut saja ibu berdaster magenta.
"Tapi, apa Bu Han?" Ibu berdaster merah muda bertanya.
"Tapi, eneng ini teh janda atau perawan sebelumnya? Punten, katinggalna janda, muhun?" ujar orang itu. Mama dan aku diam.
Tidak ada sautan apapun, dia kembali berucap, "Punten, abi teh, Bu Rohati. Mulut ini sukanya kelewat, uh," ibu itu menampar mulutnya sendiri berkali-kali.
"Kenapa berpikir begitu?" Mama yang semula tersenyum, kini burujar dengan wajah yang marah.
"Wajahnya pucat, tidak segar seperti gadis-gadis lainnya. Jari-jari dan telinganya merah, kata eyang di keluarga suami, kalau gitu itu tuh bukan gadis kitu. Ya, bukan gadis baik kitu mah. Ini kata keluarga saya yang di kampung ya, nenek moyanglah. Sebagian bilang kitu, bukan di sini Bu Rohati. Beda, si eneng mah gadis baik, amis pisan, beda," ucap ibu itu yang merasa tidak enak sendiri padaku dan Mama.
Baru ibu yang satu menutup mulutnya, ibu yang lainnya malah berujar, "atau mungkin Rezky itu salah pilih istri yak, Bu? Sepertinya bukan seperti ini menantu idaman yang sering Anda ceritakan, Bu?" Ibu berdaster magenta itu berbisik pada mama dan masih dapat kudengar.
Ya, kuakui memang menampilanku seperti pembantu atau apalah itu karena memang aku baru bangun tidur, masih terlalu pagi, dan ini pakaian dinas istri yang paling nyaman, bukan? Masa iya mau pakai blazer, kemeja, blus atau gaun mewah layaknya mau ke kondangan?
Mendengar ocehan orang-orang di pasar, membuat mama terlihat masam dan segera pergi setelah membayar ayam potongnya.
"Kamu lihat kan apa kata mereka? Lain kali berpakaian yang bagus, terlihat cantik, masih muda jangan pakai daster seperti itu. Pantasnya daster tuh umur semama. Malu-maluin aja!" Omel mama padaku, sebenarnya aku juga nggak akan pergi keluar rumah pakai daster ini kalau bukan mama yang mengajakku untuk cepat ikut.
Suasana hati mama sepulang dari pasar jadi tidak baik dan suram, mama terus marah-marah tidak jelas dan selalu mengomeliku saat aku di dekatnya. Mama mertuaku memang tipe orang yang mudah terbawa perasaan dan berlarut-larut dalam sebuah pemikiran. Seperti hari ini, mama habis-habisan mengomentari penampilanku dan mengatakan semua yang jelek pada diriku, padahal pagi tadi mama memuji suaraku.
Sembari memasak untuk menu makan malam, mama terus mengomeliku, "Daisya, kalau kamu bukan orang kaya alias miskin. Setidaknya berpakaianlah yang pantas, jangan seperti ibu-ibu atau janda anak 5 seperti tadi. Kan mama malu dikata menantu mama bukan perawan," ucap mama melebih-lebihkan karena yang kuingat, tadi ibu-ibu itu tidak bikang aku seperti janda anak 5.
"Tapu ya, itu benar, Ma. Kan aku sudah menikah dengan anakmu, jelas sudah kalau aku bukanlah perawan lagi. Mama ada-ada saja," ujarku dalam hati, kutanggapi semua omelan mama dengan sabar dan senyuman.
"Mama kan juga pengin punya menantu yang cantik, segar, sehat, ini malah dikatain janda karena pucat dan jarinya merah-merah," dumal mama seraya menuangkan kuah masakan ke telapak tangan kanannya dan mencicipnya dengan juluran lidah.
"Mama kan tahu, tadi pagi masih kucel dan belum sarapan. Aku lapar makanya pucat. Dan lagi, jari-jariku terlihat merah karena cuacanya dingin sedangkan aku memang dasarnya warna kulitku putih, jadi, kelihatan sekali kalau ada yang memerah. Tolonglah hamba-Mu ini, Tuhan," lagi-lagi hatiku yang mampu menanggapi.
Mama yang sibuk memasak dan mengomeliku, kini mengganti topiknya dengan pembahasan yang lain. Mama mencari-cari sesuatu sampai ke bawah kolong dapur, "mana ini spatulanya?" ujar mama yang celingukan.
"Ma, ini nanti ayamnya gosong kalau spatulanya terus mama kempit di ketiak," ucapku yang membuat mama tersenyum karena terlupa sendiri mengempit spatula di ketiak sebelah kirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments