Setidaknya, dia sudah berada di depan rumah selama satu jam lebih. Dari dalam, terkadang kuperhatikan dia yang gusar menelepon seseorang berulang kali dan beberapa di antaranya tidak mendapat jawaban. Mungkinkah dia sedang mencoba menghubungiku?
Lain dan lagi kuperhatikan langkahnya yang mondar-mandir di depan pintu seraya menggigiti kuku jarinya dengan cemas. Terkadang pula, dia yang kembali mengetuk pintu rumah ini untuk kesekian kali, kemudian akan duduk melantai di depan teras rumah yang hanya berlantai keramik berwarna hitam yang sangat panas karena terpaan sinar matahari di siang hari.
Aku terkekeh, melihat tingkah anak mamih itu yang kata papa mertua tidak pernah merasakan kesulitan selama hidupnya. Dalam sisi hatiku yang jahat, berkata, "hem, rasakan!" Ujarku merasa puas saat dia kebingungan mencari keberadaanku yang kabur dari rumahnya tanpa bisa dihubungi dan dia yang terlihat frustrasi padahal baru ditinggal belum genap sehari.
Tok tok tok.
"Permisi," setidaknya kata itu yang terus terdengar sejak tadi. Sekurangnya sudah berulang sebanyak tiga puluh lima kali.
Kurang banyak!
Mungkin putus asa, berakhir dengan suara keras di pintu yang bersumber dari kepalanya yang dia benturkan dengan sengaja karena saking galaunya.
Samar-samar kudengar tangisan lirih darinya. Apa benar semenyedihkan itu ditinggal olehku? Tidak! Aku tidak percaya. Kalau seperti itu, kenapa jika aku berada di dekatnya, dia akan bertindak kasar dan seakan tidak membutuhkanku selain menjadi pembantu dan partner ranjangnya saja?
Ya, aku tahu, yang dia cemaskan bukan hatiku, tapi hanya tubuhku dan kehadiranku yang mau menjadi pembantu di rumahnya.
Sontak aku menggeleng, memastikan jika aku akan baik-baik saja meski tanpa dirinya.
Satu sentuhan di bahu kanan berhasil mengejutkanku, ternyata mama. "Dia sudah pergi?" Tanya mama yang sama-sama melongok ke luar jendela.
Aku mengangguk, "Ma, tidak papa kan, ya, kalau Daisya bercerai dan jadi janda?" Aku meminta pendapat mama. Pasalnya baru sebulan usia pernikahanku, rasanya masih seumur anak jagung yang belum ada apa-apanya.
Mama hanya diam, sedangkan dalam pikiranku sibuk beranggapan nanti orang-orang akan menggunjingnya dan berkata, "dikira pernikahan itu buat main-main kali, ya? Cuma pengin enak-enaknya aja!"
Lagi-lagi mataku yang cengeng ini kembali menangis. Padahal timbang memperhatikan rasa khawatir dan sedih karena meninggalkan pria itu tanpa seizinnya, aku lebih banyak merasakan kesedihan saat tinggal bersamanya.
Jadi, seharusnya aku lebih bahagia setelah pergi darinya dan bisa bertemu dengan abah dan mama kapan saja tanpa ada yang melarang-larang, tapi itu berarti pertemuanku dengannya yang harus dibatasi mulai sekarang.
Apakah ini artinya aku akan benar-benar bercerai dengannya? Rasanya masih setengah-setengah karena masih segar di ingatan setiap kali dia bersikap lembut padaku dan menyatakan cinta walaupun pasti sedang ada maunya.
Setelah cukup tenang dan berdamai dengan hari ini, mama tidur bersamaku malam ini. Memelukku dan membiarkanku tidur di atas lengannya.
Dan ya, malam hari menjelang tidur kuaktifkan kembali ponselku. Tidak ada hal lain selain laporan 100 panggilan tidak terjawab dan puluhan pesan singkat yang baru masuk setelah paket data seluler kunyalakan.
Pesan dari Mas Rezky yang sungkan aku baca, tapi yang mencuri perhatian adalah saat Nabilah dan papa mertua yang sama-sama menghubungiku dan mengirimkan beberapa pesan padaku. Aku membuka terlebih dulu pesan singkat dari papa mertua.
"Nak, kamu dimana?" 4.06 pm.
"Angkat telepon papa." 4.45 pm.
"Rezky mencarimu ke mana-mana, tapi tidak kunjung ketemu. Sampai sekarang dia masih mencarimu, dia sangat khawatir. Tolong beritahu dia jika kamu baik-baik saja. Papa percaya, kamu bisa menjaga diri." 8.47 pm.
Disusul dengan laporan, "7 Panggilan tak terjawab" dari nomor papa mertua.
Selanjutnya, kubuka pesan dari Nabilah.
9 Panggilang tidak terjawab
"Mbak, mbak dimana?" 7.08 pm.
"Tadi, Mas Rezky nanyain mbak ke aku. Dia terlihat sangat berantakan, kalian sedang bertengkar?" 7.08 pm.
Ini yang terakhir, aku membuka pesan dari Mas Rezky. Saat sedang membaca satu per satu pesan yang dia kirimkan, tiba-tiba di notifikasi bar muncul panggilan masuk darinya. Tidak sengaja, aku menekan layar dan menggeser ikon hijau yang berarti sambungan telepon terhubung.
Posisiku yang semula berbaring memunggungi mama, terlonjak bangkit seketika. Untunglah tidak membuat mama serta merta bangun karena terkejut.
Aku keluar dari kamar dan menuju ruang depan untuk berbicara dengannya.
"Halo, Daisya. Daisya, sayang, kamu dimana?" Tidak pernah kudengar darinya kalimat yang sekhawatir ini sebelumnya.
"Halo, halo, kamu dimana sekarang? Aku jemput sekarang, ya? Katakan sekarang juga, Yang."
Sebenarnya, aku tidak mau membuatnya khawatir seperti itu, tetapi aku juga tidak ingin kembali bersamanya.
"Kamu dima–"
"Mas, dengarkan aku. Aku baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir," ujarku menenangkannya.
"Iya, iya, aku tahu. Syukurlah kalau kamu baik saja. Katakan saja sekarang kamu dimana, biar kujemput, ya?"
"Tidak, tidak perlu. Aku tidak ingin pulang dulu," jawabku.
"Nggak bisa, Sya! Mana mungkin aku membiarkanmu pergi? Kamu istriku, sayang," ucapnya yang kudengar ada nada gemetar karena tangisan.
"Katakan saja, ayo, kita pulang bersama. Jangan membuatku gila, Sya. Pulanglah," ajaknya dengan suara yang melembut, selembut saat dia menginginkan sesuatu dariku.
"Tidak sekarang, Mas. Kamu istirahatlah, tidak perlu mencariku. Assalamualaikum," kututup telepon itu secara sepihak tanpa mendengarkan apa respons darinya.
Di ruang tamu yang gelap itu, aku terduduk bersandar pada sofa rumah kontrakan itu. Menangkup wajahku dengan kedua telapak tanganku dan aku pun pada akhirnya....
Menangis, hanya bisa menangis dan terus menangis. Kuakui jika aku ini lemah dan suka menangis.
Lantas, satu bunyi notifikasi pesan masuk terdengar melengking.
"Kalau kamu tidak mau pulang sekarang tidak papa, tapi katakan padaku dimana kamu sekarang? Hanya ingin memastikan kamu aman dan baik-baik saja." 10.59 pm.
Tidak ingin membalas pesan itu, atau dia akan datang menjemputku malam ini juga. Aku tidak mau secepat itu.
"Tolong bantu aku untuk beristirahat dengan tenang malam ini setelah mengetahui keberadaan dirimu, sayang🙏🙏😔." 11.10 pm.
"Di rumah kontrakan abah," balasku singkat. Dari keterangan pesan, ia langsung membacanya dan tidak ada jawaban selanjutnya.
Namun, beberapa menit berlalu, satu dering notifikasi pesan masuk kembali terdengar.
"Baiklah, besok aku berkunjung," 11.40 pm.
Mengapa harus aku yang minggat dulu, barulah kamu mau berkunjung ke rumah ini? Memang rumah ini jauh lebih kecil dan jauh dari kata layak dibanding rumah orang tuamu, tapi disini aku merasa lebih nyaman dan tenang karena tidak ada yang namanya kepalsuan. Senyum kepalsuan, tawa kepalsuan, hingga segala drama kebahagiaan yang penuh dengan kepalsuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments