Saat aku keluar dari rumah itu, derap langkahku terhenti seketika saat tubuhku menabrak sesuatu. Papa mertua.
"Nak, kamu mau kemana?" Tanya papa mertua menahan kedua bahuku.
"Kenapa pipimu lebam begitu? Ada apa? Ayo bicarakan di dalam rumah," ajak papa mertua memutar lenganku untuk kembali masuk.
Tubuhku memberat, aku tidak mau lagi masuk ke dalam rumah itu. "Tidak, Pa," ucapku menolak dan menangis dengan derasnya.
Tidak peduli posisi kami yang berada di luar rumah dan aku yang menarik koper besar serta deraian air mata ini, papa mertua memelukku. Mendekapku dalam pelukannya, mengelus punggungku berulang.
"Sabar, tenang. Jangan tergesa-gesa. Kamu tahu, Nak, tidak boleh mengambil keputusan saat keadaan marah," nasihat klise yang sering kudengar dari orang tua sejak dulu kala.
Papa masih membujukku yang berdiri memaku, "masuk, ya? Kita bicarakan baik-baik, bagaimana?"
"Ayo?" Ajak papa mertua menggandengku, mengambil alih koper yang kupegang dan ditarik oleh beliau.
"Pa, Daisya nggak mau ketemu sama Mas Rezky dulu," ucapku dengan tangisan. Lagi-lagi tangisanku ikut serta saat mulut ini ingin berbicara. Namun, papa mertua hanya diam.
Di dalam rumah, anak dan istrinya sedang duduk di ruang tengah dengan ditemani suasana rumah yang tegang. Mama mertua yang selalu menemani putranya itu, sedangkan pria itu–suamiku, dia terkejut dengan keberadaanku. Dia berlari padaku dan hendak memelukku.
"Sayang, maafkan, aku," ujarnya seraya ingin mendekapku. Namun, aku menolak. Menyingkir ke belakang tubuh papa.
Menggeleng dan menyembunyikan wajahku di balik punggung papa mertua.
"Papa ingin bicara denganmu, Rezky," ucap papa mertua dengan tegas.
Melihatku yang tidak mau disentuh olehnya sama sekali, mas Rezky terlihat kelimpungan. Sebenarnya, aku melakukan itu secara spontan karena trauma jika nanti harus mendapat pukulan–lagi–darinya.
Bukan kali ini saja, tapi setiap dia marah tingkahnya menjadi membabi buta dan menggila. Melihatku bukan seperti manusia yang mempunyai perasaan dan saraf rasa sakit sehingga dia bisa melakukan kekerasan sesuka hatinya.
"Daisya, masuklah ke kamarmu. Istirahatlah," perintah papa.
Aku menurut, berjalan menarik koperku yang benar-benar berat dan tidak sanggup kubawa naik ke lantai dua.
"Biar nanti suamimu yang membawa ke atas. Jangan lupa obati lenganmu, Nak," sambung papa mertua yang melihat lengan gamis berwarna kuningku berubah kemerahan karena bercak darah.
Di dalam kamar, aku mengguyur lukaku dengan air hangat yang mengucur pelan dari shower. Terasa perih, tetapi dapat kutahan. Bekas kuku-kuku jarinua menghujam tajam menusuk kulitku. Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di tubuhku.
Aku berdiri di depan cermin rias dan menempelkan kapas dengan tetesan obat merah pada lukaku.
"Ish," terasa perih saat pertama kali kutempelkan kapas itu pada lukaku yang terbuka.
"Biar kubantu," satu tangan menyambar kapas di meja dan meneteskan obat merah yang sama. Dia ingin melakukan hal yang sama untuk merawat lukaku.
"Tidak usah," aku memundurkan lenganku.
"Biar aku bantu rawat lukamu," dia memaksa. Bukan tabiatnya kalau tidak ada pemaksaan kehendak. Meski kali ini dengan gerakan pelan menarik lenganku yang baik-baik saja, dia merawat lukaku dengan perlahan karena tahu aku yang meringis menahan perih.
Sebenarnya, perih yang kurasakan bukan hanya di lengan, tetapi sampai ke dalam lubuk hatiku. Sampai tanpa terasa air mata yang menetes menyiratkan seberapa lara luka hatiku yang tidak bisa diobati dengan obat merah saja.
Wajahku yang menghadap ke samping, membuat tetesan air mata mengenai punggung tangannya. Seketika aku malu karena air mataku yang menetes tanpa restu itu mengundang lirikan matanya beralih menatapku, segera kuusap bekas-bekas yang tersisa.
"Maaf, tidak sengaja," ucapku yang malah membuat air mataku menetes lebih deras.
Dasar, lemah! Aku memaki diriku sendiri. "Kalau tahu hatiku sedang lara, tolonglah kerja samanya duhai air mata, janganlah kamu keluar tanpa seizinku yang membuatku terlihat selemah itu."
"Kamu banyak tersakiti karena aku," ucap Mas Rezky padaku.
"Benar kata papa, harusnya aku tidak memperlakukanmu seperti ini," imbuhnya.
"Sekarang, katakan apa yang kamu mau? Aku tidak akan melarangmu lagi," ucapnya.
"Pulangkan saja aku, Mas," ujarku singkat.
"Maafkan suamimu ini, tapi untuk yang itu aku tidak bisa melakukannya," ucapnya di akhir, sebelum dia pergi dari kamar ini.
Malam ini, aku tidur sendiri. Setelah kepergiaannya tadi, dia tidak datang kembali. Baguslah, ia memberikanku ruang untuk menangis dan meluapkan segalanya malam ini. Berharap, besok pagi semua luka dan kesedihan ini dapat sirna.
Nahas, pagi hari saat terbangun mataku sembab bukan main. Aku yang masih berdiri di depan cermin memandang miris penampilan diriku yang mengenaskan; pipi kiri yang lebam bekas tamparan hingga masih terasa kebas sampai ke bagian gusi dan sulit untuk digerakkan, lengan dengan luka terbuka yang terasa perih.
Bahkan di atas ranjangku yang bersprei putih bersih itu, meninggalkan jejak darah yang mengering karena semalam aku tidur dalam posisi miring.
Aku rasa tidak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah tindak kekerasan dalam rumah tangga. Aku tidak mau kejadian ini berulang di kemudian hari.
"Abah, Mama, apakah pulang adalah jalan terbaiknya?" Ucapku pada diri sendiri di depan cermin.
Pintu kamarku tidak–mungkin–kukunci dan koper besar yang semula berada di lantai bawah, sekarang berada di sudut ruangan di dekat pintu. Itu berarti, semalam Mas Rezky masuk membawakan koper itu saat aku sudah tertidur.
Kali ini tekadku bulat untuk pergi dari rumah ini, pergi dari hidup Mas Rezky, dan memutuskan hubungan dengan keluarga ini.
Nasib baik. Barang-barang dalam koper itu masih dalam keadaan rapi. Jadi, aku tidak perlu mengemas ulang barang-barang yang aku bawa. Kubawa keluar koper yang sama dan menuruni tangga rumah, kondisi rumah yang sepi membuatku mudah melarikan diri.
Apa ini salah? Tidak! Aku mengambil jalan yang tepat, daripada bertahan dengan kesakitan fisik dan batin. Aku butuh sebuah tindakan untuk menyelamatkan diri dan menjaga kewarasan mentalku, maka inilah caraku–dengan kabur.
"Nona, mau kemana?" Suara itu mengejutkanku sesaat, tetapi masih selamat karena dia hanyalah pembantu rumah ini.
"Jangan bilang-bilang, ya, Bi. Biarkan aku pergi," pintaku dengan memohon.
"Non, jangan seperti ini. Nanti saya yang kena marah nyonya, Non. Jangan seperti ini, Non," ucap bibi–satu-satunya ART rumah itu–bibi itu menahan satu tanganku supaya tidak pergi. Namun, taksi pesananku sudah datang.
"Nona, jangan, Nona. Nona tidak boleh pergi, Tuan bisa marah besar," pinta bibi sedikit menarik pergelangan tanganku untuk tetap tinggal.
"Bi, tolong jangan tahan aku. Sudah cukup aku dibuat sengsara di sini, bibi melihatnya sendiri 'kan? Salah jika bibi menahanku disini dan aku akan mati kaku. Bibi tidak kasihan?" Ujarku.
Maaf jika aku terkesan playing victim, tapi inilah yang terjadi padaku. Rasa sakit oleh kekerasan secara verbal dan fisik yang aku dapatkan dari mama mertua dan suamiku sendiri menjadi alasan mengapa aku memutuskan untuk pergi.
Akhirnya, aku bisa menghempaskan tangan bibi dan segera membawa pergi koperku. Dengan supir taksi yang sigap memasukkan koperku ke dalam bagasi, memermudah segalanya dan menghemat waktu sebelum ada orang lain yang melihat. Mungkin, inilah bukti jika Tuhanku rida atas keputusanku untuk pergi dari rumah ini.
Di dalam taksi aku menangis tersedu-sedu, sedih melihat rumah yang sebulan ini aku tempati an kurawat seperti rumah sendiri. Namun, lebih sedih lagi jika kuingat perlakukan mama mertua dan anaknya yang seringkali bertindak semena-mena kepadaku.
"Cukup, Ma, Mas," ujarku pada diri sendiri.
"Tisunya, Mbak," seseorang menyodorkan kotak tisu padaku, tidak lain ialah supir taksi yang memakai topi biru tua berlogo perusahaan otomotif yang aku tumpangi.
Kutarik beberapa lembar tisu itu dan berujar terima kasih.
"Keputusan mbak sudah tepat. Pergi untuk sementara tidak akan menjadi masalah karena menghindar untuk menenangkan pikiran yang berjubel itu perlu," ujar supir taksi tersebut.
Aku tidak menanggapi karena bagiku itu bukan urusannya, apalagi dia hanyalah supir taksi yang sedang kusewa jasanya. Dia bukan siapa-siapa dan tidak berhak mengomentari hidup penumpangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments