Kalau sudah jadi istri, jadilah istri yang solehah. Mama akan selalu mendoakan kamu, sayang. Sering-sering datang ke sini, ya, jenguk mama abah. Kami mungkin tidak bisa datang ke sana, Nak, karena kami nggak ada uang untuk menyewa mobil. Walau kamu tinggal bersama keluarga barumu, Daisya akan tetap jadi anak mama, sayangku.
Kalimat yang terngiang-ngiang di telingaku. Mama yang mengatakannya saat sebelum aku diboyong ke rumah suamiku, di sini. Aku benar-benar merindukan orang tuaku.
Dulu sebelum menikah. Sore-sore seperti ini, biasanya kami sedang berkumpul di ruang tengah mengobrol dan menikmati teh hangat bersama. Abah begitu menyukai teh manis buatanku, begitu juga mama, kakak, dan adik-adikku. Mereka selalu memuji teh hangat dengm rasa manis pahit khas buatanku.
Selalu ingat dengan apa yang abah katakan jika kami sedang berkumpul, "anak-anak abah nanti jadi orang sukses semua. Suaminya baik, soleh, kaya raya," dan kami serempak mengaminkan dengan keras. Tidak terasa air mataku mengalir deras dan dadaku berdenyut nyeri sangkin kangennya.
Nabilah–adik pertamaku yang bisa dikontak erat. Di rumah, hanya ada Nabilah yang pegang smartphone. Abah masih menggunakan ponsel jadul, sedangkan mama tidak pegang hape sama sekali. Bisa dibilang kedua orang tuaku memanglah gaptek.
"Assalamualaikum. Buy, sedang apa?" Aku mengirimkan pesan padanya. Buy‐Buy adalah nama kesayanganku padanya.
Beberapa saat kemudian, ponselku mendapat notifikasi pesan beruntun, ternyata dari Nabilah.
"Waalaikumsalam. Mbak Daisya! Aku rindu, lho!😭"
"Mbak sedang apa di sana? Kapan ke sini? Abah mama tanya mbak Daisya terus, kenapa nggak ke sini?"
"Mbak, ayo, kita ketemu😣"
Aku tersenyum, adikku ini memang berlebihan sayangnya padaku. Mungkin dia akan marah besar jika aku menceritakan apa saja yang telah terjadi padaku selama di sini.
Belum sempat menjawab pesannya, dia meneleponku. Kuangkat, "Halo, Buy, kabar kamu bagaimana? Abah Mama?"
"Kabar kami di sini baik, mbak. Mbak baik di sana?" Tanya Nabilah padaku. Dia seperti mau menangis sangkin kangennya padaku, aku juga sama, Buy.
"Abah mama mana? Mbak mau bicara," ujarku.
"Sebentar, mama di belakang. Ma, mbak Daisya menelepon," suara Nabila terdengar saat menyerahkan telepon pada mama.
"Halo, sayang. Daisya apa kabar di situ, sayang? Nggak kesini?" Suara mama yang lembut dan selalu memanggil anak-anakknya dengan 'sayang' membuatku rindu benar.
"Halo, Ma. Daisya sehat di sini, baik-baik saja. Mama abah sehat, ya?" Ujarku basa-basi hanya ingin mendengar suara mama lebih lama.
"Sehat, Nak. Kemarin darah tinggi abah naik, biasalah makan daging kambing di acara prasmanan. Alah, orang abahmu itu susah dibilangin," tutur mama.
Abah sakit dan aku belum sempat datang. Aku larut dalam lamunan.
"Halo, Daisya? Nabilah, ini gak da suaranya?"
"Sinyal kali, Ma!"
Aku mengusap air mataku yang sempat menetes sebelum akhirnya mencoba mengontrol emosiku dan kembali berbicara dengan mama, "halo, Mama?"
"Iya, halo? Tadi nggak ada sinyalnya, Kak. Iya, kemarin ini abah kambuh. Demam seharian, ya karena itu makn daging kambing kebanyakan. Ini sudah mendingan, tuh lagi di sawah," kata mama.
"Kamu sedang apa, Nak? Kapan ke sini?" Pertanyaan ini yang tidak bisa kujawab.
"Mungkin nanti, Ma. Di sini sedang banyak acara, saudara juga lagi pada pulang," alasanku. Padahal, tidak pernah kutahu kapan aku bisa ke sana.
"Oh iya sudah, kapan-kapan ke sinilah. Abah mama kan kangen sama kamu, sayangnya abah dan mama nggak punya ongkos buat datang ke rumahmu," ujar mama.
"Iya, mama nggak papa. Apa yang terjadi di rumah, Ma? Semuanya aman?" Tanyaku, kutahu keadaan rumah tidak selalu baik saja. Kehidupan perekonomian kami yang tidak stabil, membuatku selalu teringat saat-saat tidak bisa makan dan itu bukanlah hal yang asing.
"Ini, Kak. Barangkali kamu punya uang. Mama lagi bingung mau bayar uang sekolah adik-adikmu, mereka belum bayar uang bulanan," ujar mama lirih.
Sudah kuduga, mereka pasti sedang kesusahan. Setiap bulan selalu ada tanggungan entah itu uang sekolah, listrik, atau air. Sayangnya, aku tidak boleh bekerja setelah menikah, jadinya susah buat bantu-bantu keluarga.
"Berapa, Ma?" Tanyaku. Uang sekolah Nabilah cukup besar karena dia masuk ke sekolah swasta yang banyak mengeruk uang. Dampak dari sistem zonasi dan pada saat itu tidak terlalu memusingkan karena abah masih bekerja di PT sebelum akhirnya di PHK saat zaman pandemi 3 tahun lalu.
"Paling tidak, Mama harus ada 1 juta, Kak. Kamu punya?"
"Daisya ada, Ma, tapi, itu uang belanja dari Mas Rezky. Daisya simpan untuk ditabung, nanti Daisya kirim ya, Ma," ujarku pada mama.
"Alhamdulillah, mama lagi bingung banget tadi, Kak. Untung kamu menelepon, Allah menolong Mama—"
Grab! Tut tut tut.
Aku terjetut, "Mas, apa yang kamu lalukan?" Aku yang tidak sadar jika dia telah datang, tiba-tiba menarik ponsel dari telingaku dan mematikan teleponku.
"Itu kan yang keluargamu mau? Uang, uang, uang! Mereka akan terus meminta uang dari kamu! Aku gak izinin!" Ujar Mas Rezky marah.
"Mas, tapi adik-adikku sedang sesusahan. Mereka membutuhkan biaya untuk sekolah," ucapku seraya bangkit dari dudukku dari ranjang.
"Bukan urusanku! Jangan pakai uangku," ujarnya seraya melepas dasi dari lehernya.
"Iya, bukan urusn kamu, tapi itu urusanku! Kalau kamu gak rela, aku akan ganti uangmu itu."
"Dengan cara apa kau mengembalikan uangku?"
"Bekerja!" Tegasku seketika.
"Kamu tahu, aku gak izinin kamu bekerja!" Dia ikut memekik.
Dengan napas yang sesak, aku mendekat padanya, "tega sekali kau mempersulit hidupku?Sejak lahir kamu sudah menjadi orang kaya kare itu kau tidak pernah tahu rasanya jadi orang miskin yang selalu hidup dalam kebimbangan. Dan apa kamu tahu, mas? Di sebagian hartamu ada hak mereka," tudingku ke sembarang arah.
"Tidak usah kau ajarkan aku. Suruhlah bapakmu minta pada menantunya yang pengusaha batu bara atau yang di perminyakan itu. Sana, jangan minta uangku," ucapnya.
"Pelit!" Cibirku.
"Kalau kamu terus seperti ini, boleh tidak boleh, aku akan bekerja supaya punya uang sendiri dan bisa bantu keluargaku tanpa minta duitmu!" Tegasku sebelum meninggalkan kamar dan berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Brengsek! Istri kurang ajar!" Bentaknya keras hingga terdengar sampai ke lantai bawah.
Di lantai bawah, aku tidak tahu jika dia tengah mengejarku. Dan tanpa sadar, dia menggenggam pergelangan tangaku secara paksa. Menyeret tubuhku yang sudah terjauh di lantai untuk keluar dari rumah ini.
"Pergi kau kalau maumu seperti itu! Pergi dan pulang sana ke rumah orang tuamu yang melarat itu," ucapnya seraya menyeret paksa diriku meski aku mencoba bertahan dengan berpegangan pada benda-benda yang aku lewati.
Papa keluar dari ruangannya, berlari ke bawah dan melepaskan tangan pria itu dariku, "hei, ada apa ini?!" Lerai papa mertua.
"Rezky, apa yang kau lakukan pada istrimu?!" Papa merentangkan diri di depanku untuk mencegah dia yang akan melempariku dengan vas bunga dari meja ruang tamu.
"Wanita itu tidak tahu diri, Pa! Dia wanita ular yang akan memoroti keluarga kita, Pa! Tidak sudi dia menjadi istriku! Pergi, kamu! Dasar wanita brengsek!"
Mama mertua datang memburu anaknya, memeluknya dan mengelus dada putranya. Aku hanya bisa menatap mereka, "sudah, Nak. Tenang-tenangkan dirimu, kamu laki-laki. Masih banyak wanita baik yang bisa kamu nikahi, biarkan saja jika dia seperti itu. Carilah yang lain, kamu laki-laki," Mama mertuaku terus mengelus dada anak kesayangannya itu.
"Rezky, kamu tidak boleh seperti itu. Dia istrimu, tanggung jawabmu. Kalau dia berbuat salah, ajarkan apa yang seharusnya. Bukan malah memakinya," Papa berbicara tegas, tetapi tenang. Tidak ada bentakan dan suara keras yang keluar dari mulut papa.
Brak! Vas bunga itu terlempar di sisi tubuhku.
"Papa jangan membelanya, dia sudah berani melawan perintahku. Dia menantangku, istri macam apa seperti itu? Sudah cukup keluarga kita ditipu, diperas, dan kali ini dia akan merauk lebih banyak harta setelah sah jadi istriku hanya untuk keluarganya yang melarat, itu tidak akan bisa!" Pria itu menggila dan terus berteriak menuduhku yang bukan-bukan. Aku menangis, hanya bisa menangis.
"Pergilah sana jika dia ingin menuruti semua keinginan keluargamu. Pergilah dan jangan kembali, kau akan menyesal setelah jadi janda! JANDA MISKIN! CUIH!"
"Sudah, Nak. Rezky anak mama, tenang. Jangan marah-marah. Nanti mama bantu kamu mengurus surat perceraian di KUA, tenang ada banyak wanita yang lebih dan lebih daripada dia," ujar sang mama mertua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments