Di rumah ini, tidak ada yang namanya kekurangan suatu apapun. Makanan, perabotan, bahan dapur, dan lainnya semua hampir ada, hanya kedamaian yang tidak ada dalam hatiku.
Seperti biasa, pagi-pagi selepas subuh, aku menyiapkan sarapan untuk dia dan keluarganya. Belum selesai berjibaku dengan omelet dan roti panggang yang menjadi menu sarapan, pekerjaan lainnya sudah memanggilku.
"Daisya, dimana kaos kakiku?"
"Di boks, biasa ada di tempatnya, Mas!" Aku yang sedang sibuk membolak-balikkan daging di pemangganga, hanya bisa menjawab dengan teriakan dari dapur.
Namun, mama mertua melihatku. "Kalau dipanggil mendekat, perempuan jangan suka teriak-teriak," nasihat mama mertua.
"Maaf, Ma, tapi ini..."
Spatula yang berada di tanganku diambil alih olehnya, "sudah sini, mama saja yang selesaikan,"
"Dimana, Daisya?" Suara suaminya kembali memanggilnya.
"Tolong ya, Ma. Aku akan ke Mas Rezky dulu," dipercayakan irisan daging di atas teflon panas pada mama mertuaku.
"Dimana?" Tanya pria itu lagi saat aku muncul dari balik pintu. Ternyata sejak tadi dia tidak berusaha mencari, hanya duduk di atas ranjang dan sibuk dengan ponselnya.
Kubuka lemari boks susun berwarna putih di samping lemari utama, terlihat tumpukan kaus kaki yang tersusun rapi dan baru semalam kurapikan.
"Mas, ini semua kaus kaki. Kamu mau mencari yang seperti apa?" Tanyaku.
"Oh iya iya iya, nanti kuambil sendiri," jawabnya tanpa melihatku dan terus sibuk dengan ponselnya.
Sebal! Waktu terbuang percuma hanya karena masalah kaus kaki yang sepele.
Barulah kaki ini melangkah turun beberapa tangga, suara itu kembali terdengar.
"Daisya, dimana dasiku?"
"Daisya!"
Aku mendengus kesal, terpaksa kaki ini berputar balik dan kembali ke kamar.
"Apalagi, Mas?" Ujarku lirih dan setengah hati.
"Dasiku yang warna biru, dimana?" Kini dia sedang mencari-cari di boks-boks kecil putih itu.
"Dimana?"
Aku tak menjawab selagi masih mencari keberadaan benda itu. Di tempat yang biasanya untuk menyimpan dasi, tetapi tidak ada yang cocok dengannya. Dia tetap menginginkan dasi biru itu.
"Adanya biru yang ini, mas mau biru yang mana?" Kutunjukkan 3 pilihan dasi berwarna biru, dari warna yang muda sampai tertua. Dia tetap menggeleng.
Aku yang lelah, lantas mendudukan diri di ranjang dan menyangga tubuhku dengan kedua tanganku. Kubiarkan dia sibuk mengacak-acak isi lemari dan mengeluarkan hampir semua isi di dalamnya dan nanti gantian aku yang akan membereskannya, itu hal yang seimbang.
Sekarang, dia menoleh padaku. Menatapku dengan kesal, "aku sibuk mencari, kamu kok enak-enakan duduk sih?" Dia membanting beberapa helai kemeja yang berada di genggamannya.
"Aku lelah, Mas, pakai yang lain dulu kan bisa?" Saranku.
"Apa kamu bilang? Lelah? Lebih lelah mana aku yang bekerja di luar ruangan dari pagi sampai petang untuk menafkahimu?"
"Mas, kok, kamu marah?" Ujarku bertanya-tanya.
Mengapa jadi adu nasib?
"Timbang carikan dasi saja sudah mengeluh lelah, aku gak nyuruh kamu cari uang atau ngemis di jalanan!" Sekarang suaranya memekik keras.
"Tidak tahu diri! Wanita tidak tahu berterima kasih kamu!" Tudingnya padaku.
"Mas, kamu kok marah begitu sih?" Tanyaku seraya mendekat padanya dan memunguti beberapa lembar pakaian yang tersebar di lantai.
"Gimana aku gak marah? Kamu ngremehin aku? Kau kira cuma kamu yang lelah? Aku juga! Aku bekerja pun demi kamu, memangnya selama ini kita mana pakai uang siapa? Orang tuamu? Cuih! Sana minta makan sama orang tuamu yang sok kaya itu!" Marah pria itu membawa-bawa orang tuaku.
"Mas kamu kok gitu sih? Sebenci itu kamu sama keluargaku, hah?" Kini aku menantang, memajukan tubuhku dan membuatnya mundur beberapa langkah.
"Dari awal udah kubilang, kalau mau batal nilah ya udah ayo! Kenapa jadinya berlarut-larut seperti ini?" Tantangku padanya dengan suara yang lebih keras.
Namun, tiba-tiba mama datang dan mendorong mundur tubuhku.
"Apa yang terjadi?"
Aku dan dia hanya diam. Malas melakukan oembelaan diri di depan orang yang sama sekali tidak pernah memihakku sejak awal.
"Dia berani sama aku, Ma," ujarnya yang mengadu seperti anak kecil.
"Kenapa kamu berani sama suamimu? Seharusnya kamu hormat sama suamimu, berkat dia derajat keluargamu diangkat tahu, tidak?!" Pekik mama mertua.
Sudah kuduga, pasti wanita itu akan membela anaknya. Tidak kudengarkan omelannya, beralih padaku yang menyibukkan diri melipas baju-baju milik pria kasar itu dan memasukkannya ke dalam lemari.
"Dan itu, perhiasan yang menempel di tubuhmu. Itu semua milikku, kembalikan padaku! Kau pasti akan menjualnta dan memberikannya pada keluargamu," ujar mama seraya mencabut paksa kalung dan gelang yang diberikan sebagai mas kawin pernikahan.
"Mas?" Aku tersentak saat leherku terasa sakit tersayat logam emas yang ditarik paksa dariku.
Sedangkan suamiku itu dengan kurang ajarnya, menjawab, "biarkan mama yang simpan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments