Hari-hari terus berganti, tetapi janji untuk datang ke rumah orang tuaku hanyalah bualan semata. Sampai detik ini, hal itu tidak pernah terjadi karena dia yang selalu pulang malam dengan alasan sedang ada lembur dan harus pulang malam.
Hampir beberapa hari ini, dia teratur pulang larut dan dengan keadaan yang sama. Terlihat lelah dan berantakan, tiada lagi kesempatan bagiku untuk bertanya kapan bisa datang ke sana ke rumah mertuanya.
Meski kutahu akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Tetapi saja, sore hari, aku menunggu kepulangan suamiku. Biasanya–jika tidak ada lembur–menjelang magrib dia sudah pulang dan aku akan menyambutnya jika sedang senggang.
Menyiram tanaman adalah cara terbaik untuk mengusir kegabutan daripada hanya menyangga dagu menanti kedatangan suamiku. Ide bagus!
"Assalamualaikum. Permisi, Mbak Daisya. Mas Rezky ada di rumah, Mbak?" Tanya seorang pria– tetangga depan rumah. Segera aku mematikan keran air untuk sementara supaya tidak berisik.
Aku mengernyit, tidak biasanya ada tetangga yang datang ke rumah tanpa kepentingan. "Waalaikumsalam. Pak Sekdes, Mas Rezky belum pulang, kok, Pak. Ada perlu apa? Nanti, biar saya sampaikan," jawabku sopan.
"Jangan panggil saya Bapak atuh, Mbak. Mas Bayu saja, minder saya kalau dipanggil Bapak sama orang seumuran," protesnya padaku.
Aku dibuat malu saat disindir secara langsung seperti itu. Kemarin, baru saja dikatain janda, sekarang dikatain seumuran sama pria muda. Itu lebih baik sih, ya. Namun, jika dilihat-lihat, aku dan Pak Sekdes ini memang usia kita tidak terpaut jauh. Mungkin lebih muda diriku 1 atau 2 tahun darinya.
"Oalah, saya yang tidak enak kalau begitu. Baiklah, Mas Bayu, ada perlu apa ya, Pak?" Tentu saja lidahku lebih terbiasa memanggilnya 'Bapak'.
"Hehehe. Ini, saya mau ngasih undangan pernikahan saya minggu depan. Di sini tertulis keluarga Mas Rezky, maksudnya ditujukan untuk semua dan tolong sempatkan datang ya, Mbak," ucapnya.
"Oh, muhun. Nanti saya sampaikan ke suami dan ibu bapak juga. Mau mampir dulu, Pak Sekdes? Eh, Mas Bayu?" Aku kelepasan menawarkan beliau untuk mampir. Semoga dia menolak, bisa-bisa aku kena marah sama keluarga suamiku.
"Tidak, terima kasih, Mbak. Titip salam saja untuk semuanya, mari..." Dia ternyata peka dan sangat sopan dia berbicara. Halus tutur katanya dan lemah lembut sikapnya, baru kali ini kutemukan satu makhluk yang membuktikan jika dia manusia yang memuliakan manusia lainnya.
Bahkan, suara salam itu menjadi pertama yang kudengar sejak kedatanganku kemari karena tidak pernah kudengar salam dari orang-orang rumah dan sekitar kecuali satu salam darinya kali ini.
Astaghfirullah, apa yang sedang aku pikirkan? Apa maksudmu, kamu mengaguminya, Daisya?
Semoga hanya sekadar rasa kagum.
Eits, jangan biarkan rumput tetangga lebih menggoda di matamu, Daisya!
Tin-tin! Suara klakson mobil suamiku berbunyi. Dia telah datang dan berpapasan dengan Pak Sekdes saat keluar dari halaman. Mereka tampak mengobrol dan tertawa ringan.
"Jangan terlalu dekat dengan pria lain," ujar Mas Rezky sesaat telah memasukkan mobil dalam garasi dan berpapasan denganku saat melangkah menuju ke dalam rumah.
...🍁🍁🍁...
Selama masih di rumah mertua, usahaku untuk mendatangkan warna baru tidak pernah berhasil sempurna. Semua yang kulakukan memang memberikan dampak yang baik, tapi hanya sesaat dan akan berakhir dengan tangisan yang aku dapatkan.
Namun, masih terlalu awal untuk menyerah.
Aku tidak bisa mengatakan jika rumah yang kutinggali suasananya kurasakan mirip seperti neraka. Tidak bisa karena aku tidak pernah tahu seperti apa neraka itu. Jadi, jangan asal mendoktrin.
Hanya bisa kukatakan jika di rumah ini hampir pernah ada kedamaian dan ketenangan hati yang kurasakan. Selalu gelisah karena dimana dan kapan pun selalu terdengar ocehan burung yang mematuk sudut hatiku. Baik di dalam atau di sekitar lingkungan rumah.
Seperti hari ini, tetangga dekat rumah menikah dan mama mengajakku untuk ikut menjadi rombongan seserahan ke rumah mempelai wanita yang lokasiny tidak jauh dari rumah mempelai prianya hanya berbeda desa saja.
Kami menjadi rombongan pihak mempelai pria–namanya Mas Bayu alias Pak Sekdes. Mas Bayu–begitu sekarang aku menyebutnya. Dia pria muda yang cukup populer di desa karena usianya yang masih muda dan merupakan perangkat desa yang menjabat jadi sekretaris desa.
Mas Bayu memang pria yang baik dan berwibawa, dia selalu menundukkan kepala saat kami berpapasan dan saat dia menyapaku–auranya berbeda jauh bila dibandingkan dengan suamiku. Apa aku mempunyai niat untuk selingkuh? Cukup! Huh, jauhkan aku dari hal hina itu Ya Tuhan.
Saat sampai di kediaman mempelai wanita, aku bersanding dengan mama berjalan masuk ke dalam rumah pengantin wanita, rumahnya memang tidak terlalu besar dan cukup sederhana berada di tengah desa, bukan di daerah perumahan atau rumah mewah bertingkat. Berbeda dengan rumah mama mertuaku, tapi lebih besar daripada rumah kontrakan orangtuaku karena ini memiliki halaman yang cukup luas sebagai tempat panggung pengantin.
"Bagus ya hiasanannya? Dekorasinya mewah, pasti mahal," bisik-bisik tetangga didekatku. Ya, mungkin hanya berselang dua atau tiga orang di sampingku.
"Katanya, maharnya emas 500 gram. Hebat banget mas Sekdes itu," puji tetangga lainnya.
"Padahal katanya, wanita ini belum lulus sekolah dan cuma sales obat herbal di pinggir jalan," lirih ibu-ibu di dekatku.
"Hih, beruntungnya wanita itu jadi istri mas Sekdes," lirih suara para ibu kompleks.
"Beda sama anaknya Bu Rohati kemarin, maharnya cuma seperangkat alat salat. Dan tuh, menantunya nggak dipakain perhiasan sama sekali. Gelang atau cincin pun tidak ada, padahal Bu Rohati gelangnya besar-besar," celetuk nyinyir tetangga rumah mertuaku itu.
"Hooh, harusnya menantu itu disayang, dimanjakan supaya tidak minta keluar. Sering terdengar keributan di rumahnya," bisak-bisik ibu-ibu yang tidak sadar jika aku dan mama berada di dekat mereka.
"Gimana dengan mbak Daisya itu sendiri punya mertua yang judes seperti itu pasti tertekan," ujar sinis tetangga yang duduk tidak jauh dariku. Apa mereka tidak mengenaliku? Atau mungkin merasa aku tidak mendengarkan karena aku yang sibuk memainkan ponselku di pangkuan. Pura-pura sibuk sajalah, tapi aku ingin melihat reaksi mama.
Kulihat mama menarik lengannya untuk menyembunyikan gelang-gelang emas yang dipakainya dan mama mengepalkan jari-jarinya supaya cincin di 8 jarinya tidak terlalu terlihat.
Begitu ikrar ijab qabul tersahkan, momen yang ditunggu-tunggu telah datang. Pengantin wanita yang menjadi pemeran utama dan ratu sehari digadang-gadang wujudnya.
1, 2, 3...
Tirai terbuka, menampilkan seorang wanita berkebaya putih dengan ronce melati yang khas. Mempelai wanita itu terus menunduk dan semua mata menantikan seperti apa rupa wajahnya. Dari gerak-geriknya sepertinya tidak asing di inderaku, seperti aku mengenal siapa dia.
"Duduk dan pasangkan cincin pernikahan kalian bergantian," arahan dari perias pengantin pada kedua mempelai.
"Cium tangan suamimu, Nak, lalu hadap ke kamera," perintah sang perias pengantin.
Mempelai wanita mengangkat kepalanya untuk menghadap ke kamera. Kebetulan sang kameramen berada tepat di depanku, sehingga wajah cantik istri pak sekdes bisa puas kupandang. Namun, ada yang aneh.
Wajah wanita itu tirus, kecil, dan tahi lalat kecil tipis di bagian ujung alis mata kanan sangat tidak asing bagiku. Balutan riasan di wajah pemilik wajah itu yang membuatku ragu untuk mengatakan, apakah dia itu adikku?
"Nabilah..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments