Menjelang sore, aku melihat Nabilah yang sedang duduk di halaman dengan Bu Djoko. Mereka sedang suap-suapan. Meski seringkali Nabilah menolak, tapi Bu Djoko terus memaksa Nabilah untuk membuka mulutnya lagi. Dengan bujukan dan usapan kepala, Nabilah mau membuka ulut dan menghabiskan makanannya.
Sebenarnya aku ingin bergabung bersama mereka.
"Dia sangat bahagia di rumah mertuanya," bisikku dalam hati.
"Daisya! Sudah selesai belum nyapunya? Cepat kemari, bantu mama membenarkan kacamataku ini. Bautnya terlepas, cepatlah!"
"Iya, Ma!" Sautku dari lantai bawah. Bergegas aku mendekat ke sumber suara mama mertua.
Aku yang berada di depan pintu kamar mama mertua bertanya, "Daisya bisa bantu apa, Ma?"
"Ini, baut kacamata mama terlepas. Coba kamu carikan di bawah ranjang ini," ucap Mama.
Mama yang duduk di atas ranjang dan aku yang mencarinya di bawah. Melongok ke dalam kolong ranjang. Baut sekecil itu memang susah untuk ditemukan di lantai berwarna putih ini.
"Ketemu?"
"Belum, Ma," aku menyalakan senter ponsel untuk menerangi kolong ranjang.
"Tidak ada, Ma," ujarku yang sudah mencari di bagian kolong.
Mama malah menatapku sewot, "cari yang benar! Orang tadi jatuh ke bawah, kok, mana bisa kamu langsung bilang nggak ada?"
Baiklah aku akan mencarinya sekali lagi. Memang benar baut itu tidak ada.
"Tidak ada, Ma," ucapku yang sudah mencari di bagian kolong sampai sekitarnya.
Toeng! Mama mertua menonyorku sampai aku terjungkal.
"Dasar tidak berguna! Cari baut saja tidak becus, bagaimana mengurus rumah tanggamu yang rumit itu?"
Mama bangkit dan mengusirku pergi, tapi sebelum aku pergi, kulihat baut itu ada di atas ranjang yang mama duduki. Ranjang yang bersprei putih bersih itu dapat dengan jelas kulihat baut kecil itu ada di atasnya.
"Ma, itu bautnya," tunjukku pada benda kecil di atas ranjang.
Mama mengambil tanpa berkata apapun lagi, aku pun sama. Setelah menemukan baut itu, mulutku bungkam dan segera kumelangkah pergi dari kamar mama mertua.
Dengan mata yang berkaca-kaca, hatiku sakit mendapatkan satu tonyoran kepala yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya.
Di dalam kamarku, aku sibuk menangis di bawah selimut. Dasar aku yang lemah karena tidak pernah dibegituka oleh kedua orang tuaku.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang menyentuh bahuku.
Apa itu mama mertua?
"Kamu menangis?" Ternyata suara suamiku.
Terperanjak, aku segera memeluknya.
"Kenapa menangis?"
Aku menggeleng meskipun jelas aku yang menangis tanpa bisa kuhentikan langsung pada saat itu juga.
"Ada apa? Mengapa menangis?"
Mamamu jahat padaku, aku tidak suka diperlalukan seperti itu. Andai bisa kukatakan itu secara gamblang padanya, tapi sepertinya dia tidak akan percaya padaku. Mestilah aku yang disuruh mengalah dan mengerti segalanya.
Aku bukan orang hebat yang bisa menerima segalanya; penghinaan, cacian, bentakan, amukan, bahkan tonyoran sampai aku terjungkal. Aku manusia, Mas.
Sapuan lembut di punggungku menyadarkanku seketika, dia mengusap kepalaku sampai bahuku memberi ketenangan dan kembali dia bertanya, "kamu kenapa?"
"Tidak papa, ingin menangis saja," jawabku. Semua tidak perlu diperpanjang, kadang aku berpikir tidak perlu semua orang tahu apa yang menjadi kesedihan hatiku. Belum tentu semua bisa membantu, jadi, cukupkan masalah berhenti di ku. Simpan untukku saja.
"Kalau menangis harusnya ada penyebabnya, kan?" Dia masih bertanya.
Aku menggeleng, "tidak ada,"
"Sungguh?"
"Iya, tidak ada apa-apa. Hanya ingin dipeluk kamu," jawabku meyankinkannya. Kurasakan pelukannya yang semakin erat pada tubuhku, saat itu itu hatiku yang sedih menjadi hangat.
Pelukan yang cukup lama dan kurasakan semakin damai saat ada kecupan-kecupan kecil di puncak kepala.
"Sudah?"
"Sudah, terima kasih," jawabku seraya menarik mundur tubuhku.
Benar, ya, hanya sebuah pelukan bisa membuat hati yanh sedih jadi damai dalam sekejap. Buktinya, setelah itu aku bisa tersenyum lebar dan melupakan semuanya.
"Sudah, jangan menangis. Di bawah sudah ada Nabilah dan suaminya, menunggu kamu," ucap suamiku.
Aku terperangah, "hah? Kenapa baru bilang? Kapan mereka datang?" Tanyaku dengan tergesa-gesa mengusap bekas air mata dan membenarkan penampilan.
"Tadi saat aku pulang. Kamu lagi nangis, mana mungkin aku langsung memberitahu?"
"Okey-okey. Cepatlah, Mas, ayo turun!" Ajakku.
"Aku mandi dulu sebentar, bau." Jawabku hanya anggukan kepala.
Di bawah, kulihat adikku dan suaminya yang sedang berbincang dengan Papa dan Mama. Aku yang turun seorang diri tersenyum lebar melihat adikku yang terlihat berseri-seri.
"Mbak?" Panggil Nabilah saat melihatku.
"Buy!" Kami berpelukan. Nabilah bahkan menangis di bahuku.
"Buy, rindu," ujar Buy-Buy padaku. Adikku yang dulu sangat manja padaku, kini dia telah beranjak dewasa.
"Kamu sehat? Bayimu sehat?" Tanyaku pada Nabilah.
"Baru menikah kemarin, kok, sudah hamil?" Mama mertuaku bertanya.
Semua orang diam, sedangkan Nabilah menundukkan kepala dalam-dalam.
"Kamu hamil di luar nikah, ya?" Tanya mama mertuaku yang to the point.
"Kami sudah menikah siri sebelumnya, kemarin hanya resepsi dan formalitas saja," pak sekdes–suami Nabilah yang menjawab. Pria itu merangkul Nabilah dan membawa adikku kembali duduk.
Semua orang kembali diam. Suasana menjadi canggung karena ulah mertuaku yang terlalu kepo, harusnya itu tidak perlu ditanyakan karena urusan mereka bukanlah urusan mama mertua.
"Ekhem, saya buatkan minuman dulu, ya?" Ujarku berusaha mencairkan suasana.
"Nabilah, pak sekdes, mau minum apa?"
Mereka bertatapan sebentar, "bebas, Mbak," jawab pak sekdes.
Suamiku turun dengan keadaan tubuh yang segar dan harum, "Mas?" Nabilah bangkit dan ingin mencium tangan kaka iparnya itu.
"Hai, Bil. Gimana kabarmu, sehat? Hem, pengantin baru, ya?" Ujar Mas Rezky mencoba melawak.
"Mas, gak sadar ya? Mas dan mbak Daisya kan juga penganti baru. Baru sebulan lalu," cibir Nabilah, meski lirih tapi aku bisa mendengar saat meletakkan gelas-gelas berisi teh manis untuk mereka.
"Terima kasih, mbak," ujar kedua tamunya.
Mas Rezky tidak menjawab, tidak ada yang tahu apa isi hatinya. Apakah dia sedang kesal sendiri atau merada tersinggung kah atau malah entah, aku tidak bisa menebak isi pikirannya.
"Alah, kamu bisa aja," begitu ujar singkat suamiku. Meski berulang kali dia memaki, membenci, menghina keluargaku, tetapi di depan Nabilah dia masih mau bersikap baik dan ramah. Apakah itu ciri orang munafik karena bermuka dua?
"Ini, Mas, Mbak Daisya. Kedatangan kami kemari untuk mengirim parcel dan sedikit makanan untuk keluarga kakak ipar," ujar pak sekdes.
"Eeeh, kok, repot-repot?" Ujar Daisya.
"Sudah tradisi, mbak, kata ibu disuruh seperti itu biar makin akrab dengan keluarga," jawab Nabilah. Ibu yang dimaksud adalah ibu mertuanya–Bu Djoko.
"Terima kasih, ya," ujar Mas Rezky. Biasanya setelah memberikan parcel seperti itu, maka pihak keluarga yang didatangai akan memberikan uang atau barang yang lainnya. Namun, kali ini suamiku membuka dompetnya dan memberikan beberapa lembar kepada Nabilah.
"Makan dulu, yuk, tadi mbakmu masak banyak," ujar Mas Rezky.
Awalnya mereka menolak karena tidak enak hati, tetapi akhirnya mau dan mereka makan makan di rumah mertua Daisya. Syukurlah, sayur sop yang sudah dimasak banyak tidak terbuang sia-sia.
"Dek, ini sayur sop ayam kesukaanmu, kan?" Tanyaku saat mengambilkan sop untuk Nabilah.
"Iya, ini suatu kebetulan ya, mbak masak sayur sop," kata Nabilah.
Sebenarnya memang sengaja aku memasaknya untukmu, untunglah kamu ke sini. Jadi, niatku tidak gagal.
Saat sedang tenang-tenangnya menikmati makan malam, mama mertua kembali bertanya. "Nak, kandunganmu sudah berapa bulan?"
"Belum ada sebulan, Tante," jawab Nabilah setelah berpikir sesaat.
"Oalah, syukur. Senangnya ya habis nikah bisa langsung punya anak, nggak seperti mbakmu ini yang sampai sekarang belum ada kabar kehamilan," ujar mama mertua yang kentara menunjukkan rasa kebenciannya padaku di depan adik dan iparku.
Semua orang diam.
"Adiknya lebih jago, ya, tolong berikan tips supaya cepat punya anak kepada mbakmu itu," tambah mama mertuaku.
"Ma..." Mas Rezky mengingatkan.
"Barangkali mungkin dia tidak tahu caranya atauada ganggung pada rahimnya atau mungkin dia mandul sehingga tidak lekas punya anak," sambung mama mertua membuat suasana makan malam yang hangat menjadi rusak karena diselimuti kecanggungan.
Astaghfirullahaladzim. Mama mertua selalu ada cara untuk mempermalukanku di saat ada kesempatan beliau berbicara.
"Mama, itu hal wajar karena kami baru menikah sebulan," ucap Mas Rezky yang memberi pengertian dan bergantian menatapku dengan sendu.
Malam hari setelah semua tamu pergi dan kami bersiap untuk tidur, mungkin Mas Rezky tahu jika aku masih sedih karena ucapan mama mertua. Di balik selimut dan di bawah cahaya temaram dia berkata, "Daisya, besok kita jenguk abahmu, ya?"
Aku yang semula terpejam, seketika melotot bulat. "Benarkah? Ayo!" Ujarku semangat.
"Iya, tapi syaratnya kita harus melakukan ritual pasutri dulu."
Tanpa babibu, Daisya segera bangkit, "ayolah!"
Malam ini, Daisya yang lebih mendominasi. Jika suasana hatinya sedang baik, maka jangan tanyakan lagi seperti apa pelayanannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments