Fitnah Mertua

Pada dasarnya, menyembuhkan hati yang kecewa itu tidaklah mudah. Tidak ada kata maaf, jika yang ada hanya dendam di dalam hati suamiku. Sampai saat ini, aku tidak bisa menyatukan dua keluargaku.

"Sekarang kamu yang harus memilih. Tinggal di sini bersamaku atau pulang ke keluargamu, lalu kita bercerai?" Ucapan itu keluar dari mulut pria yang telah menikah denganku sebulan ini.

Pagi hari bukannya kenyang karena sarapan, tapi malah kenyang dengan omelan. Padahal aku selalu berkata baik-baik padanya, hanya ingin mendapatkan izin untuk menemui orang tua. Akan tetapi, apa yang aku dapatkan? Hanya omelan yang berakhir dengan pertengkaran.

Memang antara keluargaku dan keluarga suamiku ini berjalan seperti perlintasan kereta api yang tidak pernah bertemu di satu titik yang sama. Keduanya seperti besi sejajar yang panjang tanpa pernah bisa disatukan. Lalu, bagaimana denganku? Ibarat aku adalah kereta apinya yang berlajan di atas kedua rel yang saling sejajar itu dan harus menempatkan diri di kedua jalur dengan pas dan tepat supaya tidak oleng.

Dengan lembut, aku menghadapi suamiku dengan sabar dan mungkin ini tidak akan ada akhirnya. "Bukan seperti itu, antara kamu dan orang tuaku bukanlah suatu pilihan," ujarku lembut memunguti benda-benda di lantai kamar yang dilemparkan suamiku karena mengamuk.

"Tapi, apa yang kamu lakukan? Tidak pernah kamu mau mendengarkan permintaanku! Kau selalu menentang dan berkali-kali meminta hal yang sama, apa ucapanku tidak ada artinya untukmu? Berapa kali harus kukatakan 'tidak'?"

Baiklah, kalau memang dia membutuhkan waktu untuk menerima semuanya. Menerima keluargaku, menerima kenyataan jika aku berasal dari keluarga miskin yang seharusnya tidak pantas bersanding dengannya.

"Baiklah, aku yang bersalah. Aku minta maaf, Mas," kuakhiri saja pertikaian ini dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi meminta izin padanya jika ingin pergi menemui keluargaku.

Aku tidak ingin ada pertengkaran selanjutnya hanya karena perizinan yang tidak kudapatkan. Biarlah aku akan datang diam-diam ke sana, walau tanpa restu darinya. Saat ini, di pikiranku hanya ada satu yang terlintas yaitu 'kematian'. Tidak ingin kumenyesal jika terus menuruti kemauan suami yang tidak pernah mengizinkanku untuk datang, maka aku akan tetap pergi walau tanpa kerelaan darinya.

"Aku maafkan, tetaplah di sini dan menurut denganku. Jangan membangkang karena aku sangat khawatir kehilanganmu," ucapnya memelan karena aku yang telah meminta maaf dan mengaku bersalah.

Setelah mengantar suami pergi bekerja, datang mobil tetangga yang baru saja sampai di depan rumahnya. Tentu, pasangan muda yang kemarin baru saja menikah. Nabilah dan suaminya.

Pak sekdes yang keluar dengan baju dinasnya yang berwarna khaki, lalu dia membukakan pintu mobil sebelahnya menampilkan Nabilah yang disambut lembut keluar dari dalam mobil.

Lalu, dari dalam rumah. Bu Djoko sedikit tergesa, mendekat pada sepasang suami istri itu. Memapah Nabilah yang sekilas terlihat lemas. Nabilah terlihat nyaman saat Bu Djoko alias ibunda Pak sekdes membelai perut Nabilah yang masih rata.

Dari mataku, dapat dilihat Bu Djoko yang mengucapkan banyak kalimat mengajak Nabilah berbincang dan mendapat anggukan berkali-kali dari Nabilah. Interaksi di antara ketiga orang itu menampilkan jika Nabilah diterima sepenuhnya di keluarga mereka.

Berbeda denganku. Ya Tuhan, apa maksudnya ini? Mana bisa dibanding-bandingkan seperti ini? Tolong, jauhkan hamba dari bisikkan setan jahanam.

Tidak berselang lama, Pak Sekdes yang mencium tangan ibundanya dan bergantian Nabilah yang mencium punggung tangan pria itu. Tidak ada balasan apapun dari Pak Sekdes, tidak sepertiku yang selalu mendapat kecupan di dahi setelah mencium tangan Mas Rezky. Berarti masih mending aku yang mendapat perhatian dari suami.

Hai, sudah kubilang! Jangan membanding-bandingkan!

Walau interaksi Pak Sekdes dan Nabilah masih terlihat canggung dan kaku, tapi aku cukup mengenal kedua orang itu. Pak Sekdes tidak pernah berperilaku kasar, dia tidak akan mungkin menyakiti Nabilah. Sedangkan, Nabilah? Jangan tanyakan bagaimana sifatnya, aku sudah bersama dengannya sejak dia masih bayi merah berusia satu bulan. Nabilah adalah adikku yang baik, polos, dan dia orang yang lurus.

Kunci ketentraman hidup berumah tangga sudah tercetak pada akhlak mereka berdua. Sudah dapat dikantongi urusan akhirat, dimana keduanya mempunyai sifat yang mirip. Hal yang seperti ini yang terkadang membuatku percaya pada istilah 'jodoh adalah cerminan diri'. Namun, bagaimana dengan diriku? Suamiku yang egois dan mudah marah itu, apakah dia seperti diriku? Entahlah, sudah cukup membandingkan hidupku dengan tetangga itu.

Nabilah terus menunduk di depan ibu mertuanya, dia memang anak yang baik dan tahu diri. Setelah kepergiaan pak sekdes, Bu Djoko menganggdeng Nabilah untuk berjalan masuk ke dalam rumah. Bu Djoko juga mengusap punggung kecil Nabilah berulang kali, menyandarkan kepala Nabilah pada bahunya. Bu Djoko adalah tipe mertua idaman yang menerima segala kekurangan menantunya, meski beliau tahu jika kandungan di dalam perut Nabilah bukanlah calon cucunya.

Turut bahagia, ada kelegaan yang kurasakan melihat kehidupan Nabilah saat ini. Dia mendapatkan keluarga baru yang baik dan menerima dia sepenuhnya, tentunya mereka keluarga yang berkecukupan. Jika dipikir, pernikahan itu lebih baik dan menjamin hidupnya daripada dia yang terus bersedih memikirkan biaya sekolah yang memusingkan dan tidak ada habisnya.

"Semoga adikku bahagia dengan pernikahannya," ucapku tanpa sadar dan keluar begitu saja dari dalam hati.

Untuk hari ini, di waktu makan siang aku memasak cukup banyak dengan menu sayur sop dan ikan goreng karena khusus hari ini aku ingin menyambut kedatangan adikku menjadi tetangga rumah.

"Buat siapa masak banyak-banyak?" Tanya mama mertuaku saat aku menuangkan irisan sayuran kol dan kentang ke dalam panci besar.

"Untuk mama," jawabku.

"Aku tidak makan sebanyak itu, Daisya," ucap mama mertua.

"Untuk adikku yang sekarang jadi tetangga rumah," ucapku jelas.

Mama mertua manggut-manggut dan menaikkan kedua alisnya dan mengeluarkan ponsel dari saku dasternya, beliau sepertinya akan menghubungi seseorang.

"Halo, Nak. Kamu sedang sibuk?"

"Halo, Ma. Tidak terlalu, ada apa?" Suara seseorang yang sangat aku kenal. Suamiku, mama sepertinya akan mengadukan aku pada suamiku.

"Ini istrimu. Dia mau memberikan makanan untuk tetangga depan rumah, Mas Bayu itu Mas sekdes,"

"Astaghfirullah, Ma. Bukan untuk Mas Bayu, tapi untuk isterinya–dia adikkku," ucapku membenarkan ucapan Mama yang mau mengadu domba aku dengan anaknya. Baru saja pertengkaran terjadi pagi tadi. Tolonglah, Ma, jangan pancing suamiku berpikir yang tidak-tidak.

"Mama tadi melihat istrimu memandang Mas Bayu yang sedang bersama istrinya di depan rumah sampai mereka pergi," tutur mama. Aku hanya menggelengkan kepala.

"Sekarang dia mau mengantarkan makanan ke rumah mereka dengan alasan adiknya baru jadi tetangga. Apa lagi kalau bukan ingin mencari perhatian?" Imbuh mama mertua yang benar-benar ingin mengadu domba anak dan menantunya.

"Hahah, baiklah. Coba mana istriku, Ma? Aku ingin bicara dengannya sebentar." Mama memberikan teleponnya padaku, aku terima.

"Halo, Assalamualaikum. Iya, Mas?" Ucapku membuka pembicaraan.

"Kamu jangan macam-macam, ya, selagi masih punya suami, jangan kegatelan. Apalagi berniat untuk selingkuh," ucapnya memeringatkanku.

"Bagaimana aku bisa selingkuh, sedangkan aku hanya di rumah dan melalukan pekerjaan rumah tangga saja," jawabku.

"Iya, walaupun di rumah tetap jaga pandanganmu, jaga kehormatanmu dan keluargaku–"

'Keluargaku?' Tidak pernah kau menyebut keluargaku juga. Benarkah hanya untuk keluargamu? Memangnya aku hidup untuk keluargamu saja? Keluargaku tentu masih aku pikirkan.

"Iya, itu tidak mungkin. Kalau kamu khawatir aku selingkuh, berarti kamu tidak percaya diri dengan dirimu sendiri," ucapku.

"Kenapa begitu?"

"Untuk apa selingkuh kalau aku sudah mempunyai suami yang tampan sepertimu? Kalau kau curiga aku akan selingkuh, berarti kamu tidak puas dengan dirimu sendiri dan menganggap kamu mempunyai saingan," jelasku.

"Hahaha, ya, kamu benar, sayang. Tunggu aku pulang, ya?"

Memangnya aku mau apa, kenapa harus menunggunya pulang?

"Okey, sudah ya, Mas. Lagi masak, nih."

"Iya, pokoknya kamu nggak boleh nganterin makanan ke rumah tetangga depan. Nanti kalau mau berkunjung bareng sama aku," ucapnya.

"Lalu, ini aku masak banyak untuk siapa?" Tanyaku

"Mama suka sekali sayur sop, mama siap menghabiskan. "

Aku menatap mama mertua dengan senyuman puas, "okey, dengan senang hati," ujarku sebelum mama menarik ponselnya dariku.

Episodes
1 Si Gadis Miskin
2 Kisah Sebelum Akad
3 Mertua Julid
4 Hari Menyebalkan
5 Kembalikan Mas Kawin
6 Tidak Boleh Berkunjung
7 Mama Mertua yang Kambuh-Kambuhan
8 Satu Permintaan
9 Pertengkaran
10 Memaafkan
11 Pernikahan Tetangga
12 Dia Adikku
13 Fitnah Mertua
14 13. Tradisi Ngirim
15 Rencana Perceraian
16 Pulang
17 Sejenak Terbebas
18 Ditinggal Sehari
19 Putus atau Terus
20 Plan A
21 Tawaran Kerja
22 Hari Itu Tiba (1)
23 Hari Itu Tiba (2)
24 Pillow Talk
25 Siapa Savana?
26 Clue
27 Pengakuan Mama
28 Teman Lama
29 Pemaksaan
30 Rencana Makan Malam
31 Double Date
32 Ayo Bercerai
33 Kesempatan Terakhir
34 Terungkap
35 Perubahan
36 Salah Paham
37 Terulang
38 Curhat
39 Penyelidikan
40 Terjeda
41 Pembuktian
42 Bukan Hanya Satu
43 Pengakuan
44 Boneka Kehidupan
45 Ketidaksempurnaan
46 Kembali Pulang
47 Bertemu Cyano
48 Memaksa Kejujuran Berbicara
49 Ada Lagi
50 Hampir Kehilangan
51 Akhiri Saja Drama Ini
52 Cuap-Cuap Penulis
53 Kerahasiaan Lain
54 Penjelasan
55 Zhafira Berbicara
56 Saat Terakhir
57 Season 2: Selepas Kepergianmu
58 Bukan Update, tapi Mau Promosi
59 Surat Untuk Cliantha
60 Hak Asuh
61 Wisata Ke Tempat Lama
62 Bertemu Sang Adik
63 Narendra
64 Di Luar Agendaku
65 Aku Ibunya
66 Tiga Anak Cukup
67 Tidak Diharapkan
68 Datang dan Hilang
69 Retak
70 Akar Masalah
71 Mencarimu
72 Komitmen
73 Sebuah Paket
74 Arti Melepaskan
75 Penentuan
76 Mewujudkan Impianku (END)
77 Cek Novel Lainnya
Episodes

Updated 77 Episodes

1
Si Gadis Miskin
2
Kisah Sebelum Akad
3
Mertua Julid
4
Hari Menyebalkan
5
Kembalikan Mas Kawin
6
Tidak Boleh Berkunjung
7
Mama Mertua yang Kambuh-Kambuhan
8
Satu Permintaan
9
Pertengkaran
10
Memaafkan
11
Pernikahan Tetangga
12
Dia Adikku
13
Fitnah Mertua
14
13. Tradisi Ngirim
15
Rencana Perceraian
16
Pulang
17
Sejenak Terbebas
18
Ditinggal Sehari
19
Putus atau Terus
20
Plan A
21
Tawaran Kerja
22
Hari Itu Tiba (1)
23
Hari Itu Tiba (2)
24
Pillow Talk
25
Siapa Savana?
26
Clue
27
Pengakuan Mama
28
Teman Lama
29
Pemaksaan
30
Rencana Makan Malam
31
Double Date
32
Ayo Bercerai
33
Kesempatan Terakhir
34
Terungkap
35
Perubahan
36
Salah Paham
37
Terulang
38
Curhat
39
Penyelidikan
40
Terjeda
41
Pembuktian
42
Bukan Hanya Satu
43
Pengakuan
44
Boneka Kehidupan
45
Ketidaksempurnaan
46
Kembali Pulang
47
Bertemu Cyano
48
Memaksa Kejujuran Berbicara
49
Ada Lagi
50
Hampir Kehilangan
51
Akhiri Saja Drama Ini
52
Cuap-Cuap Penulis
53
Kerahasiaan Lain
54
Penjelasan
55
Zhafira Berbicara
56
Saat Terakhir
57
Season 2: Selepas Kepergianmu
58
Bukan Update, tapi Mau Promosi
59
Surat Untuk Cliantha
60
Hak Asuh
61
Wisata Ke Tempat Lama
62
Bertemu Sang Adik
63
Narendra
64
Di Luar Agendaku
65
Aku Ibunya
66
Tiga Anak Cukup
67
Tidak Diharapkan
68
Datang dan Hilang
69
Retak
70
Akar Masalah
71
Mencarimu
72
Komitmen
73
Sebuah Paket
74
Arti Melepaskan
75
Penentuan
76
Mewujudkan Impianku (END)
77
Cek Novel Lainnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!