Jika tidak tahan dengan suatu keadaan, sedangkan kamu sudah berusaha bertahan dan memperbaiki keadaan tersebut, maka jalan terbaiknya adalah pergi untuk menjaga kewarasan daripada hidup dalam kekangan yang sarat akan penderitaan.
...🍁🍁🍁...
Mungkin ART itu langsung memberitahukan kepada orang rumah atas kepergianku yang membawa serta koper besar dan menggunakan taksi, serta tidak berpamitan mau kemana. Buktinya, baru lima belas menit perjalanan menuju rumah abah, mas Rezky meneleponku berulang kali. Pesan-pesan datang beruntun darinya.
Dari pop-up notifikasi smartphone-ku, dapat kubaca pesan-pesan singkat yang masuk darinya.
"Kamu mau pergi kemana?"
"Jawab teleponku."
"Tidak boleh seorang istri pergi dari rumah tanpa seizin suami. Angkat teleponku!"
Namun, berkali-kali aku biarkan dering teleponku berbunyi tanpa pernah berniat kujawab. Mungkin di panggilan yang ke 30, ingin aku menjawabnya sekali. Namun, belum sempat kuangkat, telepon itu telah terputus. Dan, niatku untuk menjawab telepon berikutnya aku urungkan setelah dia mengirimkan pesan yang membuatku malas berbicara dengan makhluk egois itu.
"Angkat teleponku, Daisya! Jangan kurang ajar kamu!"
Iya, akulah si istri kurang ajar itu sehingga aku pun berhak tidak mengangkat telepon darinya. Sesimpel itu menjadi istri kurang ajar baginya.
Setelah itu, beberapa panggilan darinya yang membuat ponselku berdering tanpa henti kuabaikan. Tidak ingin menambah masalah dan membuat kepalaku yang pusing ini meledak, langsung kumatikan teleponku sehingga tidak ada peluang darinya untuk berbicara denganku lagi. Sekurang ajar itulah diriku–andai dia tahu.
Terkadang menghindar sesaat adalah cara yang tepat untuk menenangkan diri dari semua gangguan.
"Di gang ini ya, mbak?" Tanya supir taksi padaku. Tidak terasa ternyata sudah sampai di sebuah kompleks perumahan tempat tinggal alias rumah kontrakan yang dihuni oleh orang tuaku.
Aku memperhatikan jalan sekitar, "iya, Mas, benar."
Tanpa bertanya lebih, supir taksi itu parkir tepat di depan rumah kontrakan abah mama. Aku membayar dengan uang pas sesuai dengan harga yang tertera pada aplikasi.
"Terima kasih, ya, Mas," ujarku sesaat supir taksi itu menurunkan koper besar dari bagasi.
"Sama-sama, sampaikan salamku untuk abah dan mama ya," balasnya.
Tidak ada hal lain yang membuatku mengerutkan dahi seraya bertanya-tanya dalam hati, "siapa dia? Mengapa tahu abah dan mama?"
Tidak ambil pusing, mungkin dia anak tetangga atau teman lamaku yang pernah saling mengenal. Ya, sudahlah, usah dipikirkan.
Aku masuk ke dalam setelah mengetuk pintu berkali-kali. Orang pertama yang menyambutku dengan tangisan adalah mamaku. Mama menghambur memelukku dengan tangisan haru setelah sekian lama, baru hari ini bisa berjumpa.
"Kamu kemana saja? Ayo masuk, Nak," ajak mama merangkul erat tubuhku. Menepuk-nepuk pipiku yang terasa sakit bagiku karena masih memar.
"Auh, sakit, Ma," ujarku jujur. Mama memperhatikan dengan pasti pipiku yang bengkak sebelah dan terlihat membiru.
Mama yang heran dengan kondisi yang terlihat mengenaskan. Mata yang sembab, sebelah pipi yang lebam dan bengkak, koper besar yang terisi penuh, menjelaskan dengan gamblang jika ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.
"Kamu sedang tidak baik-baik saja, benar?" Tanya mama padaku.
Naluri seorang ibu memang begitu. Belum ada sesuatu apapun yang aku ceritakan padanya, tetapi mama sudah dapat menebaknya.
Tangisku yang semula sudah stabil, kini dibuat pecah kembali setelah mama menatap wajahku dengan lama dan usahaku untuk menggelengkan kepala tidak bisa menutupi isi hatiku yang ingin melaporkan segala sesuatu yang telah terjadi padaku.
"Mama!" Teriakku memeluk tubuh mama dengan erat. Meringkus dalam dekapannya tanpa bisa kusembunyikan rasa sakit yang sedang kurasakan saat ini.
"Ada apa, Nak? Apa yang terjadi? Sedang terjadi masalah dengan suamimu?" Tanya mama dengan halus dan membelai rambutku.
"Iya, Ma," aku menjawab dan mengangguk-angguk.
"Apa yang dilakukannya? Dia memukulimu?" Tanya mama lagi.
Aku hanya mengangguk membenarkan dugaan mama. Lantas, mama menarik wajahku untuk menatapnya. Kami berpandangan cukup lama, mama menatap wajahku intens dan tatapan itu membuatku ingin menangis dan menjerit keras akibat tekanan batin yang selama ini kupendam.
"MAMA!! Aku tidak bahagia di sana, Ma. Aku tidak boleh bertemu dengan mama dan abah, aku sering dimarahi, aku kerap dipukul, Ma. Mereka bukan orang baik, Ma. Daisya mau di sini saja, Ma."
Bersama mama, kami menangis meraung-raung bersama-sama di ruang tamu rumah itu. Mama mengecupi kepalaku dan seluruh wajahku.
"Mama gak pernah melakukan itu padamu, Nak, kenapa ada orang lain yang tega memperlakukan kamu seperti itu? Mama tidak terima, mama tidak terima, Daisya!" Mama menangisiku dengan segukan pilu. Hanya orang tuaku yang mengerti isi hatiku, bahkan suamiku tidak sebaik itu.
"Kenapa baru bilang mama sekarang?" Mama menangkup wajahku.
"Kalau begitu, pulanglah saja pada kami. Tidak usah kembali ke rumah suamiku yang fasik itu," ujar mama yang kujawab dengan anggukan kepala.
"Kalau Mas Rezky ke sini, bilang saja aku tidak ada ya, Ma?" Pesanku pada mama. Mama mengangguk.
"Di mana Abah, Ma?" Tanyaku.
"Di kamarnya," jawab Mama.
Segera aku masuk ke dalam rumah itu semakin dalam. Di kamar paling ujung, dekat kamar mandi–di situlah kamar abah, kata mama.
Kubuka tirai tipis yang menjadi penutup lubang kamar itu. Kasur busa tipis yang terlampir di lantai tanpa alas tikar apapun dan hanya bersprei tipis dengan bahan yang kasar, di atasnya terdapat tubuh abah yang terbaring lemah.
"Abah!" Tangisku menjadi-jadi. Sebulan tidak berjumpa, ternyata banyak yang sudah dialami keluargaku ini.
Abah dengan kondisinya yang menyedihkan, orang tuaku yang sebulan ini kuabaikan kesehatannya. Biasanya aku yang paling tegas mengontrol pola makan abah karena kutahu riwayat hipertensinya.
Segera aku memeluk tubuh abah yang terkapar tidak berdaya dan menyayangkan beberapa bagian badannya dalam kondisi kaku.
"Abah, maafkan Daisya, Bah. Maafkan anakmu ini," ujarku dengan menangis kaku.
"Dai-yi-sya?" Ucap Abah terbata-bata.
"Iya, Bah. Ini Daisya, anak abah. Abah ingat?" Tanyaku pada Abah.
"Ka-myu, da-tang, Nak? Ka-mu da-tang?" Tanya abah dengan suara tidak jelasnya. Abah yang kesulitan berbicara membuatku semakin merasa bersalah telah abai.
Pandangan abah yang menerawang ke atas, seakan-akan mengingat sosokku, lantas barulah abah bereksresi. "Daisya," ujar abah dengan tangisan dan kirinya yang bisa digerakkan memelukku, menepuk-nepuk punggungku.
"Maaf kan, Daisya, Bah. Maafkan anakmu yang durhaka ini," ujarku memohon ampun. Berkali-kali kuciumi pipi abah yang bersih dan wajah yang bersinar itu.
Abah adalah sosok teladan anak-anakknya, abah sosok orang tuan yang selalu ada, dan bekerja keras untuk untuk kehidupan istri dan anak-anaknya.
"Maaf, maaf-kan abah ya," ujar abah memohon maaf padaku, entah untuk kesalahan apa yang aku sendiri tidak pernah merasa abah melakukan kesalahan.
"Abah gak pernah salah, abah gak perlu minta maaf," Tegasku mengusap air mata yang mengalir di pipi beliau.
Saat suasana sedang mengharu biru seperti itu, suara ketukan pintu mengejutkanku dan mama.
"Permisi, Assalamualaikum," ujar seorang pria yang sangat aku kenal suaranya.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum, permisi. Mama, Abah, Daisya?" Suara seorang pria yang sedang kuhindari sosoknya.
"Ma, jangan dibuka. Biarkan saja, nanti dia pergi sendiri," ujarku lirih pada mama.
"Siapa yang datang, Daisya?" Tanya abah yang mendengar ada yang berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil penghuni rumah ini.
"Tidak, Bah. Orang tidak dikenal," jawabku santai.
Untuk pertama kalinya aku merasa bebas dari belenggu dia dan keluarganya yang selalu menindas dan menuntutku yang mengharuskan melakukan ini dan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments