Nabilah, benar, mempelai wanita itu adalah adikku. Kenapa dia menikah padahal belum lulus sekolah?
Ada apa ini? Kalau dia benar menikah, dimana mama dan abah? Kenapa mereka tidak memberitahuku? Nabilahku, Buy-Buyku. Bahkan kulihat dia menangis saat bersalaman dengan para tetua dan tamu yang datang.
Aku menyerobot dan membelah para tamu yang memenuhi ruangan tempat ijab qabul. Kulihat, ternyata ada mama di sana, tapi tidak nampak Abah di sampingnya. Nabilah yang tengah bersimpuh di kaki mama dengan menangis tersedu-sedu dia bersimpuh di kaki mamaku.
Hatiku benar-benar teriris melihat adikku. Bukan karena dia menikah tanpa aku ketahui, tapi saat dengan mudahnya Nabilah bersujud di kaki mama, sedangkan aku bertemu dengan keluargaku saja sangatlah susah. Mama menciumi kepala Nabilah, aku iri dengan adikku. Bahkan, Pak Sekdes pun melakukan hal yang sama dengan adikku. Mereka memohon ketulusan restu yang tidak pernah aku dan suamiku lakukan pada kedua orang tuaku.
Pertanyaannya, dimana abah? Kenapa hanya ada Mama? Bagaimanapun, aku merindukan keluargaku.
Tidak ingin membuang waktu, saat Nabilah berada di dekatku, inilah kesempatanku. Saat kedua mempelai itu sedang menyalami tamu yang hadir, kupanggil dia.
"Buy-buy," sontak mata itu mencari sumber suara yang memanggilnya buy-buy, karena hanya aku yang memanggilnya dengan sapaan demikian.
Matanya mencari-cari keberadaanku karena aku yang berada di barisan kedua dari para tamu yang sedang berjajar menunggu bisa bersalaman dengan pengantin.
Dia menemukanku. Kami bersirobok, dia menatapku dengan tertegun. Berjalan mendekat padaku denganku yang sudah berlinangan air mata.
"Nabilah," ucapku pelan hampir tidak bersuara.
"Mbak Daisya!" Dia memekik dan memburu memelukku, menangis tersedu-sedu dalam pelukanku.
"Mbak, aku sudah menikah, Mbak. Kamu saja, Mbak? Aku sudah menikah, aku sudah menik–" tapi, tiba-tiba suaranya memelan dan pelukannya berangsur melemah. Dia pingsan dan kami terjatuh di lantai.
"Daisya, siapa dia?" Tanya Mama mertuaku.
"Dia adikku," jawabku dan membuat semua tamu melongo, termasuk suami dari adikku itu.
"Mbak Daisya?"
"Iya, saya kakaknya," tegasku mengakui statusku.
...🍁🍁🍁...
"Kenapa kamu menikah tanpa memberitahu, Mbak, Nabilah?" Tanyaku pada adikku di dalan kamar pengantin. Nabilah yang sadar, langsung kuberi pertanyaan demikian.
Sembari menangis, Nabilah menceritakan semuanya padaku. Kronologi mengapa pernikahannya terjadi. Bahkan, kisah tersembunyi siapa orang tua kandungnya pun terkuak semua. Memang aku tahu jika Nabilah bukanlah anak kandung abah dan mama, tapi tidak pernah keluargaku menyinggung soal itu dan Nabilah tidak pernah tahu sebelumnya.
"Seperti itu, mbak. Itulah sebabnya sekarang aku menikah dengan Mas Bayu, aku bersalah, Mbak. Semua salahku, Mas Bayu berkorban untukku," Dia mengadu dengan tangis tersedu-sedu.
"Sekarang, berapa usia kehamilanmu?"
"Sudah sebulan," jawab adikku dengan tangis yang semakin menjadi. Tidak pernah kusangka jika nasib orang miskin bisa semenyedihkan ini. Nabilah mengatakan padaku kebenaran yang terjadi, kehamilannya akibat dirudapaksa oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Malang benar nasib adikku tersayang.
Segera kutarik tubuhnya dan kudekap dengan erat dalam pelukku, "Astaghfirullah, Buy. Istighfar, Buy. Sabar, sabar, Sayangku." Aku menenangkannya.
"Sekarang baktimu ada pada suamimu, patuhlah padanya selagi dia benar. Mbak percaya, Mas Bayu akan jadi suami yang baik untukmu. Rumah kita dekat, mbak akan ikut menjagamu, sayang," ucapku mengecupi pipinya.
"Andai saja aku tidak marah pada abah dan mama saat itu, andai saja aku tida pergi ke rumah orang tua kandungku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Semua salahku, aku durhaka sama abah dan mama, Mbak."
"Abah dimana? Mbak tidak melihat abah," Tanyaku.
"Abah di rumah sakit karena penyakitnya kambuh, itu terjadi setelah abah tahu aku hamil, Mbak. Huks huks huks," tangis Nabilah terdengar memilukan.
"Sabar, tenang. Bismillah, semoga suami dan keluargamu mau menerim eneng dengan ikhlas dan tabah. Jadikan semua ini pembelajaran, Buy, supaya kita selalu ingat Allah. Kepada-Nya hidup kita diserahkan, hidup dan mati hanya milik-Nya, jangan ada yang disesali," nasihatku padanya.
"Daisya,"
Aku menoleh, "Mama?" Mama mertua, dia masuk ke dalam kamar pengantin. Lantas, disusul kedatangan mamaku dengan mata yang sembab.
Mama datang dan memeluk tubuh Nabilah, "maafkan, Nabilah ya, Ma," ucap adikku dengan tangis yang kembali pecah.
"Bukan salahmu," Mama ikut menangis, berganti mama yang mengelus kepalaku.
"Daisya, ayo kita pulang?" Ajak mama mertua.
"Iya, Ma. Ma, Daisya pulang dulu, ya?" Pamitku pada mama kandungku.
"Iya, hati-hati ya, Nak." Mama mengecup kepalaku setelah aku mencium punggung tangannya.
Saat di batas pintu, mama memanggilku. "Tolong, kalau sempat, datanglah menjenguk abah di rumah sakit. Abahmu sedang tidak stabil kondisinya," ujar mama mengingatkanku.
"Baik, Ma. Nanti Daisya datang bersama Mas Rezky," jawabku.
...---...
"Tidak usah datang," ucap suamiaku dengan pelan, tapi mampu membuatku terlonjak dan seketika berdiri dari tempat tidur, menghempaskan tangannya dari tubuhku.
Pria itu malah menatapku sewot.
"Sekali saja, tolong lembutkan hatimu, Mas. Aku ingin bertemu dengan orang tuaku. Abah sedang sakit," pintaku penuh harap kebaikan hatinya.
"Aku tidak ingin bertengkar, Daisya," balasnya seraya mengubah posisi berbaringnya menjadi telentang dan dia menutup matanya.
"Aku juga tidak sedang mengajakmu bertengkar, hanya ingin kamu mengerti diriku sekali ini saja. Tolong izinkan, maka aku akan pergi sendiri. Tidak perlu kamu ikut ataupun mengantarku menemui abah di rumah sakit."
"Dan sekali ini saja, tolong jangan membantah perkataanku. Berapa kali harus diperingatkan untuk tidak kesana?" Ujar suamiku yang tidak mau mengerti.
"Kemarin kamu mengatakan akan berkunjung ke rumah abah mama. Sekarang, mana buktinya? Kamu selalu beralasan sibuk dengan pekerjaanmu!" Tuntutku.
"Aku hanya mengatakan, bukan menjanjikan. Jangan keras kepala," ucapnya. Sebenarnya siapa yang keras kepala dan keras hati di sini?
"Laki-laki itu yang dipegang adalah ucapannya, bukan janji-janji palsunya," ujarku menentang.
"Makanya jangan terlalu percaya pada ucapan laki-laki," ujarnya mudah.
"Dasar egois!" Decakku sengit.
"Aku bukan egois, tapi namaku Rezky Duwis," ia mencoba berkelakar, meski tidak ada lucu-lucunya sama sekali bagiku.
"Tunggu!" Dia menghentikan langkahku yang akan meninggalkan kamar.
"Mama sudah cerita semua, tentangmu yang tadi siang bertemu mama dan adikmu. Jangan dekat dengan istri Pak Bayu itu,"
Aku mengernyit, "kenapa?" Tanyaku mengangkat kepala tidak suka.
"Dia keluargamu," jawabnya.
"Kamu tahu dia bukan adik kandungku. Jadi, seharusnya tidak menjadi masalah bagimu," ucapku.
"Setidaknya kalian saling mengenal, aku tidak suka itu."
"Terserah!" Decakku sebal.
Kenapa bisa aku menikah dengan orang seegois itu? Dia hanya menginginkanku, tapi tidak mau bersatu dengan keluargaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments