"Kamu kalau saja tidak menipu kami sejak awal, tidak akan aku nikahkan putraku satu-satunya denganmu, Daisya! Lama-lama aku datah tinggi punya mennatuseperti kamu!"
Aku yang sejak tadi diam, ingin sekali menjawab perkataan mama mertuaku yang tidak ada hentinya mengomeli diriku. Tidak tahan, mulutku yang gatal pun akhirnya berkata lirih, "kalau begitu, kenapa mama tidak membatalkan saja pernikahan itu sejak awal? Aku juga tidak berharap banyak dari pernikahan itu, apalagi punya mertua seperti mama. Lebih baik tidak usah menikah daripada aku diomeli terus sama mertuaku sendiri," ujarku dalam sekali tarikan napas.
Prang! Mama membanting teflon di atas kompor yang berisi udang balado menu lauk makan malam. Mama marah dan mengurung diri di kamar sampai keesokan harinya.
Ternyata kemarahan mama tidak berakhir sampai di hari itu saja. Berganti hari, tetapi suasana hati mama masih belum berganti. Sampai hari ini, mama mertuaku masih mendiamkanku. Mama tidak mau keluar kamar dan tidak menyentuh teh herbal buatanku lagi.
"Kamu ada masalah apa sama mama?" Tanya Mas Rezky saat di meja makan hanya ada kami bertiga tanpa mama.
Aku menggeleng.
"Pergilah, bujuk mama untuk keluar kamar dan makan. Sejak semalam mama belum makan," Mas Rezky memintaku yang sedang makan untuk pergi membujuk mama yang masih di kamar, Mas Rezky juga menarik lenganku untuk segera bangkit dari posisi, sedangkan papa lebih banyak diam. Memang perlakuan anggota keluarga ini tidak ada yang mengenakan kepadaku.
Kuhampiri mama di kamarnya, mengetuk pintu kamar mama berulang kali meski tidak ada jawaban.
"Mama, mama sudah bangun? Ayo, sarapan dulu, Ma," bujukku halus pada mama di bibir pintu.
"...." Tidak ada sautan apapun dari dalam kamar mama mertua.
"Ma?"
"Mama, Daisya masuk ya?"
"Nggak usah! Pergi, kamu!" Suara mama terdengar membentak dari dalam kamar.
"Mas Rezky dan papa menanyakan mama, kami khawatir dengan mama. Daisya boleh masuk, ya, Ma?" Tanyaku lagi dengan suara lembut.
"Pergi, pergi kamu dari rumahku. Harusnya bukan kamu yang jadi menantuku, tahu?!" Pekik mama dari dalam kamar. Mau tidak mau aku kembali ke meja makan tanpa mama.
"Mana Mama?" Tanya Mas Rezky yang melihatku kembali tanpa bersama mama.
"Mama tidak mau keluar, Mas," jawabku dan ditanggapi dengan embusan napas kasar oleh Mas Rezky.
Saat aku mendudukan diri di kursi sampingnya, dia beranjak seraya berdecak, "biar aku yang coba membujuk Mama."
Berhasil, Mas Rezky kembali dengan membawa serta mama yang dirangkulnya. Mama yang duduk di meja makan menatapku tidak suka.
"Daisya, minta maaflah pada mama. Cium kakinya supaya mama tidak marah lagi padamu," perintah Mas Rezky padaku.
Aku hanya bisa menatap Mas Rezky dengan tatapan tidak habis pikir. Apa dia bilang? Aku harus mencium kaki mertuaku? Memangnya aku melakukan kesalahan apa? Pada abah dan mama pun aku belum pernah mencium kaki mereka.
Mas-mas, kamu dan keluargamu benar-benar keterlaluan.
"Mas–" belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata, tapi suamiku begitu jahatnya langsung menyentak lenganku supaya turun dari kursi makan dan berlutut di bawah kaki mamanya.
"Lakukanlah, apa susahnya menghormati mertuamu? Dia ibuku, segalanya bagiku. Tidak sebanding dengan perempuan mana pun yang menjadi istriku, semua wanita bisa dibeli dengan mahar, tapi tidak dengan seorang ibu. Cepat, bersimpuh di kaki mama dan meminta maaflah!" Begitu kata Mas Rezky.
"Mas saja tidak pernah hormat dan bersimpuh di kaki orang tuaku seperti itu, bahkan kamu tidak mau melakukan sungkem di prosesi pernikahan kita dulu. Namun, kenapa kamu sekarang memaksaku bersimpuh di kaki mamamu. Tidak habis pikir aku, Mas-Mas," ujarku dalam hati.
Dengan kaki yang berlutut, aku mencium lutut mama mertuaku. "Bukan seperti itu, cium telapak kakinya supaya mama benar-benar rela!" Perintah mas Rezky padaku.
Aku pun menurut dan bersujud penuh sampai kepalaku menempel pada kaki mama mertuaku, aku menangis tersedu-sedu mengingat kedua orang tuaku yang belum pernah kucium telapak kakinya seperti ini.
"Daisya mohon maaf sama Mama, Ma. Maaf kalau Daisya punya salah sama Mama," ujarku dengan deraian air mata. Sebenarnya deraian air mata itu keluar bukan karena aku mengatakan maaf pada mama mertua, tetapi aku yang teringat dengan jasa dan kasih sayang orang tua kandungku di rumah.
Tega sekali kalian memperlakukanku seperti seorang budak yang bersujud-sujud pada majikannya. Abah, Mama, tolonglah anakmu ini. Jemputlah aku, maka aku akan pulang bersama kalian. Hatiku menangis dan menjerit meraung-raung.
Sore hari setelah Mas Rezky pulang dari kantor, seperti biasa aku menyambutnya. Melayani dengan sepenuh hati dan menuruti apa yang menjadi keinginannya.
Setelah isya dan solat bersama—biasanya jarang sekali kami melakukan ibadah solat bersama-sama. Aku yang melipat mukenaku dan mendudukan diri di tepian ranjang. Mas Rezky ikut duduk di sebelahku dan melipat sejadah dan meletakkannya di tepian ranjang.
"Mas, memangnya penampilan aku seperti janda anak 5 ya?" Tanyaku padanya. Aku menunduk dan tidak berani mengangkat kepalaku.
Yang dimintai pendapat malah tertawa terbahak-bahak, "mana bisa berpikir seperti itu? Istriku sangat cantik," jawabnya seraya mencium pipiku.
"Kata siapa?" Dia bertanya dan menaikkan kedua alisnya.
"Orang-orang di pasar yang semula mengatakan jika aku bukan perawan atau gadis baik, lalu mama mengatakan jika penampilan aku seperti janda anak 5," tuturku sedih.
"Hahaha, benar kok seperti itu," ujarnya yang membuatku semakin kesal.
"Benar apanya? Benar, aku seperti janda anak 5?"
"Bukan, maksudnya benar kamu bukan perawan kan sudah bersuami. Dan mana mungkin seperti janda anak 5 kalau aku ini, suamimu masih hidup di dunia ini, hum?" Dia mengacak-acak rambutku.
"Lain kali, perkataan mama jangan kamu masukkan dalam hati. Anggap saja mama itu hanya orang tua yang cerewet karena usianya sudah memasuki lansia. Jangan dipikirkan dan jangan buat mama marah," ucapnya sebelum mengecup dahiku.
"Sudah, tidur, yuk!" Dia beranjak dan merebahkan separuh tubuhnya pada ranjang, bersandar pada bedboard dan sibuk dengan ponselnya.
"Mas, aku ingin datang ke rumah orang tuaku. Besok boleh, tidak?" Tanyaku yang turut berbaring di sebelahnya.
Dia menatapku dengan tatapan mengerut, dia bertanya, "hem, mau apa?"
"Kangen sama mereka," jawabku.
"Iya nanti," ujarnya.
"Besok pagi boleh, tidak?" Tanyaku lagi.
"Tidak," jawabnya.
"Sampai kapan kamu melarangku bertemu dengan orang tuaku? Kamu tidak mau bertandang ke sana?"
Kami berkontak mata, dia yang menggembungkan sebelah pipinya seraya menggeleng kepalanya.
"Kenapa?" Tanyaku heran.
"Huft... Aku katakan padamu untuk yang pertama dan terakhir kalinya, tidak akan aku izinkan kamu datang ke sana sampai kapan pun tanpa restu dariku. Sudah jangan dibahas!" Sentaknya.
"Iya, tapi kenapa? Dan sampai kapan? Aku ingin bertemu selama masih bisa bertemu, Mas."
"Jangan dibahas! Aku tidak mau tahu, bahkan sampai mereka mati kalau perlu," jawabnya yang tidak pakai hati dan membuat hatiku seperti tersayat dan merasakan sakit teramat sangat.
"Astaghfirullah, kamu benar-benar bukan manusia, Mas! Aku tetap akan pergi ke sana," decakku dengan gelengan kepala.
Dia menatapku tajam dan membanting ponselnya di nakas hingga menimbulkan suara keras, dia berdiri dan berjalan ke arahku.
"Kau berani menentangku? Berani kau melawan ucapanku, Daisya? Tetap mau pergi?" Tanya dia di depanku. Aku memunduk dan meremas ujung-ujung piyamaku. Jika sudah terdengar nada bicara marah seperti ini, pasti akan ada yang dilakukan olehnya. Aku harus berjaga-jaga.
Aku menggeleng karena takut terjadi hal yang tidak diharapkan, aku takut dia mencelakaiku.
"Bagus, jadilah istri yang penurut, Sayang," ujarnya menepuk-tepuk puncak kepalaku dan merangkulku untuk ke tempat tidur.
Di balik selimut yang sama dan lampu yang remang-remang. Aku dan dia tidur saling berhadapan dan dia berkata, "boleh aku meminta sesuatu padamu?"
"Apa?" Tanyaku.
"Tolong, jangan pernah lagi meminta izin untuk pergi ke sana atau kau tidak usah kembali padaku selamanya, mengerti?" Ujarnya.
"Iya, Mas," jawabku menurut, meski dalam hati aku ingin sekali bertemu dengan keluargaku.
"Boleh aku meminta sesuatu juga padamu, Mas?" Tanyaku.
"Katakanlah," sautnya.
"Aku ingin pindah rumah, tidak mau satu rumah dengan mertua. Apa bisa?" Ucapku.
"Akan kupertimbangkan. Sekarang, tidurlah."
Malam ini kami tidur bersama dengan tenang dan damai tanpa ada pertengkaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments