Handphone Nana berbunyi. Hal itu membuat Fadilla langsung menyambar benda gepeng di tangan putrinya.
"Eh, Papa mau ngapain." Nana mencoba merebut kembali handphonenya.
"Papa mau bicara sama Khaeri." Ucap Fadilla, menatap layar handphone Nana. Mengernyit saat melihat nama penelpon yang terpampang di layar handphone itu. "Ah, ternyata ini Utami. Tadi Papa kira Khaeri yang nelpon."
Nana mengambil kembali handphonenya. "Makanya jangan main sambar aja." Nana baru akan menekan ikon berwarna hijau. Namun, panggilan itu berakhir dengan sendirinya.
Handphone itu kembali bergetar. Tapi, kali ini nama Khaeri yang terpampang. Nana melirik ke arah papanya lalu bergegas meninggalkan ruang keluarga.
"Mau kabur kemana kamu, Na?!" Fadilla sedikit berteriak sambil menahan senyum. Melihat wajah kesal Nana menjadi hiburan tersendiri baginya.
Nana tidak menjawab. Ia langsung mengunci pintu kamarnya. "Halo, Mas."
"Aku udah sampai dari tadi, Na. Kamu malah tidak membalas chat aku."
"Ada Papa di depan, Mas. Mau minta izin, tapi nggak dapat. Papa malah meminta Mas Khaeri yang masuk untuk minta izin padanya. Menyebalkan banget kan?" Menghempaskan tubuhnya di atas kasur karena kesal. Tidak perduli lagi dengan penampilannya yang akan rusak. Ia malah sengaja berguling-guling di atas kasur.
"Oh, itu masalahnya ..." Khaeri terdiam.
"Maafin aku ya, Mas. Aku udah kehabisan ide untuk membujuk Papa."
"Hmm.. tidak masalah, Na. Kalau beliau memang menginginkan aku yang minta izin, aku akan menemuinya untuk minta izin."
"Hah..?!" Nana langsung bangkit karena terkejut. "Kamu serius, Mas?" Ekspresi wajahnya berubah saling terkejutnya. Handphonenya masih melekat di balik hijabnya, karena dia menyelipkan benda gepeng itu di sela jilbab segi empat yang di pakainya.
"Memangnya aku dapat apa kalau bohong? Aku mau kamu keluar dan bukakan aku pintu."
Nana mengerjap-ngerjap tidak percaya. Seumur hidupnya, baru kali ini ada orang yang akan berani menemui papanya untuk minta izin membawanya keluar rumah. Fikri saja tidak pernah berani melakukan itu. Jangankan untuk minta izin. Bertemu dengan Fadilla pun mantan kekasihnya itu tidak pernah berani.
"Mas Khaeri bilang apa?" Nana mencoba bertanya karena ia takut salah dengar.
Khaeri menghela nafas berat. "Bukakan aku pintu, Nana Sayang. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah kamu."
Glek..!
Nana kehilangan kata-kata. Antara percaya dan tidak dengan apa yang di dengarnya.
"Kamu masih di sana kan, Na?"
"Eh, i.. iya, Mas. A.. aku akan segera keluar sekarang." Nana melempar handphonenya ke atas kasur lalu berlari keluar dari kamarnya.
Fadilla menyambut hangat kedatangan calon menantunya. Setelah Khaeri bersalaman dan mencium tangannya, ia langsung mempersilahkan Khaeri untuk duduk.
"Kenapa baru datang? Seharusnya kamu tidak usah pulang tadi siang, biar nggak terlalu capek."
Khaeri diam beberapa saat. "Ah, ini semua tidak direncanakan, Pa. Sebenarnya, aku datang kemari mau minta izin sama Papa."
Fadilla mengerutkan keningnya. Pura-pura tidak mengerti dengan maksud Khaeri. "Izin apa?"
"Aku mau minta izin mau membawa Nana keluar malam ini." Jawab Khaeri. Ia menarik nafas panjang. Entah mengapa dadanya terasa berdebar saat berhadapan dengan Fadilla.
"Keluar kemana dan untuk apa? Kalian itu baru bertunangan dan belum menikah. Sangat tidak pantas kalau kalian keluar berdua tanpa ada orang ketiga." Fadilla menyandarkan tubuhnya seraya mengalihkan pandangannya.
"Aku.. aku.. cuman mau mengajak Nana makan malam, Pa." Suara Khaeri sedikit tersendat. Nyalinya ciut melihat Fadilla yang terlihat sangat teguh pendirian. Apakah dia tidak akan mendapatkan izin. Jika itu benar-benar terjadi, maka kedatangannya ke rumah ini hanya sia-sia.
"Kalau kamu lapar, kita bisa makan malam bersama di sini. Kamu kan sudah resmi menjadi calon menantuku." Fadilla melirik Khaeri yang sedang menatapnya.
"Papa... sudahlah. Papa membuat Khaeri jadi tegang. Apa salahnya sih, mengizinkan mereka keluar. Padahal tadi udah bilang mau mengizinkan mereka, kalau Khaeri minta izin langsung." Yeti akhirnya mengambil alih pembicaraan karena suaminya seperti sengaja melakukan itu.
"Papa cuman mau melihat keseriusannya saja, Ma." Berbisik di dekat telinga istrinya.
"Iya nggak gini juga caranya, Pa. Kalau memang dia nggak serius, ngapain sampai melamar Nana. Papa ini aneh deh." Yeti ikut berbisik. Nggak enak kalau Khaeri sampai mendengar ucapannya.
"Ya sudah kalau kamu mau membawanya keluar. Tapi, kamu harus membawanya kembali sebelum pukul setengah sembilan malam."
Nana melotot. "Papa yang benar saja. Ini saja udah jam berapa. Masa iya, harus kembali pukul setengah sembilan.
"Baru aja jam tujuh. Waktu yang dihabiskan untuk makan palingan cuman lima jelas menit. Itu ada bonus waktu satu jam lebih. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup. Kalian gunakan waktu dengan sebaik mungkin. Hindari percakapan yang tidak penting. Papa juga sarankan untuk memilih tempat yang ramai pengunjung. Papa nggak mau kalian makan di tempat sepi, karena itu hanya memancing kebahagiaan setan."
Nana mengernyit mendengar peraturan yang dibuat papanya. "Waktu yang dikasih sedikit, tapi peraturannya selangit." Ucapnya sambil melengos kesal.
"Ya udah, kalau kamu nggak mau patuhi peraturan, kamu bisa masuk ke dalam kamar untuk istirahat."
"Nana mau keluar bersama Mas Khaeri, Pa."
"Ya udah, berangkat sekarang kalau mau pergi. Kalau ditunda, waktu kalian akan semakin berkurang."
"Ayo, Mas. Huh, Papa menyebalkan." Nana menarik tangan Khaeri.
"Pa, Ma, Khaeri dan Nana berangkat dulu. Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam.." jawab Fadilla dan Yeti serentak. Yeti langsung beranjak bangkit setelah pintu depan tertutup. Sementara Fadilla, ia langsung menghubungi orang suruhannya untuk mengikuti mobil Khaeri.
"Awasi mereka, jangan sampai lepas dari pandangan."
"Baik Bos." jawab orang dari sebrang.
Fadilla tersenyum menyeringai. Ia sengaja meminta orang untuk mengawasi Nana dari jauh. Ia mendapat informasi, kalau mantan kekasih Nana sering memata-matai putrinya. Sebelumnya Fadilla tidak pernah sampai meminta orang untuk menjaga putrinya. Itulah yang membuatnya tidak tau sampai sekarang sebuah rahasia besar putrinya.
Sementara itu...
Khaeri membawa Nana ke sebuah Restoran besar yang cukup terkenal di kota itu.
"Mas Khaeri yakin kita akan makan di sini?" Nana terlihat ragu untuk keluar dari mobil walaupun Khaeri sendiri sudah membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya.
"Yakinlah, Na." Khaeri mengurungkan niatnya membuka pintu mobil. Beralih menatap Nana yang ternyata belum membuka seat belt nya. "Kamu meragukan aku, Na?"
"Eh, ng.. nggak kok, Mas. Aku hanya terkejut aja tadi. Kirain kamu berhenti karena ada sesuatu."
Khaeri menghela nafas berat. Sepertinya Nana sudah tau rumor tentang dirinya yang terkenal sangat teliti, sehingga wanita itu terlihat ragu saat dia membawanya untuk makan di tempat itu.
Khaeri memilih tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar. Ia harus mengikuti aturan yang disebutkan Fadilla tadi, agar dia tetap diperbolehkan membawa Nana keluar. "Mau makan apa, Na? Di sini itu menunya lengkap banget loh." Khaeri bicara pada Nana sambil memperhatikan daftar menu yang harus saja di sodorkan waiters.
"Aku sering makan di sini kalau sedang di rumah."
Khaeri langsung menatap Nana. Namun, Nana tidak melihatnya. Wanita itu sedang sibuk memperhatikan sekitar.
"Menu favorit kamu apa?"
Pertanyaan Khaeri membuat Nana mengalihkan pandangannya pada pria itu. "Di sini.. semuanya aku suka, Mas. Tapi, yang paling menggugah adalah kepiting saos padang. Aku sangat suka itu. Iya.. walaupun harganya sedikit mahal."
Khaeri menelan ludahnya mendengar menu makanan yang di sebutkan Nana. Itu adalah menu termahal di restoran itu. Sudah beberapa kali berkunjung, dia belum pernah memesan menu itu karena harganya yang cukup menguras kantong. "Mm.. kalau.. kamu mau pesan itu, pesan saja." Ucapnya menawarkan walaupun terlihat ragu. Setidaknya, dia berani menawarkan itu karena tidak mau terlihat pelit pada calon istrinya sendiri.
Nana tersenyum kecil. "Nggak usah, Mas. Aku pesan menu yang biasa aja." Timpal Nana. Ia tidak mau menyulitkan Khaeri. Ia juga selalu ingat pesan Fadilla padanya. 'Tidak boleh menyulitkan orang'. Itu berarti, dia tidak boleh memesan makanan yang mahal saat di traktir orang. "Lain kali kita pesan yang itu." Nana membacakan pesanannya pada waiters yang sudah menunggu dari tadi.
Setelah selesai makan malam, Khaeri melirik jam tangannya. Baru jam delapan kurang lima belas menit. Ia masih punya waktu setengah jam sebelum mengantar Nana pulang. Khaeri membelok kendaraannya memasuki pusat perbelanjaan. Ia ingin memberikan sedikit kejutan untuk Nana.
"Kenapa ke sini, Mas?"
"Mm.." Khaeri tidak menimpali serius karena tidak mau Nana tau rencananya. Semuanya harus berjalan sesuai dengan rencana yang sudah di susunnya.
"Kita mau ngapain kesini?" Nana kembali bertanya karena Khaeri belum memberikan jawaban yang pasti.
"Mas..."
"Iya, Sayang. Ayo turun dulu."
"Nggak mau." Nana mengeluarkan ekspresi lucu yabg membuat Khaeri langsung tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Kira-kira, Khaeri mau memberi Nana hadiah apa ya 🤔🤔
2023-10-13
0
Sadiah
Telat pak fadilla nyuruh orang nya knp gak dr dulu waktu di surabaya,, tuhkan na ribet punya laki pelit gak bebas,, 😅😅🤭
2023-08-24
0