Dua tahun berlalu...
Nana berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan nilai pas-pasan. Namun, hal itu sangat membuatnya bersyukur. Setidaknya dia bisa pulang dan menunjukkan ijazahnya pada sang papa yang selalu menuntut kesempurnaan.
Malam itu, Nana membereskan pakaian yang akan di bawanya kembali ke kota asalnya. Ia terasa sangat berat kalau harus meninggalkan putranya bersama Rumi. Tapi, ia harus melakukannya demi kebaikan semuanya.
Rumi masuk ke dalam kamar membawa anak kecil yang masih berumur empat belas bulan. Anak kecil itu bernama Naufal. Dia adalah anak Nana, hasil hubungan haramnya dengan Fikri waktu itu. Nana bahkan hanya mengeluarkan anak itu, tetapi tidak memberikan ASI-nya. Dia hanya tidak mau merasa semakin terikat dan semakin menyayangi anak itu, sementara dia akan meninggalkannya pergi.
"Apa semuanya sudah selesai kamu bereskan, Na?" Rumi mencoba membuka percakapan karena Nana terlihat cuek dengan kedatangannya.
"Sudah, Bu." Nana hanya melirik lalu kembali menyibukkan diri. Bukannya enggan menatap Rumi dan Naufal. Wanita itu hanya sedang berusaha menahan perasaannya yang akan meninggalkan Naufal.
"Ibu akan menjaga Naufal dengan baik di sini. Ibu akan menjadikannya anak Ibu. Dia akan tetap memanggil Ibu dengan sebutan 'Mama'. Dia akan tetap memanggilmu 'Kakak' seperti sekarang. Ibu akan menjaganya, agar dia tidak tau kalau kamulah ibunya."
Nana menunduk seraya menarik nafas dalam. Berusaha menahan air mata yang terasa mau tumpah. "Terimakasih untuk semuanya, Bu. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan Ibu."
Rumi tersenyum seraya beranjak bangkit. "Istirahatlah sekarang. Besok kamu akan melewati hari yang panjang." Meraih tubuh Naufal yang sedang berjalan mendekati Nana.
"Sekarang Nau bobo ya, udah malam. Jangan ganggu Kak Nana. Kak Nananya mau istirahat karena mau perjalanan jauh besok." Rumi mencium pipi Naufal karena anak itu merespon dengan baik semua yang dikatakannya.
Nana tersenyum getir. Dalam hatinya, ia marah pada dirinya sendiri. Anaknya sendiri tidak bisa memanggilnya 'Mama' karena kebodohannya. Anak yang tidak berdosa itu harus menanggung akibat dari perbuatannya.
***********
Nana disambut dengan tepuk tangan meriah begitu memasuki ruang rapat. Semua orang di ruangan itu bahkan sampai berdiri menyambut kedatangannya.
Fadilla dengan bangga memperkenalkan putrinya yang sudah berhasil meraih gelar Dokternya pada semua karyawan yang bernaung di bawah kekuasaannya.
"Dia adalah putri kebanggaan keluarga besar Fadilla dari istri pertama saya. Dia putri satu-satunya milik Yeti Fadilla. Ke depannya dia akan bergabung bersama kita. Setelah bergabung dengan Rumah Sakit ini, saya akan mengangkatnya menjadi Direktur nantinya." Fadilla terus membanggakan Nana di depan karyawannya. Pria itu benar-benar tidak mengetahui skandal putrinya selama menempuh pendidikannya. Nana hanya menanggapi dengan senyuman manis dengan kepala tertunduk.
Ucapan selamat terus berdatangan untuk Nana. Wanita itu seperti mendapatkan kepercayaan dirinya kembali setelah melihat banyak sekali orang yang mendukung dan menyayanginya. Bahkan teman-teman semasa SMA-nya dulu yang bergabung di Rumah Sakit milik Fadilla terlihat sangat antusias dengan keberhasilannya.
Nana POV..
Aku tidak menyangka akan mendapatkan sambutan semeriah ini. Mungkinkah mereka akan menunjukkan sikap yang sama seandainya tau siapa aku di luaran sana. Aku hanya berdoa, semoga Allah selalu melindungi ku dan menutup segala keburukanku.
Ah, aku sampai menangis terharu saat satu persatu temanku memberikan ucapan selamat untukku. Teman-teman lamaku ini.. sungguh, mereka masih sama seperti dulu. Mereka selalu memberikan kehangatan untukku.
Salah satu temanku yang menjadi perawat bahkan sampai menarik tangan ku memasuki ruang IGD.
"Selamat datang Dokter Nana.." ucapnya sambil membukakan pintu untukku. Beberapa karyawan di ruangan itu langsung fokus menatapku.
Namun...
Dari sekian pasang mata yang memperhatikanku, aku hanya tertarik dengan seorang pria yang sedang melepaskan handscoon karena batu selesai melakukan tindakan pada pasien kecelakaan. Pria itu bahkan hanya menatapku sekilas lalu sibuk menulis sesuatu di atas secarik kertas.
"Eh, maaf, saya tidak tau kalau ada pasien gawat." Utami, temanku yang tadi tersenyum malu pada rekannya.
_________
"Utami, apa saya boleh minta tolong?" Pria yang tadi menjadi pusat perhatian Nana tiba-tiba minta tolong pada Utami.
"Eh, iya Pak Dokter." Utami melepaskan tangan Nana dan berjalan mendekati pria yang dipanggilnya Dokter itu.
"Saya belum sempat makan siang. Saya mau keluar untuk cari makan siang. Tapi, pasien itu masih di observasi. Dokter yang lain sedang mengikuti rapat dengan Ketua. Saya minta tolong kamu pantau perkembangan pasien itu selama saya tinggal. Perawat yang lain juga sedang memantau pasien yang lain. Hari ini pasien banyak. Dokternya juga kurang." Keluh Dokter tampan itu.
"Saya akan memantaunya, Dok. Mm.. nanti saya minta tolong Dokter Nana untuk memeriksanya sementara Dokter kembali."
"Oh, dia Dokter?" Melirik Nana dengan ekor matanya.
"Iya, Dok. Dia putri Pak Fadilla. Dia yang baru saja dikenalkan ketua pada kita."
"Oh," Dokter pria itu langsung tersenyum salah tingkah. Menunduk sopan pada Nana. Mendekatkan mulutnya ke telinga Utami. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Mi..?"
"Hmm.. Pak Dokter nggak nanya." Utami melengos seraya meninggalkan Dokter itu. Kembali pada Nana dan menggandeng tangannya mengajaknya untuk duduk. "Pak Dokter keluar saja. Nanti Dokter Nana yang akan membantu saya."
"Mm.. b.. baiklah."
Nana menatap kepergian Dokter tampan itu dengan tatapan kagum. "Mi..." beralih menatap Utami.
"Apa, Na? Dia tampan kan?"
"Eh," Nana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, Dokter itu tampan," sambungnya kemudian.
"Dia bukan asli sini, Na. Dia itu orang Makasar. Orangnya memang tampan, tapi.." Utami mendekatkan wajahnya pada Nana. "Orangnya teliti banget, Na."
Nana mengernyit, "maksudnya..?"
"Kalau penasaran, kamu banyak-banyak diam di ruangan ini nanti. Pak Fadilla juga meminta kamu untuk belajar di IGD kan? Kalau kamu langsung menjabat sebagai Direktur, kamu tidak akan bisa mengamalkan ilmu kedokteran yang kamu sekolahkan."
"Kamu benar, Mi," tersenyum kecil seraya menatap Utami. "Oh iya, Mi. Dokter tadi namanya siapa?"
"Cie ... penasaran nih..."
"Iya.. aku kan cuman nanya, Mi. Biar nggak terlalu kaku kalau bertemu dengannya nanti."
"Hehehe... siapa tau kamu naksir. Kata Mama Yeti, kamu dan Fikri udah putus. Kalau memang udah putus, ngapain lama-lama menjomblo."
Nana sedikit terhenyak mendengar ucapan Utami. Namun, ia segera menarik nafas panjang. Menunjukkan sebuah senyuman palsu pada Utami. "Kami hanya merasa sudah nggak cocok aja."
"Lu sih, pria macam begituan aja di pelihara. Aku mah langsung bilang alhamdulillah pas Mama Yeti cerita. Aku sering banget melihat dia jalan dengan cewek lain saat kamu masih di Semarang. Ih, ilfil gue melihat kelakuannya."
"Nggak usah bahas dia ah, rusak mood aja." Nana beranjak bangkit. "Ayo kita lihat pasien itu."
"Oke.." Utami beranjak bangkit mengikuti langkah Nana. Menghela nafas berat melihat tingkah temannya itu. Nana adalah tipe orang yang sangat sulit berpaling. Ia juga tahu, bagaimana perasaan Nana pada Fikri. Tapi, melihat jejak buruk pria itu membuatnya harus bisa membuka mata Nana, agar bisa membedakan mana yang benar-benar tulus.
Empat puluh menit berlalu..
Dokter yang menitip pasiennya pada Nana tadi kembali masuk ke ruang IGD. Ia langsung mengunjungi pasiennya. Namun, ia melepas kembali stetoskopnya karena melihat Nana sedang memeriksa pasien itu untuknya.
"Bagaimana kondisinya?"
Nana mengangkat wajahnya saat mendengar suara seseorang yang terdengar masih asing di telinganya. "Pak Dokter sudah kembali.." menegakkan posisi berdirinya dan mundur beberapa langkah untuk memberi ruang.
"Kamu sudah memeriksanya kan?"
"Sudah, Dok." Jawab Nana dengan kaku.
"Terimakasih bantuannya. Saya benar-benar lapar tadi. Tadi pagi cuman sarapan pakai roti saja." Menatap Nana sekilas. "Oh, iya .. kita belum kenalan." Mengulurkan tangannya pada Nana. "Saya Khaeri Arsyan. Saya tidak hadir di pertemuan tadi karena sedang bertugas di sini." Khaeri menatap Nana yang terlihat melongo dan tidak membalas uluran tangannya. "Nama Dokter siapa? Kembali bertanya karena Nana masih diam.
"S.. saya, Nana. Nana Fadilla Izzati Khaerunnisa."
"Hmm.. Nama yang cantik. Kita ngobrol di sana."
"Iya, Dok." Nana mengikuti langkah Khaeri ke meja tempat Dokter tampan itu berjaga.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Wah,,, kisah baru dimulai. Makin penasaran ...🤔🤔🤔
2023-09-19
0
Sadiah
owh.. gitu thor,, oke masih nyimak thor,, 😊👍
2023-07-28
0