"Semua berjalan dengan memuaskan. Alhamdulillah ... terimakasih ya Allah.." Nana menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.
Utami yang sudah rebahan tersenyum menatap Nana. "Gue ikut senang melihat lho seperti ini, Na. Dari kemarin lho nggak pernah terlihat sebahagia ini. Lho selalu menampakkan senyuman palsu sama semua orang."
Nana melirik Utami lalu beralih menatap langit-langit kamarnya. "Perasaan gue hanya nggak tenang dari kemarin. Gue takut Mas Khaeri mempermainkan gue. Gue juga khawatir kalau dia lebih mempercayai apa yang di ceritakan Mas Fikri padanya."
"Lho sadar nggak, Na?"
"Sadar apaan?" Nana menatap Utami dengan heran.
"Sikap Dokter Khaeri itu berbeda banget loh, saat bicara dengan lho. Kalau dengan rekan kerja, doa cenderung cuek. Tapi, saat dengan lho dia terlihat begitu perhatian. Gue beberapa kali tercengang melihat tingkahnya itu, Na. Dia juga sopan sama lho. Beda banget dengan sikap Kak Fikri dulu. Sukanya main nyosor aja. Nggak perduli lagi ada orang atau tidak, dia pasti main sosor bibir."
"Nggak usah bahas dia lagi. Gue eneg banget kalau ingat semua itu."
"Hadeh..." Utami memutar bola matanya. Ia harus mengalihkan pembahasan agar Nana bersemangat lagi. Jika membahas tentang Fikri, sahabatnya itu pasti langsung lesu.
"Besok mau kemana lagi, Na?" Menepuk pelan paha Nana yang masih duduk bersila di sampingnya.
"Nggak ada yang penting, Mi. Acaranya juga masih jauh. Palingan gue akan sibuk setelah selesai lamaran nanti. Kalau udah lamaran, lho nggak boleh pulang. Lho harus tetap nginap di sini sampai hari H."
"Boleh.. yang penting udah benar hitungannya. Itu mah urusan gampang."
"Huh, dasar lho. Mau nolong tapi mau imbalan." Nana melengos membuang pandangannya.
**********
Satu bulan berlalu...
Hari ini adalah hari yang dinanti-nantikan Nana dan Khaeri. Calon pasangan baru itu terlihat duduk berdua di taman depan rumah kediaman keluarga Fadilla. Mereka baru saja melewati prosesi lamaran. Entah apa yang mereka berdua sedang bicarakan. Intinya, keduanya terlihat bahagian setelah melewati prosesi lamaran yang cukup menegangkan bagi Khaeri.
"Aku mau ajak kamu keluar nanti malam, Na." Khaeri kembali membuka percakapan setelah cukup lama mereka saling mendiami.
Nana sedikit terkejut. Ia langsung fokus menatap Khaeri. "Mm.. keluar kemana, Mas?"
"Terserah kamu mau kemana saja. Intinya, aku ingin keluar berdua dengan kamu. Entah itu kamu mau sekedar makan malam atau apa."
Nana menunduk. "Aku akan pertimbangkan dulu, Mas."
"Loh, ngapain pakai dipertimbangkan segala, Na? Kita itu sudah bertunangan. Aku tidak akan tikung kamu kok ... S ... Sayang."
Deg...!
Nana tersentak. Spontan langsung menatap Khaeri yang juga sedang menatapnya. "Mas..."
"Apa kamu meragukan ku?" Menggenggam tangan Nana dengan erat.
"B.. bukan seperti itu. Aku.. aku cuman trauma karena masa lalu." Kembali menunduk karena malu jika harus membahas masa lalu pada Khaeri. Ia tidak enak karena selama berhubungan dengan Khaeri, pria itu tidak pernah berbuat kelewatan batas. Hanya sebatas mencium pipinya. Itu pun dilakukannya karena Utami yang kepoan.
"Aku tidak akan menjebak kamu, Na. Percaya padaku, aku hanya ingin menikmati waktu berdua dengan kamu tanpa adanya gangguan dari teman kamu yang jadi penguntit itu." Ekor mata Khaeri melirik ke arah Utami yang duduk tak jauh dari tempat mereka duduk. Kebetulan Utami sedang ngobrol dengan kedua kakak ipar Nana.
Nana menepis tangan Khaeri. "Jangan ngomong gitu, Mas. Dia seperti itu karena diminta jagain aku."
Khaeri menahan senyum. "Jagain kamu, Na?" Melepaskan tangan Nana seraya memperbaiki posisi duduknya. Menatap ke arah tiga wanita yang sedang tertawa di tengah ruangan dimana diadakannya acara lamaran tadi. "Dia aja kayak gitu, Na. Dia nggak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana mau jagain kamu?"
"Ah, Mas Khaeri nggak ngerti. Utami itu punya banyak jasa di keluarga aku. Dia juga sangat disayangi oleh Papa karena bisa menjaga kepercayaan Papa sampai saat ini."
Khaeri hanya manggut-manggut. Kalau pun dia berniat untuk menjelekkan Utami, Nana pasti langsung membantahnya.
***********
Malam itu...
Nana segera bersiap setelah selesai mendirikan shalat maghrib. Sesuai permintaan Khaeri, mereka akan pergi berdua malam ini.
Nana keluar dari kamar dengan hati-hati. Mengintip dari balik pintu ruang keluarga untuk melihat siapa saja yang berada di sana. Bibirnya mengembang sempurna saat melihat hanya kedua orang tuanya yang sedang duduk. "Yess..!" bergegas memasuki ruang keluarga dengan senyum masih mengembang.
"Assalamualaikum, Pa, Ma." Nana langsung menyambar tangan mama dan papanya. Mencium pipi mereka lalu duduk di antara keduanya.
"Ada acara apa nih? Anak Papa cantik gini. Hmm.. harum lagi." Fadilla mencubit gemas pipi putri satu-satunya dari Yeti itu.
"Mm.. Nana mau keluar sebentar dengan Mas Khaeri." Nana menatap papanya dengan ragu.
Fadilla menautkan alisnya menatap putrinya. "Mau keluar kemana, Nak? Kalian itu belum menikah loh. Baru bertunangan bukan berarti udah halal. Kalian tetap harus menjaga jarak satu sama lain. Papa paling tidak suka melihat pasangan anak muda yang tidak bisa menjaga sikap mereka di tempat umum."
Glek..!
Nana hampir tidak bisa menelan ludahnya mendengar ucapan papanya. Ia hanya mengerjap-ngerjap sambil menatap lurus ke depan. Ia langsung membayangkan reaksi papanya seandainya tau bagaimana dia dulu dengan Fikri.
"Memangnya Khaeri mau ngapain, sehingga ngajak kamu keluar segala?"
"Mm.." Nana kembali menatap Fadilla. Tapi, tatapan matanya berubah sendu. Menarik nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan papanya. "Mm.. Mas Khaeri mau mengajak aku makan malam, Pa."
"Cuman makan malam?" Fadilla tersenyum meremehkan. "Undang saja dia datang ke rumah. Biar kita makan malam bersama di sini."
"Ih, Papa kok menyebalkan gini sih. Mas Khaeri itu maunya kami makan berdua, Pa. Kalau di rumah pasti beda lah." Sengaja mengalihkan pandangannya Dari Fadilla. Papanya itu akan cepat kasihan kalau dia sudah berubah sikap.
"Ini malam hari, Nak. Itu yang membuat Papa seperti ini."
"Papa..." Nana kembali menatap papanya dengan ekspresi memelas.
"Pergilah besok pagi." Jawab Fadilla singkat.
"Nana maunya sekarang, Pa."
"Papa tidak mengizinkan." Fadilla tidak berekspresi.
"Huh," Nana mendengus. Beralih menatap mamanya yang hanya menahan senyum mendengar rengekannya. "Mama..."
Yeti langsung mengangkat bahu. "Itu urusan kamu dengan Papa kamu. Mama nggak mau ambil alih."
"Aaa.. setidaknya Mama bantu aku untuk membujuk Papa." Nana memukul-mukul pelan paha Yeti karena kesal.
"Itu urusan kamu, Na. Mama tidak bisa mengendalikannya. Dia nikah lagi aja, Mama nggak bisa larang. Apalagi masalah sekecil ini. Papa kamu sudah pasti tidak akan mau mengalah."
Fadilla cengengesan mendengar ucapan Yeti. Dia memang sudah beberapa kali menikah. Tapi, Yeti selalu bersabar menghadapinya. Sekarang pun, Fadilla memiliki tiga istri. Tapi, ketiganya di tempatkan di rumah yang berbeda untuk menghindari percekcokan di antara ketiganya.
"Setidaknya Mama bantu aku membujuk Papa."
Yeti kembali mengangkat bahu. "Mama nggak sanggup ngomong dengannya. Dia itu cuman mau menang sendiri."
Nana menghela nafas berat. Ia merasa akan putus asa karena papanya yang belum juga mengangguk untuk mengizinkannya keluar. Kalau saja Fadilla sedang jadwal piket di istrinya yang lain, Nana pasti sudah meluncur keluar. Tidak perlu minta izin padanya lagi. Izin sari mamanya sudah cukup sebagai tiketnya keluar.
"Anak gadis itu nggak baik kalau keluar malam, Nak." Tausiah kembali keluar dari mulut sang papa.
'Huh, andai saja Papa tau kelakuanku yang dulu, Papa mungkin sudah mengusirku dari hadapannya saat ini' Batin Nana. Mengepalkan tangannya menahan kesal. Bagaimana pun caranya, dia harus berhasil mendapatkan izin itu.
Ting..!
Perhatian Nana teralihkan saat mendengar notifikasi pesan masuk di handphonenya. Merogoh benda gepeng itu dari dalam tasnya.
"Hah, itu pasti Khaeri. Dia pasti bilang, kalau di sudah berangkat. Atau mungkin sudah sampai dan sudah menunggu kamu di bawah."
Nana mengernyit mendengar ucapan Papanya. Jawaban itu betul. Khaeri sudah sampai di rumahnya dan sedang menunggunya di depan gerbang. "Papa..."
"Apa..?"
"Kok Papa menyebalkan sekali sih?!" Nana memukul-mukul tubuh papanya untuk melampiaskan rasa kesalnya.
"Walaupun menyebalkan, ini Papa kamu loh. Apa kamu mau menukarnya dengan orang lain?"
"Papa..."
Fadilla menarik sudut bibirnya. Dia berniat tidak akan memberikan izin sebelum Khaeri yang menemuinya untuk minta izin.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Good job Pak Fadilla. Sama anak itu memang harus berani tegas. Nana juga, dilarang masih aja ngeyel.
2023-10-13
0
Sadiah
Ya allah nana belajar dr pengalaman, bener kata papa kamu jangan smpi terulang kedua kali, kalaupun khaeri mau ngajak kamu ya izin masuk lah sama papa mama kamu knp mesti nunggu di depan,, bener mendingan ajak utami sekalian buat jaga² kamu agar kheiri gak macem².. sabar aja bentar lg juga nikah,, 😏
2023-08-23
0