Pagi itu, Fikri datang ke Kost Nana. Kedatangan pria itu di sambut dengan tatapan tidak suka dari Rumi. Rumi bahkan ingin melaporkan kedatangan pria itu pada Yeti, mamanya Nana. Namun, Nana selalu berhasil membujuknya dan membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan pada Yeti.
"Bu, Nana berangkat dulu." Nana meraih tangan Rumi yang masih menunjukkan wajah tidak suka pada kekasihnya yang duduk di ruang tamu.
"Sekarang Fikri menjemput kamu, Na. Jangan sampai pria itu membawa kamu keluyuran dan tidak pergi ke Kampus. Kamu sudah ketinggalan dua semester dengan teman-teman kamu yang lain."
"Itu bukan salah Mas Fikri, Bu. Itu kesalahan aku karena tidak belajar dengan baik."
Rumi mendengus. "Kamu terlalu membelanya, Na. Berangkat sana.." mengusir Nana dengan tangannya.
Nana hanya tersenyum kecil seraya berlalu. Nanti aku belikan Ibu oleh-oleh saat pulang."
"Iya... intinya kamu nggak boleh pulang malam."
"Mm..." Nana mengangguk mantap. Meninggalkan Rumi yang terlihat berat untuk melepaskan keberangkatannya bersama Fikri pagi ini.
Nana menautkan alisnya heran saat mobil yang dikendarai Fikri mengambil jalur yang berlawanan dengan arah kampusnya.
"Mas Fik, ini.. kita kok nggak ke..."
"Ssstt... jangan protes, Na." Potong Fikri. "Aku kan sudah bilang, masalah semalam harus segera di selesaikan agar hatiku bisa tenang."
"Tapi, aku harus masuk kuliah dulu, Mas."
"Bolos sekali tidak akan menjadi masalah besar, Na."
Nana kehilangan kata-kata mendengar jawaban santai kekasihnya. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Setiap kali mengunjunginya, Fikri selalu membuatnya bolos kuliah.
"Aku.. aku harus bilang apa pada Ibu nanti."
"Iya.. bilang aja kalau kamu baru pulang kuliah. Masalah sekecil itu, masa kamu tidak bisa membuat alasan."
Nana menelan ludahnya. "N.. nanti aku akan berusaha menjelaskannya pada Ibu."
"Bohong demi kebaikan, Na. Kalau kamu jujur, itu malah akan menimbulkan masalah."
Nana masih terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk menimpali semua ucapan Fikri. Suasana hening tercipta sampai Fikri menghentikan kendaraannya di depan sebuah gedung Apartemen.
Tatapan aneh langsung Nana tunjukkan pada kekasihnya itu. "Kita mau mengunjugi siapa di sini, Mas?"
"Nggak ada. Aku mengajakmu kemari untuk mengunjungi temanku. Kita juga akan menyelesaikan masalah semalam di tempat ini." Timpal Fikri tanpa sedikitpun menatap Nana. Pria itu bahkan langsung turun dari mobil tanpa menunggu persetujuan Nana terlebih dahulu.
"Mas Fik, aku mau kuliah dulu."
"Na, please deh. Aku datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk menemui kamu. Kenapa kamu tidak menghargai ku sedikitpun? Kamu tau nggak, Na. Aku sampai mengambil cuti hanya untuk datang kemari. Demi menemui wanita yang sangat aku cintai." Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. "Keluar dulu, nanti kita lanjut bicara di dalam. Aku nggak mau orang-orang menatap kita dengan aneh."
Nana bergegas keluar tanpa diminta dua kali. Wanita itu tidak mau menjadi pusat perhatian karena berseteru dengan Fikri.
"Ikut aku.." Fikri menarik tangan Nana dengan sedikit paksaan.
"Mas, pelan-pelan. Tangan aku sakit."
Perseteruan itu berlanjut sampai Fikri membawa Nana masuk ke dalam salah satu kamar Apartemen milik temannya. Pria itu bahkan berbagai macam kalimat aneh. Ia juga mencium dan memeluk tubuh Nana berulang kali.
"Mas, kamu jangan seperti ini!" Nana mempertahankan kancing bajunya yang sedang di buka paksa oleh Fikri. Di tempat itu tidak ada siapapun selain mereka berdua. Fikri sudah merencanakan hari ini dengan sangat baik, sehingga rencananya bisa berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
"Aku harus memilikimu seutuhnya, Na. Aku nggak mau perjuanganku beberapa tahun ini sia-sia karena keluargamu yang memandang status sosial."
"Mas Fik, berhenti! Kita tidak mungkin melakukan ini, Mas. kita harus menikah kalau kamu mau melakukan ini padaku."
Fikri hanya tersenyum sinis. Matanya sudah gelap karena dibutakan n**s*. Tangannya berusaha menyingkirkan tangan Nana yang memegang erat kemejanya. "Ish, ini jadi penghalang saja." Fikri menarik hijab segi empat yang menutup kepala Nana. "Aku nggak mau menunggu lagi, Na. Hari ini, aku harus bisa memilikimu seutuhnya." Fikri mencium leher Nana dengan bringas, sampai meninggalkan tanda di tempat itu.
Nana tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya menangis terisak. Lehernya pun sudah sakit karena berteriak minta tolong. Namun, siapa yang akan bisa menolongnya. Untuk menolong dirinya sendiri pun, tidak bisa ia lakukan karena tenaganya kalah jauh dengan Fikri. Wanita itu akhirnya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan di lakukan Fikri padanya.
Nana terus terisak sampai Fikri selesai melakukan apa yang diinginkannya. Melihat pria itu tertidur pulas di sampingnya, hati Nana sedikit jengkel. Fikri bahkan bisa tidur dengan tenang dan terlihat tanpa dosa setelah menodainya.
"Kamu pasti akan menyesal karena melakukan ini padaku, Mas." Nana melempar bantal ke wajah pria itu. Namun, tidak sedikitpun Fikri bergerak. Pria itu masih tidur dengan tenang.
Perasaan Nana semakin jengkel. Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Dia tidak mungkin kembali ke rumah Rumi dengan keadaannya yang seperti itu.
***********
Brak..!
Rumi akhirnya meminta satpam yang berjaga di depan gang untuk mendobrak pintu kamar Nana. Anak kostnya itu sudah sehari semalam tidak keluar dari kamar. Hal itu tentu saja menjadi tanda tanya besar untuk Rumi. Sejak kemarin, Rumi sudah khawatir karena Nana yang pulang dengan mata sembab.
"Nana, apa yang terjadi, Nak?!" Rumi hampir menjerit melihat keadaan Nana. Ia bergegas mendekati ranjang dimana Nana terbaring lemah. Wanita itu meringkuk di bawah selimut dengan kondisi tubuh yang demam tinggi. Sementara Satpam komplek yang membantu Rumi langsung berpamitan karena tidak mau ikut campur.
"Aku baik-baik saja, Bu. Jangan pedulikan aku. Aku.. aku..."
"Aku harus segera menghubungi orang tua kamu, Na. Ibu tidak mau terjadi apa-apa padamu."
Nana menahan tangan Rumi. "Jangan, Bu. Jangan bilang ke siapa-siapa. Aku hanya mau minta tolong pada Ibu untuk memberitahukan keadaanku ke Kampus. Aku nggak mau semesterku kali ini gagal lagi."
Rumi menghela nafas berat. Menarik pelan selimut yang menutupi kepala Nana. "Kamu demam, Na. Kenapa kamu malah menggulung diri dengan selimut tebal seperti ini."
"Aku.. aku ke..."
"Astagfirullah..." Rumi menutup mulutnya tidak percaya melihat apa yang di lihatnya. Nana pun, menghentikan aktivitasnya untuk menutupi kepalanya kembali karena Rumi sudah melihat semuanya.
"Siapa yang melakukan ini semua, Na? Apa Fikri yang melakukannya, hah?! Apa ini alasan kamu mengurung diri dan tidak mau bertemu dengan Ibu?" Rumi bangkit, menatap Nana dengan kesal. "Kemana pria itu sekarang, Na?"
Nana membuang wajahnya. Dia tidak tau bagaimana harus menjelaskannya pada Rumi. "Aku tidak menginginkan ini, Bu. Mas Fikri menjebak ku." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Nana. "Aku nggak bisa melindungi diriku karena tenaga Mas Fikri terlalu besar." Sambungnya sambil
"Ibu sudah berulang kali memperingatkan kamu, Nana! Pria itu tidak tulus padamu! Dia hanya menginginkan harta kamu. Dia hanya tergiur dengan status sosial keluargamu!" Ucap Rumi dengan berapi-api.
"Mas Fikri tidak seperti itu, Bu!" Nana langsung bangkit karena tidak suka dengan ucapan Rumi.
"Kamu selalu membelanya, Nana. Kamu lihat apa yang dia lakukan padamu.." Rumi menunjuk satu-persatu tanda merah di leher Nana. "Cintamu buta, Na. Pria itu harus diberi pelajaran." Rumi beranjak bangkit, bersiap meninggalkan kamar Nana tanpa menghiraukan larangan wanita itu.
"Ibu jangan mengatakan apapun pada mamaku." Nana sedikit berteriak dengan sisa tenaganya.
Rumi menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Nana dengan kesal. "Maafkan Ibu, Na. Kali ini Ibu tidak bisa menuruti keinginan kamu. Ibu akan mengatakan semuanya pada orang tua kamu. Ibu tidak mau tanggung jawab kalau terjadi sesuatu padamu." Kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia benar-benar kecewa kali ini pada Nana. Anak asuhnya itu sudah kelewatan batas kali ini.
Nana membuang nafas dengan kasar. Ia pun merasa putus asa. Ia akhirnya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Jika dia sampai hamil, entah bagaimana kehidupannya ke depan. Bagaimana dia akan menyampaikan hal itu pada orang tuanya nanti. Sejelek-jeleknya Nana di luar, ia akan selalu berusaha menjaga sikap jika sudah kembali ke kota asalnya. Namun, jika yang dibayangkannya benar-benar terjadi. Entah dimana dia akan menaruh makanya. Nana hanya mengacak-acak rambutnya frustasi. Wanita itu akan menunggu sebuah keajaiban mendatanginya.
Brak..!
Nana terlonjak kaget saat pintu kamarnya kembali terbuka dengan kasar. "Mama dan kakak kamu akan datang kemari besok pagi. Ibu tidak mengatakan yang macam-macam pada mama kamu. Tapi, mereka akan tau semuanya saat melihat keadaan kamu besok. Sekarang istirahatlah dulu. Ibu mau ke Apotek membelikan kamu obat. Mudah-mudahan tanda-tanda di leher kamu menghilang saat orang tua kamu sampai besok." Rumi meninggalkan kamar Nana. Menutup kembali pintu kamar itu.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Rina Christina
perempuan tuh dimana2 kalau udah cinta nggak pakai otak.
2024-03-07
1
Annisa
Kasihan plus kesal pada Nana. Benar kata Bu Rumi. Cinta Nana buta pada Fikri😏😏
2023-09-17
0
Sadiah
Dasar perempuan bodoh laki baik² itu pasti menjaga wanita nya dengan baik,, yaitu karena ngeyel di bilangin akibat nya,pix gak suka sama fikri dn nana sama² bodoh..😏😏
2023-07-25
0