"Nana, berhenti!" Fikri melepaskan tangan wanita di sampingnya. Berlari kecil mendekati Nana.
Nana terpaksa berbalik saat tangannya yang tidak di gandeng Khaeri di tarik paksa dari belakang oleh Fikri.
"Apa lagi sih, Mas?!" Menyentakkan tangannya yang masih di genggam Fikri. "Aku udah bilang, kita nggak ada urusan lagi. Semuanya sudah berakhir. Nggak ada lagi yang perlu di bahas."
"Bagaimana dengan Nau..."
"Jangan bahas apapun di sini. Lagian, anak itu tidak ada sangkut pautnya dengan kamu, Mas." Timpal Nana ketus sambil membuang pandangannya.
Fikri beralih menatap Khaeri. "Mm.. Dek, apa aku boleh bicara dengan Nana sebentar?"
Khaeri mengangkat bahu. "Kalau aku terserah Nana. Kalau dia masih mau bicara dengan anda, aku akan pulang duluan. Dia dan Utami bawa mobil sendiri. Aku hanya datang menyusulnya karena khawatir dia tidak bisa menjaga diri."
Fikri tersenyum ketus. "Hah, itu adalah hal yang..." mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimatnya. Hanya matanya yang melirik Khaeri dan Nana secara bergantian. Tatapan itu terlihat sangat meremehkan. "Ok, Na.. aku mau kamu memilih. Kalau kamu menolak bicara empat mata denganku, aku akan membicarakan semuanya di depan pacar barumu."
Mata Nana berkaca-kaca mendengar ancaman Fikri. "Jahat kamu, Mas."
"Heh," Fikri tersenyum sinis. "Aku hanya butuh kepastian, Na. Kamu seolah-olah membatasi semuanya."
Nafas Nana turun naik menahan kesal. Laki-laki di depannya benar-benar menguras kesabarannya. "Kak, aku mau bicara dengan orang ini sebentar."
"Pergi saja, Na. Aku akan meminta Utami untuk menemanimu lagi. Adalah pasien gawat di Klinik."
"Iya, Kak. Terimakasih." Nana beralih menatap Fikri. Tatapan matanya berubah kesal saat menatap pria itu. "Kita bicara di sana, Mas." Melangkah duluan ke tempat yang di tunjuknya.
"Kamu kok kejam gini sih, Na, sama aku. Selama ini aku menuruti keinginan keluarga kamu untuk menjauhi kamu. Aku nggak pernah mengganggu kamu. Aku hanya mau membawa Naufal untuk memperkenalkannya ke keluargaku. Eh, Ibu Kost kamu itu malah marah-marah sama kamu."
"Kamu memang nggak ada malu ya, Mas." Nana menarik tangannya yang ditarik Fikri. "Saat aku hamil Naufal, kamu nggak pernah ada rasa bersalah sama sekali. Kamu memaksaku melakukan itu semua. Kamu sudah merencanakan semuanya untuk menghancurkan aku, Mas." Mata Nana kembali berkaca-kaca. "Aku muak dengan semua ini, Mas. Kalau kamu benar-benar ingin memperkanalkan Naufal dengan keluarga kamu. Minta dia secara baik-baik pada Ibu Rumi. Dia nggak akan melarang kamu kalau kamu datang dengan baik-baik."
Fikri terdiam beberapa saat sambil menatap Nana. "Oh, harus begitu ya. Hmm.. mau bertemu anak sendiri harus minta izin pada pengasuhnya."
"Ibu Rumi itu lebih dari seorang pengasuh untuk Naufal, Mas. Dia itu adalah orang yang paling tulus menjaga hasil dari perbuatan haram kamu." Nana mengusap wajahnya seraya beranjak bangkit. Bersiap pergi, tetapi ia urungkan dan menatap Fikri kembali. "Oh iya. Satu lagi, Mas. Jangan pernah menyentuhku semau mu lagi. Kita tidak ada hubungan apa-apa. Kamu hanya masa lalu Nana Fadilla."
"Heh, kamu perlu ingat sesuatu, Nana. Kamu jangan lupa, kalau aku adalah ayah biologis dari Naufal. Jadi, ke depannya kita akan tetap berhubungan."
"Naufal tidak butuh ayah sepertimu. Naufal akan tumbuh..."
"Sejauh apapun kamu mengelak dan menghindari itu, kamu tidak akan bisa menang." Potong Fikri. Ikut bangkit dan mendahului Nana meninggalkan tempat itu.
Nana menarik nafas dalam. Ia benar-benar kehabisan kata-kata untuk menimpali ucapan Fikri. Entah mengapa, ia merasa tidak rela anaknya harus memiliki ayah seperti Fikri. Laki-laki yang minim tanggung jawab dan lebih mementingkan egonya sendiri. "Aku hanya merasa nggak rela aja, Mas. Kamu terlalu egois." Ucapnya pelan. Mengusap air mata yang keluar tanpa di minta.
"Na..."
Nana segera berbalik saat merasakan tepukan di pundaknya. Kembali mengusap sisa air matanya. "Iya, Mi.. l.. lho udah balik."
"I.. iya. Maaf, gue ketemu teman lama tadi. Keasyikan ngobrol sampai lupa waktu. Untung aja Dokter Khaeri datang ngingetin gue." Utami beralih menggandeng tangan Nana. "Gue belum ngerti dengan semua drama ini, Na. Lho juga belum cerita ke gue tentang anak yang bernama Naufal itu."
"Nggak usah di bahas sekarang, Mi. Lain kali gue cerita ke lho. Ceritanya panjang banget. Yang terpenting sekarang, lho temenin gue beli pakaian untuk anak itu."
Utami menghela nafas berat. Nana sangat menutup rapat masalah pribadinya. Mungkin karena takut mencemarkan nama baik papanya atau mungkin karena takut orang lain akan menyebar luaskan aibnya. Intinya, temannya itu nggak pernah mau membicarakan masalah pribadinya.
"Mm... umurnya berapa sih, Na?"
"Mm.." Nana melirik Utami. "Anak itu berumur dua tahun lebih sekarang. Dia tumbuh sangat sehat. Intinya, dia berarti untuk gue, Mi. Kalau lho mau, gue akan ajak lho ke sana untuk melihat anak itu"
Utami terdiam beberapa saat. Menatap Nana sambil mengernyit. "Lho gila, Na. Gaji gue tiap bulan itu hanya sekedar lewat saja. Mana ada untuk biaya ke Semarang."
"Biar gue yang tanggung semuanya. Kalau lho mau ikut, gue akan ceritakan semuanya ke lho nanti di sana."
Lama terdiam, bibir Utami tiba-tiba mengembang. "Lho kok baik banget sih, Na. Ah, gue nggak pernah ke Semarang selama ini. Bakalan asyik kayaknya. Kapan lho akan pergi?"
"Mm.. masih cari waktu yang tepat. Gue cuman mau minta tolong sama lho. Jangan pernah katakan apapun pada Kak Khaeri kalau dia bertanya."
"Ish," Utami mengkerut. "Mau cerita apaan coba. Gue juga nggak tau apa-apa." Menepis pelan lengan Nana.
Nana tersenyum lemah. "Makasih, Mi. Gue tau, lho adalah teman gue yang paling pengertian. Sekarang waktunya temani gue belanja. Udah jam sebelas. Jangan sampai Papa nelpon karena gue belum balik sampai siang."
"Siap, Bu Bos." Utami melakukan gerak hormat. Mengikuti langkah Nana yang menarik tangannya menaiki lantai tiga pusat perbelanjaan itu.
***********
Nana menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Pertemuannya dengan Fikri tadi menjadi beban pikirannya. Ia hanya mendongak menatap langit-langit kamarnya.
Deringan handphonenya membuatnya terpaksa bangkit. Nama Khaeri terpampang di layar benda gepeng itu. Namun, tidak ada senyuman yang menghiasi bibir itu.
"Halo," Nana menjawab lemah.
"Suara kamu terdengar lemah. Apa masalah tadi pagi masih di pikirkan?"
"Hah.." Nana menghela nafas berat. "Masih terngiang-ngiang, Kak. Orang itu benar-benar menyebalkan."
"Mantan kamu 'kan?" Tebak Khaeri. Melihat kekesalan Nana tadi, dia bisa menebak status laki-laki itu.
"Nggak usah di bahas, Kak."
"Mm.." Khaeri terdiam karena tidak tau apa yang akan di bahas lagi.
"Aku mau berangkat ke Semarang lusa, Kak." Nana tiba-tiba menyambung pembicaraan.
"Loh, kok buru-buru banget, Na? Bukannya kamu bilang minggu depan, Na. Kamu belum memberikan jawaban untukku."
"Tanyakan itu semua pada Papa, Kak. Aku menyerahkan semua urusan ini pada Papa. Jika Papa bilang iya, aku akan menerima semuanya."
"Baik, besok aku akan menemui Papa kamu. Aku akan datang bersama kedua orang tuaku."
"Terserah Kak Khaeri." Nana masih menjawab dengan lemah.
"Kamu nggak bersemangat, Na. Apa pria itu terlalu berarti sampai kamu kayak gini, Na?"
"Nggak!"
"Terus, kenapa kamu..."
"Ini karena aku sangat membencinya, Kak. Yang ada aku ingin membunuhnya." Potong Nana. Tidak mau Khaeri sampai salah sangka.
"Eh, kok kamu jadi serem gini sih. Jangan sampai kamu beginikan aku kalau kita tidak berjodoh."
"Nggak akan. Dia terlalu jahat padaku, sehingga aku seperti ini."
"Oh," Kaheri kembali terdiam. "Na..." ucapnya setelah cukup lama terdiam.
"Mm.."
"Aku ingin ikut kamu ke Semarang. Tapi ..."
"Boleh banget, Kak."
"Tapi, masalahnya aku takut naik pesawat, Na."
"Hah..?!" Nana ingin tertawa, tetapi ia segera menutup mulutnya.
"Aku serius, Na. Aku benar-benar takut. Aku jarang pulang ke Makassar karena ini. Naik pesawat itu ... berasa kayak gimana gitu. Benar-benar menguji nyali aku."
"Hah.." Nana kembali menutup mulutnya. Mendengar cerita Khaeri membuatnya sedikit terhibur. "Mm.. Kak,"
"Iya ada apa?"
"Seandainya aku minta Kak Khaeri untuk benar-benar ikut, bagaimana?"
"Aku ... aku ..." Khaeri menggaruk-garuk kepalanya. Pertanyaan Nana seperti sebuah tantangan cinta untuknya. "Aku akan memberanikan diri, Na. Aku benar-benar tulus dan ingin bersamamu. Aku nggak mau kamu menolak cintaku karena aku tidak berani naik pesawat."
Nana akhirnya tertawa. "Kamu terdengar lucu, Kak.".." Terserah kamu, Na. Intinya, aku nggak mau kamu menolak cintaku karena aku tidak berani naik pesawat."
"Iya.. kamu harus beranilah, Kak. Aku itu suka bolak-balik ke Semarang. Kalau Kak Khaeri nggak berani, siapa coba yang akan menemaniku."
"Iya.. nggak usah terlalu sering ke sanalah. Habis-habisin uang aja kan."
"Nggak usah di bahas lagi. Aku masih ingin tertawa mendengar kamu takut naik pesawat." Nana kembali menutup mulutnya untuk menahan tawa yang terasa mau meledak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Ya elah pak dokter.. tampan tampan kok takut naik pesawat 😅😅
2023-09-24
0
Sadiah
Mending sebelom menikah jujur dulu deh na sama ayah kamu dn khairi juga,udh ketahan tuh pelit nya khairi buang² uang naik pesawat,, jodoh nga yg beneran dong thor udh kesel sma fikri sekali nya dapet jodoh dokter pelit
2023-08-08
0