Pagi itu...
Nana tersenyum sumringah menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Wajah yang begitu cantik tanpa cacat. Tidak dalam yang menempel di wajah itu. Wajah itu terlihat bahagia karena akan bertemu seseorang pagi ini.
Dengan langkah pasti. Nana keluar dari kamarnya. Berjalan anggun mendekati meja makan di mana Yeti sedang menunggunya untuk sarapan. "Pagi, Ma.." memeluk tubuh mamanya dari belakang lalu mencium pipinya.
"Pagi juga, Sayang." Yeti tersenyum kecil sambil menatap putrinya. "Duduk dulu, Na. Kita tunggu saudara kamu yang lain."
Nana mendengus. "Randah dan Jack biasanya sarapan belakangan." Melengos membayangkan wajah menjengkelkan kedua adiknya yang sering mengganggunya itu.
"Apa kamu lupa hari ini hari apa?" Yeti menatap putrinya dengan serius.
"Nggak penting juga, Ma."
"Eh, kamu ini diingetin malah bilang gitu. Hari ini hari jum'at, Na. Kedua kakak kamu juga akan ikut sarapan di sini."
"Hehehe," Nana hanya tersenyum malas. Kalau sarapan bersama Farhat dan Sony, yang ada dia akan terlambat berangkat ke Rumah Sakit. Kedua kakaknya itu pasti membicarakan banyak hal. Sedangkan ia tidak sabar ingin bertemu dengan Dokter Khaeri, karena sejak bertugas di Rumah Sakit, ia semakin dekat dengan Dokter tampan itu.
"Ngebet banget ingin berangkat kerja. Kayaknya ada sesuatu yang tidak diketahui Mama." Yeti menatap putrinya menunggu jawaban.
"Ng.. nggak ada, Ma. Aku.. cuman.. iya.. kalau di RS aku punya banyak teman ngobrol." Nana berusaha mengelak. "Utami juga di sana. Mama kan tau, aku dekat banget dengan Utami."
"Tapi, berkumpul dengan keluarga itu sudah pasti harus diutamakan, Nak."
"Hmm.." Nana menghela nafas berat. "Iya, Ma. Aku juga nggak akan bisa pergi tanpa izin dari Mama." Akhirnya Nana menunggu sampai semua saudaranya berkumpul dan sarapan bersama. Tidak lupa ia mendengar dengan baik apapun yang di sampaikan kedua kakaknya sebelum mereka berangkat kerja.
Pupus sudah harapan Nana untuk datang lebih pagi dan mendahului Khaeri. Dokter tampan itu benar-benar sudah mulai beraktivitas saat dia datang.
"Eh, Nana." Khaeri tersenyum manis saat Nana memasuki ruangan.
"Maaf, Dok. Saya telat karena ada acara kumpul keluarga setiap pagi jum'at."
"It's no problem. Lagian tempat ini juga milik orang tua kamu kan. Jadi, nggak ada yang perlu di permasalahkan 'kan?" Khaeri menaikkan alisnya sambil menatap Nana.
"Heh," Nana tersenyum salah tingkah. Gaya Khaeri yang seperti itu membuat dadanya berdebar tak menentu. Mereka berdua saling mendiami setelah itu. Nana tidak tau apa lagi yang akan di bahas. Duduk bersebelahan kursi dengan Khaeri membuat perasaannya tak karuan dan sulit untuk membuka percakapan lebih dulu.
Menjelang siang, Khaeri mengajak Nana untuk keluar mencari makan.
"Tumben Dokter mengajak saya. Biasanya juga pergi sendiri."
Khaeri terdiam beberapa saat mendengar jawaban Nana. Ia mengusap-usap tengkuknya. "Iya... dari kemarin-kemarin sebenarnya aku mau ngajak, Na. Tapi, akunya malu karena asisten rumah kamu selalu mengantarkan makan siang untuk kamu." Timpal Khaeri dengan malu-malu. Hampir dua bulan bekerja bersama Nana, Dokter tampan itu terlihat semakin dekat dengan Nana.
"Iya.. mau bagaimana lagi. Itu semua atas perintah Mama." Nana menjawab dengan malu-malu.
"Ayo berangkat.." Khaeri meraih tangan Nana dan mnggandengnya keluar dari ruangan.
Deg..!
Nana menelan ludahnya sambil melotot melihat tingkah Khaeri. Dokter tampan itu menggandeng tangannya di tempat umum. Dadanya semakin berdebar saat pria itu malah menggenggam tangannya semakin erat saat menyebrangi jalan raya.
********
Malam itu, Nana di panggil Fadilla untuk membicarakan sesuatu.
Farhat menepuk sofa di sebelahnya saat melihat kedatangan putrinya.
"Wah, kayaknya putriku betah bekerja di Rumah Sakit. Setiap hari selalu rajin berangkat pagi."
"Harus seperti itulah, Pa. Masa aku yang anak pemilik Rumah Sakit malah bekerja semaunya. Apa kata orang nanti. Mentang-mentang anak pemilik Rumah Sakit, bekerja semaunya." Nana menirukan mulut para penggibah yang sering menjelek-jelekkan rekan kerja mereka.
Fadilla tertawa kecil. "Ah, kamu ini bisa saja, Nak. Ucapnya sambil mengusap-usap kepala Nana. "Hah.." membuang nafas dengan kasar. "Papa mau ngomong sesuatu sama kamu, Nak."
"Mm.." Nana menatap papanya. "Ngomong aja, Pa. Dari tadi juga aku udah bersiap untuk mendengarkan Papa. Biasanya Papa memanggilku kalau ada yang perlu di bicarakan."
Fadilla menatap putrinya dengan serius. "Papa ingin, kamu mulai bertugas di lantai empat, Nak."
Nana mengerutkan alisnya. Mendengar lantai empat, itu berarti papanya memintanya untuk masuk ke pimpinan tertinggi Rumah Sakit.
"Aku nggak mau kerja di atas, Pa. Aku lebih senang bertugas di IGD saja."
"Nana..."
"Sudahlah, Pa. Biarkan saja Nana mencari pengalaman dulu." Yeti berusaha menenangkan suaminya. Bagaimana pun juga, kalau Nana sudah pindah, itu berarti putrinya tidak bisa mengamalkan ilmu yang di timbanya selama ini.
"Hah, tapi dia terlihat tidak pantas, Yeti." Fadilla masih bersikeras memindahkan Nana. Ia ingin putrinya itu segera menjabat sebagai Direktur baru di Rumah Sakit miliknya itu. "Andaikan kedua kakak kamu bergelar Dokter seperti kamu, Papa pasti sudah mengangkat salah satu dari mereka sebagai Direktur. Papa ingin sekali anak Papa yang memegang pimpinan tertinggi."
"Nana masih perlu belajar banyak, Pa. Tapi, kalau Papa menginginkan itu, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, aku masih ingin bekerja di IGD untuk mencari pengalaman."
"Iya, Papa akan mempertimbangkan keinginan kamu ini." Fadilla kembali mengelus-elus kepala putrinya. Keberhasilan Nana meraih gelar Dokternya menjadi kebanggaan tersendiri untuk pria paruh baya itu.
Nana melirik ke arah papanya saat handphonenya bergetar. Ia melihat layar handphonenya dan melihat nama Rumi terpampang di sana. Tapi, ia tidak berani menjawabnya di hadapan Fadilla. Ia beralih menatap mamanya sambil mengerjapkan matanya. Yeti yang mengerti dengan isyarat putrinya mengangguk mengerti. Sengaja berpindah tempat duduk ke samping Nana, agar bisa memanipulasi keadaan.
"Mm.. kamu ngantuk, Na?" Yeti menangkup pipi putrinya. Mengerjapkan matanya pada Nana karena mengerti dengan kondisi yang sedang dihadapi putrinya.
"Kamu ini merusak suasana saja, Yeti." Fadilla langsung memotong. "Jarang-jarang ada waktu bicara dengan Nana seperti ini." Protes Fadilla seraya memindahkan tangan Yeti dari pipi Nana. "Papa masih mau ngobrol dengan Nana, agar ke depannya dia bisa menampakkan wibawanya di depan banyak orang," sambungnya. Namun, Fadilla mengernyit saat putrinya itu malah menguap dengan lebar. "Kamu benar-benar sudah ngantuk, Na?"
"Ehehehe... iya, Pa." Nana tersenyum kikuk. Ia harus berpura-pura agar Fadilla melepaskannya pergi. Handphonenya kembali bergetar. Tidak biasanya Rumi menghubunginya berulang kali jika tidak ada sesuatu yang penting.
"Tidurlah kalau begitu. Lain kali kita ngobrol lagi." Fadilla mengusap-usap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. Mendengar itu membuat Nana tersenyum sumringah. "Terimakasih, Pa." Segera bangkit lalu memeluk tubuh papanya sekilas. "Good night, Pa, Ma.."
Fadilla dan Yeti menatap Nana sampai wanita itu hilang dari pandangan.
Nana langsung mengunci pintu kamarnya dan segera mengangkat panggilan Rumi.
"Nana.. kamu kemana saja. Ibu berulang kali menghubungi kamu."
"Tadi aku sedang bersama Papa, Bu. Kalau aku jawab teleponnya di sana, pasti Papa akan bertanya panjang lebar. Aku nggak mau membuat masalah baru. Kalau Papa tau tentang Naufal, kayaknya aku tidak akan menjadi manusia lagi." Jawab Nana dengan lemah.
"Oh, maafkan Ibu, Nak. Ibu hanya khawatir. Ibu kira kamu sengaja melakukan itu karena menghindari Ibu."
"Eh, Ibu kok ngomong gitu. Nana nggak mungkin melakukan itu, Bu."
"Iya.. Ibu percaya sama kamu, Nak. Kamu tidak mungkin melakukan itu." Rumi diam setelah itu.
"Ibu..."
"Iya, Nak."
"Ibu mau ngomong apa? Tidak mungkin Ibu menghubungiku jika tidak ada hal yang perlu di sampaikan."
Rumi masih diam. Wanita itu sedang memilih kata yag pas untuk menyampaikan pada Nana.
"Ibu..."
"Iya, Nak. Ibu memang mau memberitahukan sesuatu sama kamu."
"Apa itu, Bu?" Nana memperbaiki posisi duduknya. Rumi terdengar cukup serius.
"Tadi pagi Fikri datang, Na. Dia ingin membawa Naufal bersamanya."
"Apa?! Terus apa yang terjadi? Apa Ibu mengizinkannya?" Suara Nana terdengar panik. Pria itu hilang bagai di telan bumi setelah menghamilinya waktu itu. Sekarang dia datang dan meminta anaknya. Sungguh hal ini di luar dugaannya.
"Tenang dulu, Na." Rumi menarik nafas dalam. Wanita itu pun sangat terkejut saat melihat orang yqmang berdiri di depan pintu rumahnya pagi tadi. Bukan hanya terkejut, ia juga geram karena Fikri terlihat tidak bersalah sama sekali. Naufal bahkan sampai menangis kencang saat Fikri berusaha menggendongnya.
"Ibu tidak mengizinkannya, Na. Ibu sampai adu mulut dengannya. Dia benar-benar tidak sopan. Keributan yang di buatnya sampai mengundang perhatian warga sekitar. Untunya para warga berpihak pada Ibu dan membantu Ibu mengusirnya."
Nana menarik nafas lega. Setidanya anaknya aman bersama Rumi di sana.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Nana kenapa anaknya sendiri harus disembunyikan...
2023-09-21
0
Sadiah
Udah jujur aja na biar fikri di masukin penjara sekalian smaa papa kamu.. enak banget udh hamilin anak nya gede mau di ambil,, 😠😠
2023-08-03
0