"Kamu benar-benar akan berangkat ke Semarang, Na. Kita sedang membahas masalah lamaran loh, Na. Kamu ada perlu apa sih, sampai kamu nggak mau menundanya?"
Nana akhirnya berbalik seraya menghela nafas berat. Menghentikan langkahnya dan menatap Khaeri. Berharap pria itu mau mengerti dan tidak mencegahnya untuk pergi. "Mi, lho duluan aja. Bawa koper ini. Tunggu gue di pintu masuk." Menyodorkan koper yang sedang di tariknya pada Utami.
"Iya.." Utami mengangguk patuh. Menarik tuas koper yang diserahkan Nana seraya berlalu meninggalkan sahabatnya itu. Setelah Utami pergi, Nana menarik tangan Khaeri dan mengajaknya duduk di sebuah bangku kosong tak jauh dari tempatnya tadi.
"Aku harus pergi, Kak. Naufal sedang membutuhkan aku. Anak itu... anak itu sedang sakit."
"Naufal itu siapa sebenarnya, Na?" Khaeri menangkup pipi Nana karena wanita itu seperti enggan menatapnya.
"Aku akan menjelaskannya pada Kak Khaeri. Tapi tidak sekarang. Aku sedang terburu-buru." Menurunkan tangan Khaeri perlahan.
"Hah," mengusap wajahnya dengan kasar. "Sepertinya anak itu sangat berharga untukmu."
"Iya ..." Nana mengalihkan pandangannya. "Dia memang sangat berharga." Beranjak bangkit seraya menarik nafas dalam. "Aku berangkat dulu. A.. a.. assalamualaikum..." terlihat ragu untuk mengucap salam. Tetapi, ia mengucapkannya walaupun tersendat-sendat.
Tidak terdengar jawaban dari mulut Khaeri. Hanya suara ******* kesal karena Nana tidak menuruti keinginannya. "Sial..!" umpatnya kesal. Menghempaskan tangannya lalu berbalik meninggalkan tempat itu.
Nana tersenyum lemah melihat hal itu. Ia harus pergi karena bagaimanapun juga, Naufal sedang membutuhkannya saat ini. Dia tidak mungkin batal pergi hanya karena Khaeri menghalangi langkahnya.
*********
Rumi langsung memeluk tubuh Nana saat melihat kedatangan anak kostnya itu. Beberapa bulan pisah dengan Nana membuatnya sangat merindukannya. "Kamu apa kabar, Nak..? Ya Allah.. beberapa bulan tidak bertemu kamu terlihat makin cantik dan berisi."
"Naufal bersama siapa di Rumah Sakit, Bu?" Mata Nana menatap sekitar. Tidak perduli dengan pertanyaan Rumi. Ia hanya sadar, kalau Rumi sedang di rumah sedangkan anaknya di Rumah Sakit. "Naufal bersama siapa di sana, Bu? Ibu tidak mungkin meninggalkannya sendirian kan..?" Menatap Rumi dengan tajam menunggu jawabannya.
Rumi terkejut mendengar pertanyaan Nana. "M.. maafkan Ibu, Na. Naufal ... Naufal di jaga oleh ayahnya."
"Hah..?!" Tas di tangan Nana langsung terjatuh karena terkejut. "B.. bagaimana bisa Ibu membiarkannya?"
"Duduk dulu, Nak. Kamu pasti capek setelah perjalanan jauh." Rumi menarik tangan Nana agar duduk terlebih dahulu.
"Ibu belum menjawab pertanyaan ku." Menarik tangannya dari Rumi. "Kenapa Ibu membiarkan Mas Fikri menjaga Naufal? Bagaimana kalau dia membawa Naufal pergi?" Air mata mulai menggenang di mata Nana.
"Dia ayahnya, Na. Maafkan Ibu. Fikri datang dengan baik-baik semalam. Ibu tidak mungkin mengusirnya pergi saat Naufal sedang membutuhkan dekapan hangat orang tuanya."
Utami yang awalnya tidak paham dengan pembicaraan Nana dan Rumi, perlahan-lahan mulai mengerti. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Hanya menatap dua wanita yang sedang beradu tangis di depannya.
"Dia datang dengan baik-baik, Na. Dia datang bersama seorang wanita. Katanya, wanita itu adalah calon istrinya." Rumi menatap Nana. Khawatir kalau ucapannya itu mengusik Nana.
"Aku sudah tau, Bu. Aku pernah bertemu dengan mereka." Nana menunduk. "Aku.. aku juga akan menikah, Bu." Mengangkat kepalanya perlahan dan menatap Rumi.
"Alhamdulliah.. Ibu ikut bahagia mendengarnya. Setidaknya, pria itu tidak akan meremehkan kamu karena kamu sudah mendapatkan penggantinya."
Nana mengusap air matanya. "Aku mau ke Rumah Sakit, Bu. Aku mau melihat keadaan Naufal."
"Apa kamu yakin akan pergi sekarang?" Menatap Nana dengan ragu. "Fikri masih di sana."
"Dia tidak akan pergi kalau aku tidak segera ke sana. Aku juga nggak mau, anakku terlalu dekat dengan mereka." Nana menenteng kembali tasnya. "Naufal di Rumah Sakit mana?" Tanyanya seraya beranjak bangkit.
"Di Rumah Sakit Xx.."
"Kunci mobil Ibu.." menyodorkan tangannya pada Rumi.
Rumi langsung menyerahkan kunci mobil tanpa banyak protes. Nana terlihat marah. Mungkin karena dia mengizinkan Fikri menjaga Naufal tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Sampai Rumah Sakit...
Nana langsung menarik tangan Utami menuju resepsionis. Tidak sedikitpun ia mengajak Utami bicara. Sepanjang perjalanan tadi pun, hanya diisi dengan keheningan.
"Berhenti, Na!" Utami memaksa Nana untuk melepaskan tangannya. Hal itu membuat Nana menghentikan langkahnya. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Gue hanya mau memastikan apa yang sedang gue pikirkan." Sambung Utami sambil menunggu reaksi Nana. Tapi, Nana tetap diam. Temannya itu juga sedang menunggu apa yang ingin dia katakan Utami.
"Apa gue boleh mengeluarkan apa yang sedang gue pikirkan, Na?" Utami menatap Nana dengan ragu. Takut kalau Nana memberikan reaksi yang tidak disangka-sangkanya.
"Katakan saja. Aku tidak mungkin memarahimu karena kamu mengatakan apa yang kamu pikirkan." Jawab Nana tanpa berbalik.
Utami menarik nafas panjang. "Kalau aku nggak salah tangkap, Naufal itu.. anak kamu dan Kak Fikri. A.. aku nggak salah kan, Na?"
"Iya,"
Utami menelan ludahnya. "Jadi anak itu.."
"Jangan tanyakan apapun lagi, Mi. Intinya, dia adalah anak aku. Jangan bahas siapa ayahnya. Aku benar-benar muak mengingat pria itu."
"Gue butuh penjelasan, Na. Lho ini bagaimana sih..?!"
"Nanti gue jelaskan. Intinya, Naufal adalah anak gue."
Utami memutar bola matanya kesal. Melangkahkan kembali kakinya mengikuti Nana. Masih tidak percaya kalau temannya itu bertindak sampai sejauh ini.
Utami semakin tidak percaya melihat ekspresi Nana saat membuka pintu ruang perawatan Naufal.
"Kalian keluarlah! Aku ingin bersama anakku." Nana langsung mengambil alih Naufal dari pangkuan wanita berambut pirang.
"Na.. astagfirullah.. lho ini kenapa sih?!" Utami berusaha menyadarkan Nana karena temannya itu sangat tidak sopan.
"Naufal juga anakku, Na. Jangan karena kamu ibunya, lalu kamu tidak mengizinkan aku bersamanya." Fikri menimpali. Mendekati wanitanya dan meraih tangannya. "Kamu nggak apa-apa kan, Naura?"
Wanita yang dipanggil Naura itu tersenyum kecil. "Ng.. nggak apa-apa, Mas. Aku.. aku cuman terkejut."
Fikri beralih menatap Nana. "Kamu jangan keterlaluan, Na. Bukan hanya kamu yang berhak atas Naufal. Aku juga berhak."
Nana tersenyum getir. "Kamu terlihat tidak ada malu mengatakan itu, Mas. Apa kamu sudah hilang ingatan? Kenapa baru sekarang kamu mengatakan ada hak atas Naufal? Kemana saja kamu sebelum ini, hah?!" Nana meninggikan suaranya. Tidak perduli dimana mereka berada saat ini. Dia hanya mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya. Dadanya terlihat turun naik menahan amarah. "Kamu ingat, Naufal ada karena kamu menjebakku. Setelah kamu menjebakku sampai aku hamil. Tanpa rasa bersalah kamu memintaku untuk membunuhnya. Setelah itu kamu hilang entah kemana. Dan sekarang.." Nana menjeda kalimatnya. Semakin memeluk erat tubuh Naufal yang memeluk erat lehernya.
"Aku hanya menghindar karena desakan keluarga kamu, Nana!" Fikri ikut meninggikan suaranya.
"Jangan pernah meninggikan suaramu di depan anakku. Aku nggak mau Naufal takut sama ayahnya sendiri karena memiliki sifat tempramental." Nana mendekati sofa dan mendudukkan Naufal di atas pangkuannya. Kembali menatap Fikri yang masih menatapnya dengan tajam. "Mas Fikri juga nggak usah melibatkan keluargaku. Karena mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Kamu menghilang karena kamu memang tidak mau bertanggung jawab. Kak Sony tidak pernah mendesak Mas Fikri. Dia bahkan menanyakan keberadaan kamu pada teman-temannya." Nana tersenyum kecil. "Tapi, kamu benar-benar menghilang bagai di telan bumi. Dan sekarang, setelah melihat Naufal tumbuh dengan sehat, kamu berniat mengambilnya. Heh, itu tidak akan pernah terjadi, Mas. Jangan kamu kira diamku selama ini adalah sebuah kebodohan."
"Maksud kamu apa berkata begitu?" Wajah Fikri memerah mendengar semua ucapan Nana.
"Nggak usah diperpanjang, kalau kamu tidak mau menanggung malu. Cukup sampai di sini saja. Ke depannya, aku tidak akan melarang kamu untuk bertemu dengan Naufal, selama kamu memiliki niat yang baik. Kamu benar, kamu memang ada hak padanya. Tapi, jangan pernah bermimpi untuk membawanya dan mengasuhnya sendiri. Aku nggak mau uangku untuk menafkahinya nanti, malah habis di makan oleh kamu."
"Jaga mulut kamu, Nana!"
"Aku bilang, cukup sampai di sini. Jangan memaksaku untuk mengatakan semuanya, kalau kamu tidak mau menanggung malu."
"Hah, bangsat kamu!" Fikri mengusap wajahnya dengan kasar seraya keluar dari ruangan itu. Naura ikut keluar mengikuti Fikri.
Setelah dua orang itu pergi, Utami baru mendekat dan duduk di samping Nana. Menatap wajah Naufal yang nemplok dalam pelukan Nana. "Na, kenapa masalahnya jadi serumit ini?"
Nana tersenyum getir. "Dari perdebatan tadi, apa kamu sudah mengerti semuanya tanpa aku harus menjelaskan lagi?"
"Ada yang belum aku mengerti sepenuhnya." Beralih menatap Naufal. "Anak kamu tampan, Na. Dia lebih cenderung ke kamu. Tidak sedikit pun dia mirip dengan pria tadi."
"Dia tau kalau dia sampai lahir karena jebakan pria itu. Untuk apa Naufal mirip sama dia. Dia saja lari dari tanggung jawab. Saat ini dia kehilangan pekerjaan, makanya memaksa Ibu Rumi untuk mengambil Naufal." Menatap Utami yang sedang khusyuk mendengar ceritanya. "Kalau Naufal tinggal bersama dia ... kamu mengerti 'kan?"
Utami mengangguk. Ternyata temannya ini sudah memperediksi maksud dan tujuan Fikri mendekati Naufal.
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Ih, tu ayah kok kedengarannya jhat banget sih Thor. Kok aku yang kesel dengar tujuannya mendekati Naufal. 😏😏
2023-10-03
0
Sadiah
Ya allah,, jauhin nana dn naufal dr fikri thor,, enak banget dateng² ngakuin fikri anak nya, udh gak kerja manfaatin naufal buat ladang uang nya,,😏😏
2023-08-11
0