Hampir satu bulan Nana dan Khaeri pulang. Hari ini adalah hari pelantikan Nana menjadi Direktur. Satu bulan lagi, akan di adakan acara lamaran Nana dan Khaeri. Namun, sebelum melamar Nana, Pak Fadilla kembali menegaskan, kalau Khaeri harus tinggal di rumah besar keluarga Fadilla. Khaeri hanya mengiyakan tanpa berpikir panjang.
"Besok kalian ke Butik langganan Mama. Mama sudah bilang ke mereka, kalau kalian akan datang." Yeti langsung memberikan instruksi pada putri dan calon menantunya.
"Ma, acaranya masih satu bulan lagi loh. Masa pakaiannya sudah disiapkan dari sekarang?"
"Nurut aja, Na. Lagian menjelang acara nanti, kita semua pasti sibuk. Apa salahnya sih, nurut sama Mama." Sony ikut menimpali karena tidak suka mendengar Nana membantah ucapan mamanya.
"Tapi, Kak. Besok kan aku harus masuk kerja. Masa jadi Direktur baru, mau bolos kerja." Nana melengos seraya mengalihkan pandangannya.
"Jam kerja itu sampai jam berapa sih, Dek. Kamu kan bisa pergi setelah pulang kerja. Khaeri juga kerja sampai jam dua kan."
"Iya, Kak. Tapi, sorenya aku harus ke Klinik."
Sony terdiam beberapa saat mendengar jawaban Khaeri. "Mm.. kalau begitu kalian pergi besok siang saja. Kamu ngantor sampai jam dua saja, Na. Nanti minta Khaeri telepon kamu kalau jam kerjanya sudah habis." Menatap Nana dan Khaeri secara bergantian.
"Nanti saya menjemput Nana ku ruangannya saja, Kak." Timpal Khaeri.
Sony mengangguk. Kembali menatap Khaeri karena ingin menanyakan sesuatu. "Sejak kapan kamu buka praktek mandiri?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Sony. Ia tidak pernah menyelidiki hal ini sebelumnya. Sebelumnya ia hanya menyelidiki kehidupan Khaeri yang menyangkut masalah pribadi pria itu.
"Aku.. aku baru mulai beberapa bulan, Kak."
"Klinik itu milik siapa?" Sony kembali bertanya.
"Itu milik orang tua teman ku. Tapi, orang tuanya meninggal sekitar dua tahun yang lalu, sehingga Klinik itu atas nama dia sekarang."
"Oh, baguslah kalau begitu. Setidaknya kamu bisa menjamin kebahagiaan Nana nanti. Masalah Naufal jangan kamu pikirkan. Kami semua yang akan memenuhi kebutuhannya."
"Mm.." Khaeri tersenyum kaku. "Terimakasih, Kak."
"Mm.." Sony mengangguk. "Saya masuk duluan. Ayo," mengajak istrinya untuk masuk ke dalam kamar.
Selepas kepergian Sony, Yeti beralih menatap Nana. "Kamu jangan menentang ucapan kakak kamu yang satu itu, Nak. Kamu tau sendiri kan, bagaimana sifatnya dia." Memegang tangan Nana yang hanya mengangguk mendengar ucapan ibunya.
"Kalau begitu saya juga ikut pamit, Ma." Khaeri beranjak bangkit. Meraih tangan Yeti lalu menciumnya. Beralih menatap Nana yang duduk di samping Yeti. "Na, aku pulang dulu ya. Sebentar lagi isya. Mama dan Papa di rumah akan bertanya kalau aku pulang terlalu lama."
"I.. iya, Mas. Hati-hati di jalan." Nana menatap Khaeri seraya tersenyum lembut.
"Nak Khaeri datang kemari pakai apa?"
"Naik sepeda motor, Ma."
"Loh, kok nggak bawa mobil? Angin malam itu terasa berbeda loh. Apalagi sejak fenomena alam La Nina ini. Cuaca benar-benar tidak bersahabat. Wajah dan bibir Mama saja sampai terkelupas kayak gini."
Khaeri tersenyum mendengar ucapan Yeti. "Ah, aku sudah biasa, Ma. Malahan kalau pakai mobil, terasa lambat sampai rumah. Apalagi kalau sampai di perempatan di kota A. Ampun deh, pasti kena macet. Kalau pakai motor, aku bisa menyelinap di celah-celah mobil."
"Iya.. kalau Mama sih, nggak pernah keluar pakai motor. Mama nggak tau rasanya keluar rumah di bonceng pakai sepeda motor."
Khaeri Kembali tersenyum. "Untuk masalah kulit Mama, nanti deh aku carikan obatnya. Mungkin Mama ada riwayat alergi dingin. Nanti aku titipkan obatnya lewat Nana."
Yeti tersenyum sumringah mendengar ucapan calon menantunya. "Wah, Mama senang banget dengarnya, Nak. Ya sudah, Mama tunggu kamar baiknya."
"Saya akan usahakan secepatnya, Ma. Kalau begitu saya pamit." Khaeri terdiam beberapa saat. "Assalamu'alaikum.." ucapnya kemudian seraya berlalu keluar.
"Wa'alaikum salam.." Yeti dan Nana menjawab bersamaan. "Ma, Nana ke kamar dulu ya." Nana langsung pamit begitu Khaeri hilang dari pandangan.
"Iya, Nak. Ah, calon suami kamu itu perhatian banget deh, sama Mama. Jangan lupa besok ingatkan dia obatnya ya." Yeti menepuk-nepuk punggung Nana seraya berlalu pergi.
Nana mengernyit melihat tingkah mamanya. Menghela nafas berat lalu masuk ke dalam kamarnya.
Dua asisten rumah langsung mendekat ke ruang keluarga setelah semuanya pergi. Mereka akan membereskan sisa-sisa pertemuan keluarga besar itu.
Di dalam kamar Nana..
Nana menatap layar handphonenya dengan serius. Wanita itu sedang mengecek saldo tabungannya. Setidaknya dia mau mempersiapkan uang yang akan dibawanya ke Butik besok siang. Dia tidak mau terlalu mengharapkan Khaeri yang akan membayar semuanya. Karena yang meminta mereka ke Butik adalah mamanya Nana.
********
Khaeri datang ke Rumah Sakit dengan membawa mobil pagi itu. Ini adalah pertama kalinya dia membawa mobil selama bekerja di Rumah Sakit milik Fadilla itu.
Utami yang melihat hal itu, langsung senyum-senyum sendiri. Ia langsung menghubungi Nana untuk memberitahukan hal itu.
Tut...
Utami mendengus saat panggilannya tidak terjawab. "Ah, lho nggak seru banget sih, Na. Padahal infonya penting gini. Masa lho belum bangun sih.." ngedumel sendiri karena merasa di abaikan.
Baru akan beranjak pergi dari tempatnya berdiri, handphone di tangannya bergetar. Utami menarik sudut bibirnya saat melihat nama yang terpampang di layar handphonenya. "Apa, Na. Dari tadi di telepon, malah mengabaikan panggilan gue."
"Gue sedang bicara dengan Mas Khaeri tadi. Ada apa, Mi?"
"Hehe.." Utami cengengesan. "Calon laki lho terlihat keren banget, Na. Tumben tuh, dia bawa mobil. Orangnya keren gitu lagi. Apalagi keluar dari mobil sambil membuka kata mata hitamnya. Aaaahhh... dia terlihat sangat keren, Na."
"Ish, dasar lho. Itu calon laki gue, ngapain lho yang kagum kayak gitu?"
"Ehehehe..." Utami kembali cengengesan. "Ya... kagum dikit boleh lah, Na. Yang penting kan gue nggak naksir. Ogah juga naksir sama dia. Orangnya pelit kayak gitu."
"Eh, pas di Semarang kemarin, Mas Khaeri udah traktir lho makan beberapa kali. Itu apa namanya coba?"
"Udah lupa gue. Udah, buruan datang. Biar lho bisa lihat calon laki lho. Mobilnya juga terlihat keren, Na."
"Udah tau kali. Dia udah kirimin fotonya ke gue. Dia bawa mobil karena kami mau ke Butik untuk memilih baju untuk lamaran nanti."
"Wah.. kapan lho pergi?"
"Selesai kerja nanti."
"Jam berapa?"
"Saat Mas Khaeri selesai bertugas. Soalnya nanti sore dia mau ke Klinik." Ucap Nana. Ternyata dia sedang bersiap untuk berangkat kerja. Meletakkan handphone di atas meja riasnya dengan mengaktifkan loud speakers, agar bisa bicara dengan Utami sambil bersiap.
Utami terdiam mendengar jawaban Nana. Hal itu membuat Nana bertanya-tanya. Menatap layar handphonenya yang masih menyala. Panggilannya dengan Utami masih terhubung. Tapi, temannya itu hanya diam saja. Nana meletakkan lipstik di tangannya. Mengurungkan niatnya untuk mengaplikasikan benda itu di bibirnya. "Halo, Mi.. apa lho masih di sana?"
"Eh, masih, Na. Sorry.."
"Lho lagi mikirin apa sih?"
"Mm.." Utami kembali terdiam.
"Halo..."
"Eh, iya, Na. Gue mau ngomong sama lho. Tapi, lho jangan marah ya." Utami segera masuk ke dalam ruang IGD karena Melihat Khaeri berjalan mendekat.
"Kalau yang lho omongin itu tidak menyakitkan, gue nggak akan marah dan sebaliknya." Nana termenung setelah menyelesaikan kalimatnya. Perasaannya mulai tidak tenang memikirkan apa yang akan dikatakan Utami. Jangan sampai Utami melihat Khaeri melakukan hal-hal yang tidak-tidak.
Pengalaman buruk saat menjalin hubungan dengan Fikri dulu, membuatnya merasa khawatir. Utami selalu mengatakan hal yang sama ketika memergoki Fikri jalan dengan wanita lain.
"Na, boleh nggak gue ikut nanti siang?"
Nana mengernyit. "Maksud lho?"
"Gue mau ikut ke Butik bersama lho. Nggak apa-apa kan, kalau gue ikut?" Utami bertanya dengan hati-hati. Hanya bisa berdoa, semoga Nana tidak menolak permintaannya.
"Ngapain...?"
"Ih, mau ikut aja, Na. Gue nggak mau ketinggalan informasi."
"Huh," Nana langsung mendengus. "Bilang aja kalau lho mau jadi penguntit. Lho pasti diminta Mama untuk ikut kan?"
"Nggak, Na!" Utami langsung menyangkal. "Mama Yeti nggak ada sangkut pautnya. Gue cuman penasaran, bagaimana Dokter Khaeri memperlakukan lho kalau sedang berdua."
"Hmm.. kalau lho ikut, kami nggak jadi berdua dong."
"Eh, nggak boleh berduaan kalau belum halal, Na. Udah dapat akibatnya juga. Masih aja mau main berduaan."
Nana langsung melototkan matanya. "Lho mau kena tabok atau apa?! Gue kan udah bilang, waktu itu Mas Fikri menjebak gue."
"Hehehe... iya, gue cuman bercanda kok. Tapi, gue yakin, Pak Dokter nggak akan bersikap bejat seperti Kak Fikri."
Brak..!
Utami terperanjat saat seseorang melempar buku ke depannya. Ia mendongak perlahan dan mendapati Khaeri sedang menatapnya dengan tajam. Spontan ia langsung mematikan sambungan teleponnya dengan Nana. Menatap Khaeri dengan wajah merah padam. "Hehehe.. Pak Dokter, udah datang ya.."
"Padahal kamu udah tau dari tadi. Kamu lagi mengumpat saya 'kan?"
"Eh, ng.. nggak, Dok." Utami berusaha mengelak. "Tadi aku cuman minta izin untuk ikut ke Butik nanti. Tapi, Nana belum menjawab tadi. Pak Dokter keburu datang dan mengejutkan aku." Utami mengalihkan pandangannya karena kesal.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Aduh.. Utami kok suka ngekor 😅😅😅
2023-10-10
0
Sadiah
😅😅😅,,, bagus utami hrus ikut biar gak kejadian sama waktu sama fikri toh pernikahan masih lama sebulan lagi,, ada yg aneh ya pak Fadil kan orang tertinggi knp bs gak tau rahasia tentang nana kayanya gak mungkin kalau gak tau deh,, atau jangan² pak Fadil sudah tau ya?.. 🤔🤔
2023-08-20
0