"Kemari lah, duduk di sampingku.." menepuk sofa di sebelahnya.
Nana kembali mengusap air matanya. "Nggak perlu, Kak. Aku di sini saja. Aku mau mempersiapkan hatiku untuk mendengarkan keputusan Kak Khaeri nanti. Pindah tempat duduk di sebelahmu, hanya akan membuatku mengharapkan Kak Khaeri." Menimpali tanpa mengangkat wajahnya. Menatap Khaeri hanya membuatnya ingin menangis lagi.
"Hah," Khaeri tersenyum menyeringai. "Apa-apaan sih kamu ini. Ayo, sini duduk.." kembali menepuk sofa di sebelahnya.
Nana kembali menggeleng. "Aku nggak mau berharap terlalu banyak."
"Astaga, Nana..." Khaeri akhirnya beranjak bangkit. Berpindah duduk di samping sambil tersenyum. Hal itu membuat perasaan Nana semakin tidak tenang.
"Aku menghargai kejujuran mu, Na." Menarik tubuh Nana, memberikan sebuah pelukan hangat untuknya. "Aku sudah tau semuanya. Pria itu menemui ku, sehari setelah pertemuan kita di pusat perbelanjaan itu."
Nana mengangkat wajahnya perlahan, menatap Khaeri dengan bingung. Lebih tepatnya, ia terkejut mendengar pengakuan Khaeri.
"Maaf kalau aku lancang memelukmu. Tapi, aku sangat ingin melakukan ini padamu. Mendengar cerita pria itu waktu itu, membuatku ingin memukul wajahnya yang sok keren itu. Pekerjaan hanya sebagai karyawan PDAM saja sudah belagu minta ampun. Belum lagi kemarin di pecat gara-gara hamilin anak orang." Ucap Khaeri dengan lantang. Tangannya masih melingkar memeluk tubuh Nana.
"Apa?!" Nana dan Utami terkejut serentak. Nana bahkan sampai menegakkan duduknya dan membuat pelukan Khaeri terlepas. Utami sampai menggendong Naufal dan ikut duduk di sofa.
"Iya, Na. Masa kamu nggak tau itu?" Khaeri pura-pura terkejut. Padahal Fikri datang menemuinya diam-diam waktu itu. Berharap Khaeri akan kecewa dan memutus hubungan dengan Nana. Namun, Khaeri bukanlah orang yang mudah terpengaruh. Mendengar gelagat cerita Fikri yang hanya menjelek-jelekkan Nana dan tidak menyebut dirinya bersalah, Khaeri tidak percaya begitu saja. Ia harus mendengar cerita dari kedua belah pihak terlebih dahulu.
"Tega sekali Mas Fikri membuka aibku pada orang lain? Aku saja merahasiakan kebejatannya pada semua orang." Nana membuang nafas dengan kasar.
"Dasar bodoh.." Kaheri menepuk kepala Nana pelan.
"Eh, siapa yang bodoh, Kak?" Mengernyit menatap Khaeri.
"Kamu lah, siapa lagi?" Timpal Khaeri tanpa menatap Nana. "Kamu begitu percaya dengan omongan laki-laki. Kebanyakan laki-laki yang pandai merangkai kata tidak sinkron dengan hati mereka. Lidah mereka mengatakan ini, tapi hati mereka mengatakan itu."
"Siapa yang mengatakan itu pada Kak Khaeri?" Nana menatap Khaeri dengan tajam.
"Iya, aku juga mempunyai pertanyaan yang sama dengan Nana." Utami ikut menimpali karena tidak setuju dengan apa yang dikatakan Khaeri.
"Huh," Khaeri kembali meneguk coklat hangatnya. Melipat tangan di dada seraya menyandarkan tubuhnya. "Bukti sudah dirasakan sendiri, tapi kalian masih menanyakan siapa yang mengatakan itu. Ck..ck..ck.." menggeleng-geleng pelan karena tidak mengerti dengan jalan pikiran dua wanita di depannya.
"Ah, Pak Dokter nggak seru." Timpal Utami. Beranjak bangkit, menggendong Naufal menjauhi Nana dan Khaeri.
"Mau kemana, Mi? Diam saja di sini, biar Naufal cepat akrab dengan ayah sambungnya."
"Khmmm... kok tenggorokan gue terasa serak gini." Sengaja mengusap-usap tenggorokannya yang baik-baik saja. Kembali duduk dengan memangku Naufal. Tapi, anak itu langsung berontak karena dia lebih suka bermain.
"Mm.. kurang asupan air putih kayaknya." Khaeri menimpali seraya menyeruput kembali coklat hangatnya. "Naufal, sini sama Papa." Khaeri mencoba mengulurkan tangannya pada Naufal karena anak itu tidak bisa diam di pangkuan Utami.
"Eh, enak aja mau dipanggil Papa. Nana aja yang ibunya di panggil Kakak sama Naufal."
Khaeri langsung menautkan alisnya. Beralih menatap Nana untuk meminta penjelasan.
Melihat tatapan tajam Khaeri membuat Nana tersenyum meringis. "Hehehe.."
"Jelaskan ini pada ku, Na!" Masih menatap tajam.
"Tidak semua orang boleh tau, kalau Naufal adalah anak ku. Aku harus..."
"Maksudnya?" Potong Khaeri, membuat Nana kehilangan kata-kata dan lupa apa yang akan dikatakannya tadi.
"Pak Dokter jangan potong dulu!" Utami sedikit gregetan karena Khaeri yang tidak sabaran.
"Oh, aku cuman penasaran dengan alasannya. "Maafkan aku, Na. Lanjutkan lagi." Khaeri kembali mengulurkan tangannya pada Naufal. Namun, Naufal hanya menggeleng lalu memeluk tubuh Utami.
"Huh, anak kamu tidak friendly, Na. Udah, Mi, bawa aja dia bermain lagi, biar bisa tenang."
"Ayo, Naufal. Kita main di sana ya. Kakak Nana dan Pak Dokter mau membicarakan sesuatu yang penting." Utami membawa Naufal ke tempatnya bermain tadi. Anak itu belum pandai ngomong di usianya yang hampir dua tahun. Hanya masih senang meniru ucapan yang di dengarnya.
"Nana, kamu belum menjelaskan kenapa kamu dipanggil Kakak oleh Naufal?" Khaeri kembali menanyakan hal itu karena belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
"Aku sedang menjaga perasaan Papa, Kak. Kalau aku jujur, takutnya Papa akan syok berat. Aku nggak mau penyakit Papa kambuh lagi."
"Oh, jadi..." mendekatkan wajahnya ke Nana. "Papa tidak tau, kalau Naufal itu anakmu?"
Nana menggeleng lemah. "Aku sangat menjaga hal ini."
"Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kamu yang lain?"
Nana menatap Khaeri seraya menarik nafas dalam. "Semua saudara dari pihak Mama sudah tau. Termasuk adikku yang paling kecil Jack. Tapi, kalau saudaraku yang beda ibu, belum ada yang tau. Aku takut mereka membocorkan ini semua ke Papa. Bagaimana pun juga, walaupun kami saudara, tetap saja terasa berbeda karena ibu kami berbeda."
"Aku tidak mengira kalau kamu berfikir sampai sejauh itu." Khaeri manggut-manggut. Dari cerita Nana ia bisa menyimpulkan, kalau kejadian itu terjadi karena Nana benar-benar di jebak Fikri. Namun, ada satu orang yang ingin diajaknya bicara. Ia harus memperjelas masalah ini pada Rumi. Dia adalah orang yang menjadi juru kunci kebenaran cerita Nana.
"Aku serahkan semuanya pada Kak Khaeri. Kalau Kak Khaeri mau lanjut, silahkan. Tapi, sekiranya Kak Khaeri merasa terbebani dan tidak bisa menerima Naufal, Kak Khaeri bisa mundur dan membatalkan rencana pernikahan ini. Aku nggak mau Kak Khaeri menyesal di belakang. Apalagi kalau Kak Khaeri sampai mengatakan itu padaku."
Khaeri manggut-manggut seraya menatap Nana dengan serius. Raut wajah wanita itu sangat serius, yang menandakan kalau Nana tidak main-main dengan ucapannya. "Beri aku waktu untuk memikirkan semuanya, Na. Satu hari saja. Aku akan memastikan, kamu sudah mendapatkan jawaban sebelum kita kembali ke kota Xx."
"Baiklah, Kak. Aku menunggu itu."
**********
Malam itu..
Khaeri sengaja masih diam di ruang makan walaupun makan malam sudah berakhir. Ia sudah berencana akan menanyakan semuanya pada Rumi malam ini. Saat melihat Rumi lalu lalang membersihkan sisa-sisa makan malam, Khaeri segera memanggil wanita itu.
"Bu Rumi, kenapa kamu membereskan semua ini sendirian? Kenapa Nana tidak ikut membantu?"
"Ah," Rumi menghentikan aktivitasnya, beralih menatap Khaeri yang terlihat penasaran dengan jawabannya. "Aku tidak mungkin menyuruh dia. Ibu sengaja memintanya untuk pergi setelah makan. Kalau dia ingin membantu, Ibu selalu membuat seribu alasan untuk membuatnya pergi. Ibu tidak suka melihatnya beres-beres rumah. Ibu hanya suka melihatnya pegang pulen, duduk di depan komputer atau memegang handphone."
"Kenapa..?"
Rumi tersenyum mendengar pertanyaan Khaeri. Dari raut wajahnya, ia bisa memastikan, kalau Khaeri sengaja berdiam diri di sana untuk mengorek informasi tentang kehidupan Nana. "Nana terlalu baik, Nak. Andaikan dia tidak membantu Ibu waktu itu, mungkin sekarang Ibu tidak ada di rumah ini. Waktu Ibu terlilit hutang, dia langsung membayar lunas hutang Ibu. Rumah ini juga dia yang renovasi, sehingga bisa bagus seperti sekarang. Orang tuanya juga memberikan Ibu uang 2M saat mereka mengantar Nana kemari. Jadi nggak ada alasan untuk Ibu bersikap yang tidak-tidak padanya. Sampai sekarang pun, mereka selalu memberikan nafkah Untuk Ibu. Ibu selalu menerima transferan dua juta setiap bulan dari Pak Fadilla."
"Itu karena Ibu merawat, Naufal. Bukan begitu kan, Bu?" Khaeri mencoba menebak.
"Tidak, Nak. Itu murni dari orang tua Nana. Nana pasti pernah cerita ke kamu, kalau dia tidak berani memberitahukan papanya masalah Naufal."
"Iya, dia menceritakan itu kemarin siang."
"Nafkah dari Nana untuk Naufal beda lagi. Dia mentransfer lima juta untuk kebutuhan Naufal setiap bulan. Terkadang Ibu memintanya untuk tidak mengirim uang kalau uangnya masih tersisa. Ibu akan meminta Nana mentransfer dua bulan sekali."
"Oh," Khaeri manggut-manggut. Pantas saja Rumi mau merawat Naufal. Ternyata ia mendapatkan tunjangan setiap bulannya.
"Ada yang mau Nak Khaeri tanyakan lagi?"
"Aku penasaran dengan cerita..." Khaeri melirik Rumi sekilas. "Mm.. kenapa Naufal bisa ada, Bu?"
Rumi membuang nafas dengan kasar. "Fikri adalah laki-laki paling licik yang pernah Ibu kenal. Pagi itu, dia berkata pada Ibu akan mengantar Nana ke Kampus. Dia sampai sini sekitar jam tujuh pagi. Sedangkan, malam itu Nana cerita kalau dia ada jam kuliah jam sepuluh pagi. Ibu bilang ke dia apa yang dikatakan Nana. Tapi, hari itu Ibu dan Nana kecolongan. Nana pulang sekitar tiga jam setelah Fikri membawanya. Ibu sangat sedih karena keadaannya yang sangat memprihatinkan. Dia bahkan tidak mau keluar dari kamar sampai berhari-hari."
Khaeri terkesiap mendengar cerita Rumi.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Pinginnya baca maraton karena penasaran. Tapi, apalah daya waktuku yang kejepit..😭😭
2023-10-07
0
Annisa
Aku jadi kasihan sama Nana. Tapi, aku juga terharu karena dia berani jujur sam calon suaminya.
2023-10-07
0
Sadiah
Semoga berubah sifat pelit dn perhitungan nya khairi
2023-08-18
0