"Menikahlah denganku, Na."
"Eh," spontan Nana menarik tangannya yang di genggam Khaeri. Tidak menyangka kalau pria itu akan mengajaknya menikah secepat ini. Ekspresi wajahnya langsung berubah. Apalagi rencana mereka keluar siang ini hanya untuk sekedar makan siang. Ia juga baru menerima Khaeri sebagai kekasihnya beberapa hari yang lalu.
"Kenapa...? Apa kamu masih ragu denganku?" Khaeri berusaha meyakinkan Nana. Tidak perduli dengan ekspresi Nana yang berubah. Ia hanya ingin kepastian dari wanita itu. Karena Nana bagaikan permata dunia untuknya. Melepas Nana sama saja artinya dengan membuang emas yang akan menjamin kehidupannya ke depan.
Nana melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya. "B.. bukan begitu, Kak. Ini.. ini terkesan seperti terburu-buru. Aku.. aku nggak mau Kak Khaeri menyesal di kemudian hari karena tidak mengenalku dengan baik." Jawab Nana. Ia masih mengalihkan pandangannya karena ekspresi wajahnya benar-benar terlihat berbeda.
"Aku yakin kamu adalah wanita yang baik, Na. Keturunan kamu orang baik. Tidak baik darimana nya sih, maksud kamu?" Khaeri kembali menarik tangan Nana dan menggenggamnya erat. Menatap wanita itu dengan penuh keyakinan.
Nana menarik nafas dalam. Menatap Khaeri yang sedang menunggu jawabannya. "Kak Khaeri belum mengenalku dengan baik. Kak Khaeri hanya mengenal keseharian ku di tempat ini. Kak Khaeri tidak pernah memikirkan kehidupan yang aku jalani sebelum ini."
Khaeri mengusap wajahnya dengan kasar. "I don't care about that, Na. Aku nggak mau tau tentang masa lalu kamu. Masa lalu adalah masa lalu. Masa lalu itu kubur saja dan jangan pernah ungkit lagi. Aku hanya ingin meniti masa depan bersama kamu."
Nana menunduk dalam. "Aku ini orang buruk, Kak. Jangan tertipu hanya karena penampilan luarku saja."
"Aku percaya sama kamu, Na." Semakin mengeratkan genggaman tangannya. "Kamu mau kan, menikah denganku?" Lebih mendekatkan wajahnya pada Nana. Ia harus tetap menatap mata Nana agar wanita itu tidak meragukannya.
"Aku akan mempertimbangkannya dulu, Kak. Lagipula, kalau Kak Khaeri benar-benar serius, Kak Khaeri bisa datang ke rumah. Bicarakan hal ini pada orang yang paling berhak atas ku. Aku nggak mau salah mengambil langkah karena menentang orang tua."
"Baiklah," jawaban pasti keluar dari mulut Khaeri. "Sore nanti, aku akan datang bersama kedua orang tuaku. Pak Fadilla dan Mama Yeti adalah di rumah 'kan?"
Nana mengangguk. "Mama selalu di rumah. Papa juga jarang keluar akhir-akhir ini. Dia lebih banyak di rumah karena kondisi kesehatannya yang kurang baik."
"Kalau begitu, aku akan langsung ke rumah kamu nanti sore. Jangan lupa persiapkan diri."
*********
Nana menatap ke areh koper hitam miliknya. Dua buah koper itu sudah terisi penuh dan di letakkan Nana di samping lemari pakaiannya. Besok dia akan berangkat ke Semarang untuk menjenguk Naufal. Tapi, pertemuan dengan Khaeri siang tadi membuatnya merasa ragu untuk melanjutkan niatnya berangkat ke Semarang.
Setelah selesai shalat Ashar, Nana merapikan jilbab segi empatnya. Memantaskan wajahnya di depan cermin sebelum bertemu dengan Khaeri sore ini.
Ting...!
Nana melirik benda gepeng di depannya saat terdengar notifikasi pesan masuk. Baru saja memikirkan pria itu, ia sudah mendapatkan pesan masuk dari pria itu.
Na, aku sudah di ruang tamu rumah kamu. Aku sedang menunggu kamu keluar. Aku juga bersama papa dan mama kamu di sini. Ada kedua orang tuaku juga. Aku benar-benar ingin bicara serius.
Nana mengerjap-ngerjap membaca pesan itu. Matanya sampai membulat sempurna. Ia langsung bangkit dan keluar dari kamarnya. Bergegas menuju ruang tamu rumahnya. Berdiri tak jauh dari tamu-tamu spesialnya. Ada Khaeri dan kedua orang tuanya di sana.
"Duduk sini, Na." Sony menepuk sofa kosong di sebelahnya saat melihat Nana berdiri tak jauh dari tempat duduknya. "Khaeri datang bersama keluarganya. Kamu duduklah di sini karena mereka mau bicara serius. Kamu berdiri di kejauhan terlihat tidak sopan."
Nana tersenyum meringis seraya berjalan mendekat. Menunduk sopan pada kedua orang tua Khaeri. Kedua orang tua itu tersenyum lembut padanya.
"Wah, ternyata Nana sangat cantik." Sebuah pujian terlontar dari mulut ibunya Khaeri.
Nana hanya tersipu malu. Pembicaraan terus berlanjut sampai masuk Maghrib. Khaeri dan kedua orang tuanya benar-benar membahas masalah pernikahan pada keluarga Nana.
Malam itu...
Sony meminta Nana untuk menemuinya. Walaupun enggan menemui kakaknya, Nana akhirnya melangkah juga karena terus di bujuk oleh mamanya.
"Kalau Kakak tidak setuju, kenapa tidak langsung menolak mereka tadi. Sekarang malah memanggilku seperti ini. Ini yang tidak aku suka, Ma."
"Nana..." Yeti menatap putrinya dengan tajam.
"Ih," Nana mendengus kesal. "Selalu aja seperti ini."
"Kakak kamu cuman mau menanyakan sesuatu sama kamu, Na."
"Malas bicara dengan dia, Ma."
"Berangkat saja. Jangan membuat kakakmu menunggu terlalu lama." Yeti mengusir Nana dengan mendorong pelan tubuh Nana keluar dari kamarnya.
Nana kembali mendengus. Ia benar-benar malas bicara dengan kakaknya yang satu itu. Ia menghampiri kamar Sony dengan malas. Menghela nafas berat saat melihat Sony dan istrinya sudah duduk di sofa seperti sedang menunggu kedatangannya.
"Duduk, Na. Jangan menampakkan wajah kesal begitu. Kakak tidak akan memarahi kamu kok. Kakak cuman ingin memastikan sesuatu saja."
"Kenapa harus sampai ke kamar kakak? Kakak kan bisa menghubungi aku lewat telepon."
Sony menghela nafas berat. Sifat keras kepalanya turun ke adik perempuannya satu-satunya. "Apa kamu benar-benar yakin dengan Khaeri?" Sengaja di the point karena malas berbasa basi.
"Kenapa aku harus ragu, Kak? Kak Khaeri nggak pernah kurang ajar padaku. Selama kenal dia, dia juga selalu melindungiku."
"Bukan itu masalahnya, Na. Kakak sudah menyelidiki semuanya tentang Dokter Khaeri. Menurut Kakak, dia itu kurang cocok dengan kamu. Kamu.."
"Kurang cocok bagimana maksud Kakak?" Nana langsung memotong karena kesal. "Memangnya Kak Sony mau adik ipar yang bagaimana sih?"
Sony terdiam. Tetapi, tatapan matanya tajam pada Nana. Ia sudah menduga, Nana akan memberikan reaksi seperti ini.
"Dia itu orangnya sangat teliti, Na." Meiga, istrinya Sony ikut menimpali.
"Apa masalahnya kalau dia teliti? Kalau dia teliti, itu berarti dia menjaga hasil kerja kerasnya selama ini."
Sony dan Meiga saling pandang seraya menghela nafas berat. "Terserah kamu kalau begitu. Kakak tidak mau ikut campur lagi. Kalau kamu yakin padanya, lanjutkan pembicaraan tadi sore."
"Mm.." hanya itu jawaban Nana. Wanita itu beranjak bangkit, bersiap meninggalkan kamar Sony.
"Tunggu, Na."
Nana menghentikan langkahnya. Berbalik menatap kakaknya dengan malas. "Apa lagi sih, Kak?"
"Besok kamu akan ke Semarang. Aku mau menitipkan ini untuk Naufal. Jangan coba-coba batalkan niatmu hanya karena Khaeri. Anakmu butuh ibunya. Walaupun kamu tidak merawatnya dan tidak hidup bersamanya, setidaknya kamu memenuhi semua kebutuhannya. Jangan pernah coba-coba untuk mengabaikannya. Ke depannya pun, kamu harus tetap memenuhi kebutuhannya walaupun kamu berumah tangga dengan Khaeri." Sony menyerahkan sebuah kartu ATM pada Nana. "Ke depannya, kalau kamu mau mengirim uang untuk Naufal, kirim saja ke sini. Password-nya tanggal lahir Naufal."
Nana mengangguk. Memasukkan kartu itu ke dalam saku, meninggalkan kamar Sony dengan perasaan tidak karuan.
Nana langsung menghubungi Utami untuk datang ke rumahnya. Besok mereka akan berangkat ke Semarang. Tapi, Nana masih saja ragu untuk pergi. Namun, peringatan dari Sony tadi membuatnya membulatkan tekadnya untuk tetap pergi.
Lewat jam sembilan malam, Utami mengetuk pintu kamarnya. Gadis itu datang dengan menenteng sebuah tas besar. Ia sudah berniat akan berangkat lewat rumah Nana besok pagi.
"Sebenarnya aku mau datang besok pagi, Na. Tapi kamunya ngebet banget memintaku datang sekarang."
"Gue pusing, Mi. Pengennya batal berangkat besok. Pikiran gue suntuk banget. Tapi, Kak Sony melarang gue. Tau kan, kakak gue yang satu itu bagiamana?" Nana mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Mikirin apa sih? Katanya mau jalan-jalan karena suntuk."
"Hah, lho bilang begini karena lho belum tau semuanya. Lho akan tau semuanya saat kita sampai nanti." Timpal Nana dengan ekspresi datar.
"Lho ini agak misterius deh, Na. Lho nggak nyadar apa. Semua yang lho rahasiakan menjadi beban pikiran gue sampai saat ini."
"Belum waktunya lho boleh tau."
"Menyebalkan, tau nggak.." Utami melengos kesal seraya merebahkan tubuhnya di sebelah Nana. "Kalau lho benar-benar nggak mau ceritakan apapun, gue akan tidur sekarang. Malas rasanya memperdebatkan hal yang belum pasti." Membalik tubuhnya membelakangi Nana.
"Heh," Nana tersenyum getir. "Sepertinya lho akan kasihan kalau tau semuanya, Mi. Lho akan menangis, Mi. Gue ..."
"Na..." Utami meraih tangan Nana. Entah kapan ia membalik tubuhnya menghadap Nana. Ia hanya terkejut saat mendengar suara lemah Nana.
"Gue tidak sebahagia yang lho lihat, Mi."
"Na.." Utami akhirnya duduk. Mengusap air mata yang mengalir di pipi sahabatnya. "Lho jangan sedih. Gue akan selalu mendukung lho.
Nana menarik nafas panjang untuk menetralkan perasaannya. " Aku hanya sedang menunggu kepastian. Berharap keberuntungan berpihak padaku ke depannya."
Utami menarik tubuh Nana. Memeluk erat tubuh yang sedang terluka itu.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Sony itu orangnya pandai. Selalu mencari tau sebelum mengambil keputusan. Nana kenapa ngeyel dibilangin. Mudahan tidak menyesal di belakang.
2023-09-28
0
Sadiah
Pikir panjang na jangan smpi kedua kali nya kamu salah memilih pasangan hidup,bukan hanya khairi yg baru mengenal kamu kamu juga baru mengenal kaheri,kalau khairi menerima anak kami dn masa lalu kamu baru deh kamu nikah jadian Noval butuh keluarga,, dengerin apa kata² kakak kamu na dulu waktu fikri kamu tak dengerin kakak kamu dn benerkan fikri gak baik buat kamu dn sekarang khairi dia cuma mau numpang kaya sama kamu karena kamu anak pemilik rmh sakit, pikirkan lagi mendingan na sebelom terlambat dn jujur atas masalalu kamu.. 😏😠
2023-08-10
0