Khaeri langsung istirahat di kamar yang sudah di siapkannya begitu mereka sampai rumah. Rumi menepuk pelan pundak Nana saat wanita itu keluar dari kamar.
"Eh, astagfirullah.. Ibu ngagetin aku aja."
"Ibu jadi kepo, Na. Cowoknya tampan sekali, Nak. Dapat dimana kamu cowok setampan itu?"
"Ih, Ibu kok ngomong gitu sih.."
"Nana.. Ibu serius bertanya. Dia orang mana?"
"Orang Makassar, Bu. Tapi, dia tumbuh besar di kota kelahiranku. Dia juga takut naik pesawat. Makanya tubuhnya menggigil sekarang."
"Loh.." Rumi terkejut mendengar cerita Nana. "Kalau begitu ceritanya, kenapa kamu memintanya datang kemari, Nak?"
"Hmm.." Nana menghela nafas berat. Menarik tangan Rumi agar duduk di sofa terlebih dahulu. "Sebenarnya aku memintanya datang kemari untuk menguji ketulusannya. Tapi, ternyata dia menyanggupi permintaanku dan sekarang sudah berada di sini."
Rumi menggeleng-geleng pelan. Tidak menyangka kalau Nana bisa setega itu pada kekasih barunya. "Kamu kok bisa melakukan itu padanya, Na."
Nana tersenyum kecil lalu menunduk. "Aku takut dimanfaatkan lagi, Bu." Ucapnya pelan.
"Astagfirullahal'adzim.. nggak boleh su'udzon, Nak." Rumi mengusap-usap punggung Nana. "Tapi, lebih hati-hati juga itu adalah sikap yang baik. Setidaknya kamu lebih waspada agar kesalahan sebelumnya tidak terulang lagi."
"Itu yang aku khawatirkan, Bu."
"Hmm.. apa rencana kamu sekarang?" Rumi menatap Nana. Tidak mungkin Nana meminta Khaeri datang kemari tanpa ada tujuan.
Nana terdiam menatap Rumi. Ia harus mengatakan semuanya pada Rumi, agar wanita itu tidak banyak bertanya kalau sekiranya minta izin untuk membawa Naufal keluar rumah. "Aku ingin menjelaskan semuanya pada Kak Khaeri, Bu. Aku tidak mau merahasiakan Naufal padanya. Aku juga tidak mau, kalau masalah Naufal malah menjadi masalah setelah kami menikah nanti. Jika aku sudah berusaha jujur dari sekarang. Setidaknya Kak Khaeri bisa memilih, antara melanjutkan niatnya untuk menikah dengan ku, atau mungkin membatalkan rencananya." Tersenyum kecil pada Rumi yang sedang menyimak semua ucapannya.
"Ibu menghargai keputusan kamu, Nak. Yang kamu katakan memang benar. Apalagi ini adalah masalah besar. Jangan sampai calon suami kamu malah mempertanyakan banyak hal setelah kalian menikah nanti. Mudah-mudahan Allah melancarkan semua urusan kamu dan mempermudah jalan untuk rencana kalian ke depannya."
"Aamiin.. terimakasih doanya, Bu." Nana mengusap wajahnya perlahan. Ia semakin memantapkan niatnya. Setidaknya semua orang yang mengetahui masalah ini sudah memberikan lampu hijau untuk rencananya ini.
***********
Rumi tersenyum bahagian melihat meja makan di rumahnya dikelilingi oleh beberapa orang. Pagi ini terasa berbeda karena keberadaan Khaeri di rumahnya.
"Nak Khaeri, silahkan. Maaf karena Ibu tidak bisa menyediakan makanan mewah untuk Nak Khaeri." Rumi sengaja mengatakan itu karena melihat Khaeri yang terus memperhatikan menu sarapan pagi itu.
"Eh, kenapa Ibu ngomong begitu?" Khaeri memperbaiki posisi duduknya. "Ini malah sangat mewah, Bu. Aku malah jarang makan dengan menu lengkap seperti ini di rumah. Aku hanya sering sarapan dengan sepotong sandwich atau dua butir telur rebus." Khaeri sedikit merendah karena tidak mau melihat Rumi kecewa. Bagaimana pun juga, ia harus menghargai usaha wanita itu menyiapkan sarapan untuknya.
"Oh, ternyata Nak Khaeri orang yang sederhana. Ibu kira kamu punya menu khusus untuk menu makanan."
"Mana ada kayak gitu. Aku adalah mantan anak kost, Bu. Ibu pasti tau lah, kehidupan yang di jalani anak kost seperti apa."
"Ah," Rumi tersenyum bangga. Pacar Nana kali ini terlihat menarik perhatiannya. Dia sudah bertekad, akan mendukung penuh rencana pernikahan Nana dengan pria itu.
Setelah selesai sarapan, Nana mendekati Khaeri karena ada yang ingin disampaikan padanya. "Kak, aku mengajak Naufal ikut hari ini." Bisiknya di dekat telinga Khaeri.
"Kamu kan mau ngomongin sesuatu sama aku. Kalau anak itu ganggu, bagaimana?" Khaeri sedikit berbisik. Tidak mau suaranya mengganggu yang lain.
"Dia harus ikut, Kak. Anak itu terlibat dalam hal yang harus aku bicarakan pada Kak Khaeri."
Deg..!
Khaeri langsung menatap Nana dengan penuh tanda tanya. Tatapan itu seolah-olah menuntut, agar Nana menjelaskan semuanya.
"Kak Khaeri akan tau semuanya nanti."
"Mm.." Khaeri mengalihkan pandangannya. "Baiklah, aku menghargai keputusanmu." Beranjak bangkit dari tempat duduknya. "Kita berangkat sekarang. Ajak Utami, biar kamu tidak capek kalau Naufal cengeng nanti."
"Itu sudah termasuk dalam hitunganku."
Utami hanya melengos mendengar perintah Khaeri. Ia merasa, Khaeri mulai berani mengeluarkan perintah untuknya.
Hanya membutuhkan beberapa menit perjalanan menuju tempat yang sudah di pilih Nana sebelumnya. Karena Nana yang memesan tempat, Nana yang mendekati resepsionis untuk mengkonfirmasi kedatangannya.
"Ruang VIP ya, Mbak. Mari saya antar.." Resepsionis itu menunjukkan jalan menuju ruang VIP yang sudah di pesan Nana.
"Kamu sampai memesan tempat ini, Na." Khaeri mengedarkan pandangannya, menatap setiap sudut ruangan yang terlihat tidak biasa itu.
"Na, aku ajak Naufal main di situ." Utami memotong karena tidak nyaman jika diam di sana, sementara Nana dan Khaeri mau bicara serius.
"Nggak usah jauh-jauh, Mi."
"Nggak, Na. Aku cuman mau main di sofa sebelah." Utami langsung berlalu. Untungnya Nana sudah membooking seluruh ruangan itu, sehingga tidak ada orang yang akan mengganggu pembicaraannya dengan Khaeri.
"Ini berlebihan, Na. Kamu menghambur-hamburkan uang hanya untuk menyewa seluruh tempat ini. Seharusnya kamu membiarkan orang lain ikut menyewa untuk menghemat biaya." Khaeri mengakhiri ucapannya dengan meneguk segelas coklat hangat yang batu saja di suguhkan di depannya.
"Aku tidak memikirkan itu, Kak. Menurutku, kenyamanan adalah hal paling utama. Uang bisa dicari."
"Terserah kamu kalau begitu. Sekarang mulailah bicara. Aku mau kamu ceritakan semua yang menurutmu penting." Khaeri memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.
Nana tersenyum lemah seraya menunduk. Ia mulai memikirkan darimana akan memulai ceritanya. Belum lagi, ia sedang mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan terburuk. Kalau Khaeri merubah keputusannya, dia harus merelakan pria itu dan mencari orang lain yang mau menerima keadaannya.
Nana menelan ludahnya yang terasa tercekat di tenggorokan. "Naufal itu..." kembali menundukkan kepalanya. "Naufal itu anak aku, Kak."
Hening...
Khaeri sedang mencerna ucapan Nana. Berharap dia salah dengar atau apa. Intinya dia masih mengolah kalimat yang dikeluarkan Nana tadi.
Karena tidak mendengar jawaban Khairi, Nana mengangkat wajahnya perlahan. "Aku.. sudah.. tidak perawan lagi, Kak." Menatap Khaeri untuk menunggu jawaban pria itu.
Khaeri menelan ludahnya seraya mengalihkan pandangannya. "Kamu pasti sedang bercanda kan, Na. Kamu hanya sedang mengujiku. Benar 'kan?"
Nana menggeleng seraya tersenyum lemah. "Aku tidak bercanda, Kak. Ini adalah kenyataan. Naufal adalah anakku." Menarik nafas dalam. "Itulah mengapa aku berani menentang Kak Khaeri pas aku berangkat kemari. Kemarin Naufal sakit sampai masuk Rumah Sakit. Itulah mengapa aku sangat mengkhawatirkannya."
Khaeri mengusap wajahnya dengan kasar seraya menarik nafas dalam. "Jelaskan padaku, kenapa anak itu bisa ada." Ucapnya tanpa sedikit pun menatap Nana.
Melihat tingkah Khaeri membuat Nana kembali menunduk. "Itu hanya sebuah kecelakaan."
"Huh," Khaeri mendengus. "Yang namanya hamil di luar nikah, sudah pasti kecelakaan lah, Na. Kamu ini jangan ngomong ngawur."
"Aku nggak ngawur, Kak. Iya, yang di ucapan Kak Khaeri itu memang benar. Tapi, ini terjadi karena aku di jebak. Mas Fikri menjebak ku waktu itu. Aku nggak bisa ngapa-ngapain selain pasrah."
"Kamu tau kalau pembuahan itu berhasil, lalu kenapa membiarkannya? Kenapa kamu tidak a***** biar dia tidak tumbuh sampai seperti itu."
"Anak itu tidak salah apa-apa, Kak. Yang punya kesalahan itu aku sendiri. Atas dasar apa aku harus membunuhnya?"
"Apa pria yang bertemu dengan mu di pusat perbelanjaan waktu itu.."
"Iya," potong Nana. "Dia adalah ayah Naufal. Itulah mengapa aku sangat membenci pria itu. Andaikan agama memperbolehkan pembunuhan, aku ingin membunuh pria itu."
Khaeri kembali mengusap wajahnya dengan kasar. "Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?"
"Aku nggak menginginkan apapun. Aku menyampaikan hal ini, karena aku nggak mau, keberadaan Naufal menjadi masalah nanti di belakang. Aku hanya ingin mendengar keputusan Kak Khaeri."
"Keputusan.."
"Iya, Kak." Nana mengusap air matanya yang keluar tanpa di minta. "Kak Khaeri bisa memutuskan semuanya. Mau melanjutkan rencana pernikahan kita, atau membatalkannya saja."
Khaeri mengetuk-ngetuk meja di depannya sambil menatap Nana dengan tajam. "Mm.. apakah kamu akan memintaku untuk menafkahi anak itu nanti?"
"Tidak." Jawab Nana tegas. "Kamu tidak wajib memberikan nafkah, karena dia bukan anakmu. Aku akan menafkahi Naufal dengan uangku sendiri tanpa campur tangan darimu. Tapi, sekiranya suatu hari nanti kamu berniat memberikan nafkah untuknya, aku akan sangat mensyukuri hal itu."
"Baiklah.. berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini." Melipat tangan di dada, seraya kembali menatap Nana. Melihat air mata di pipi Nana membuatnya sedikit tersentuh. Seharusnya dia menghargai kejujuran Nana.
"Na.."
"Eh," Nana mengusap air matanya dan menatap Khaeri. "I.. iya, Kak."
"Kemarilah, duduk di sampingku.." menepuk sofa di sebelahnya.
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Aduh, belum nikah aja udah mewanti-wanti si Khaeri. Kayak takut banget kalau Nana tidak bisa menafkahi anaknya. Nana itu anak orang kaya loh Khaeri ..😪
2023-10-07
0
Sadiah
Dasar laki² pelit gak suka banget sama laki² pelit,, baik sie sebenernya khairi cuma pelit aja,kalau menurut aku sabar aja deh na ngapain nikah sama laki² pelit dn perhitungan minta ampun,kamu kaya pasti ada yg ikhlas mencintai kalau dn anak kamu.
2023-08-17
0