Usai mendirikan shalat isya bersama Utami, Nana duduk di depan meja riasnya. Memoleskan sedikit make up sebelum pergi menjemput Khaeri.
"Na, lho yakin, kita yang akan pergi menjemput Dokter Khaeri?" Utami berdiri di belakang Nana. Menatap Nana dari bayangannya di cermin.
Nana menghela nafas berat. Udah berapa kali Utami mengulang pertanyaan itu. Berbalik pelan lalu menatap Utami dengan lemah. "Kalau bukan gue, lalu siapa, Mi?"
Utami tersenyum meringis, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mm.. maksud gue.. ini kan udah malam, Na. Masa iya kita harus keluar rumah berdua saja."
"Kita cuman mau jemput Kak Khaeri, Mi. Kita nggak akan keluyuran kok. Gue nggak tega aja kalau dia harus memesan kendaraan online untuk sampai kemari." Nana terlihat kesal karena tidak setuju dengan pendapat Utami.
"Hmm.. seharusnya sih begitu, Na. Jarak dari sini ke Bandara itu nggak deket loh. Memakan waktu hampir satu jam. Kalau bolak-balik pasti..."
"Nggak usah dipikirkan!" Potong Nana. "Kalau semua di hitung, kita nggak akan mau membantu orang. Apalagi Kak Khaeri itu bukan orang lain lagi buat gue." Beranjak bangkit seraya meraih tas selempang kecil yang diletakkannya di atas meja. "Kita berangkat sekarang untuk menghemat waktu."
Utami akhirnya hanya bisa mengangguk. Mau menolak pun tidak bisa ia lakukan. Tidak mungkin ia membiarkan Nana pergi sendirian. Belum lagi, ia sudah berjanji pada Yeti, bahwa dia akan menjaga Nana dengan baik. Melaporkan segala aktivitas yang dilakukan Nana selama di Semarang.
Baru saja masuk ke dalam mobil. Nana mendapat panggilan masuk dari Khaeri. Senyum Nana mengembang melihat nama yang terpampang di layar handphonenya. Ia segera mengusap ikon berwarna hijau.
"Halo.."
"Kamu dimana, Na? Aku sudah landing dan sedang menunggu bagasi."
"Oh," Nana melototkan matanya karena terkejut. "A.. aku baru berangkat, Kak."
"Oh, iya sudah. Aku tunggu kamu di sini. Hubungi aku kalau kamu sudah sampai."
"Iya, aku akan segera..."
"Jangan ngebut! Pelan-pelan saja." Potongan Khaeri. Tidak mau Nana sampai menyepelekan keselamatan karena mengejar waktu. Kepalanya juga masih pusing dan ingin duduk untuk menengkan diri dulu. Kalau langsung naik mobil dan merasakan guncangan lagi, pusingnya akan bertambah parah
"Oh, i.. iya, Kak." Nana menyerahkan kunci mobil pada Utami. Keluar dari mobil untuk tukar posisi. Dia tidak bisa menyetir dengan konsentrasi kalau sambil teleponan. Utami tidak banyak protes dan langsung pindah posisi.
"Kak Khaeri nggak enak badan?"
"Tidak seperti itu. Sebenarnya aku baik-baik saja sebelum naik pesawat tadi. Tapi, aku akan seperti ini setiap turun dari pesawat. Ini tidak akan berlangsung lama. Kalau udah tenang, keadaanku akan berangsur membaik." Khaeri menarik tuas kopernya. Pria itu memilih untuk duduk di kursi single kosong sambil menyandarkan kepalanya. Memijit pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. "Na,"
"Iya, Kak.."
"Nanti kita bicara lagi. Aku benar-benar pusing sekarang. Aku mau menenangkan diri dulu sebentar."
"I.. iya, Kak. N.. nanti aku hubungi Kak Khaeri kalau aku sudah sampai."
"Hati-hati, Na. Aku akan menunggu sampai kamu datang. Ingat, jangan ngebut."
"Iya, Kak. Kami berangkat sekarang." Nana memutus sambungan telepon. Ia jadi kepikiran pada Khaeri. Merasa bersalah karena meminta pria itu datang menjemputnya. Padahal Khaeri sudah bilang berkali-kali kalau dirinya tidak berani naik pesawat.
"Dokter Khaeri sudah sampai apa belum, Na?"
Pertanyaan Utami membuyarkan lamunan Nana. "Eh, dia sudah sampai, Mi. Udah mengambil bagasi juga. Sekarang dia sedang menunggu kita. Dia bilang ... kepalanya pusing hebat, Mi." Nana menunduk mengatakan itu karena merasa bersalah.
"Iya.. namanya juga orang nggak bisa naik pesawat, pasti pusing lah, Na. Nggak usah mengeluarkan tampang kayak gitu. Udah terlanjur juga." Utami melengos. Hanya melirik Nana sekilas, lalu kembali fokus menatap jalan.
"Aku kan kasihan, Mi. Ngapain coba ngeluarin tampang kesel kayak gitu." Nana membalik tubuhnya. Menatap keluar jendela. Dua wanita itu saling mendiami sampai mereka sampai Bandara.
Nana langsung menghubungi Khaeri untuk menanyakan posisi pria itu. "Dekat pintu kedatangan, Mi." Menginstruksikan pada Utami, agar membawa kendaraannya mendekati tempat yang dimaksudnya.
"Gue udah dengar." Jawab Utami datar.
Nana tidak menimpali. Wanita itu memilih turun saat Utami menghentikan mobil. Matanya langsung menangkap sosok yang sedang duduk bersandar sambil memijit pelipisnya.
"Kak Khaeri.." berjalan mendekat sambil memanggil pelan pria itu.
Khaeri mengangkat kepalanya seraya tersenyum lemah. "Udah sampai, Na.."
"Iya," Nana mengangguk. "Kak Khaeri masih pusing?"
"Iya," menarik nafas panjang. "Aku butuh istirahat, Na."
"Mm.. maaf membuat Kak Khaeri seperti ini."
"Nggak," Khaeri menahan tangan Nana. Menarik tangan itu lalu menciumnya dengan lembut. "Semua butuh pengorbanan, Na. Nggak ada yang instan. Yang instan itu kebanyakan tidak baik." Mendongak menatap Nana yang masih berdiri menatapnya. Beranjak bangkit dengan tangan masih menggenggam tangan Nana.
"Aku duduk di belakang, nggak apa-apa ya, Na."
"Aku temani Kak Khaeri."
Khaeri mengurungkan niatnya membuka pintu mobil. "Kamu bawa sopir kemari?" Menatap Nana dengan serius..
"Bukan sopir, Kak. Aku datang bersama Utami. Tadi khawatir nggak bisa bawa mobil dengan baik karena tidak bisa konsen."
"Oh, bolehlah." Khaeri langsung masuk ke dalam mobil. Ia tidak bisa konsentrasi karena pusingnya yang semakin hebat. Duduk bersandar sambil memejamkan matanya. Pusing ini benar-benar menyiksanya.
"Pusingnya masih kuat banget ya, Kak?" Nana mencoba memberikan pijitan lembut di kepala Khaeri.
"Mm... kalau aku istirahat, pusingnya akan hilang sendiri."
"Kalau begitu Kak Khaeri istirahat saja sekarang."
"Apa aku boleh tidur di sini?" Menatap Nana dengan penuh harap. Lebih tepatnya menatap ke pangkuan Nana yang terlihat sangat nyaman untuk di tiduri.
"Pundak aku pasti nyaman untuk Kak Khaeri." Jawab Nana. Sejak tragedi yang di lakukan Fikri waktu itu. Ia jadi lebih waspada dan lebih menjaga jarak. Tidak berani terlalu banyak kontak fisik dengan lawan jenis.
"Oh, maaf, Na. Aku... aku akan bersandar saja." Khaeri langsung menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Ia jadi malu sendiri mengatakan hal tadi. Segera memejamkan matanya agar Nana tidak menanyakan apapun lagi.
Baru setengah perjalanan, Nana melihat Khaeri terlelap. Namun, melihat kepala Khaeri seperti itu, terlihat jelas kalau pria itu tidak nyaman. Beralih menatap Utami yang sedang konsentrasi menyetir. "Mi, Kak Khaeri terlihat tidak nyaman. Boleh 'kan menyandarkan kepalanya, biar dia lebih nyaman?"
"Terserah kamu, Na. Setidaknya Dokter Khaeri lebih menjamin daripada Kak Fikri. Dia sudah bersedia menikahi kamu. Bukankah itu adalah sebuah bukti keseriusan seorang pria?"
Nana tidak menimpali walaupun dia menyimak semua yang dikatakan Utami. Tidak ada yang salah dengan ucapan Utami. Perlahan, ia menarik kepala Khaeri sampai bersandar di pundaknya. Tubuh pria itu terasa demam.
"Terimakasih sandarannya, Na. Pundak kamu terasa nyaman sekali. Aku akan menghargai kamu." Ucap Khaeri dengan suara lemah.
"Eh," Nana menelan ludahnya. Tidak menyangka kalau Khaeri menyadari apa yang dilakukannya. Itu berarti pria itu tidak tidur dari tadi. Ia akhirnya hanya bisa tertegun.
"Aku tidak akan macam-macam, Na. Kenapa kamu seperti orang yang ketakutan saat kontak fisik denganku?" Khaeri membuka matanya perlahan karena merasakan ketidak nyamanan. Ia bisa merasakan tubuh Nana sedikit gemetar.
Nana kembali menelan ludahnya. "Aku.. aku.."
"Ceritakan semuanya di lain waktu. Aku tidak bisa membantumu saat ini. Aku saja tidak bisa mengendalikan rasa sakit ku."
"Iya, Kak. Aku juga sudah merencanakan semuanya, Kak. Itulah mengapa aku memaksa Kak Khaeri datang kemari." Timpal Nana, tatapan matanya lurus ke depan.
Khaeri mengangkat kepalanya. Menyandarkan kembali di sandaran "Sepertinya, masalahnya cukup serius."
"I.. iya. Kak Khaeri perlu tau semuanya sebelum hiimemutuskan memilih ku menjadi pendamping hidup Kak Khaeri."
"Aku pasti memilihmu, Na."
"Aku tidak bisa menjamin Kak Khaeri bisa mengatakan itu setelah mengetahui kenyataannya."
Khaeri menatap Nana. Menegakkan duduknya "Apakah masalahnya seserius itu?"
Nana "Iya.. kita harus membicarakan semuanya. Aku tidak mau hal ini jadi masalah di belakang nanti."
"Hah.." Khaeri menarik nafas dalam. Memejamkan matanya karena seraya menyandarkan kembali kepalanya. "Baik lah.. semoga beritanya tidak membuatku syok."
Nana tidak menimpali. Ia hanya menunduk karena matanya terasa panas.
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Annisa
Nana yang mau ngomong sama Dokter itu. Kok aku yang ikut deg-degan ya.. 🥺🥺
2023-10-07
0
Sadiah
Jujur na sebelom menikah agar tidak masalah kebelakang nya,walau belom. sama ayah kamu ya sama calon suami kamu, justru kasian noufal dia butuh kamu..
2023-08-16
0