Ini masih ruangan yang sama, dengan udara yang juga tidak pergi dari tempatnya. Ada banyak kata yang seharusnya dia katakan pada orang-orang yang tadi sempat menjenguknya. Tapi ada rasa takut dan juga sedikit gugup yang mulai mendera remaja itu. Semua terjadi tanpa alasan yang jelas.
"Kamu kenapa, hmm?! Nggak bisa cerita sama kakek?!" Suara serak itu dari tadi menemani Ray dalam sunyi. Entah kenapa, setelah kalimat kakek berakhir, ada senyap yang ia tak tau entah mengapa. Hanya terdengar sedikit aneh saja, dan tidak seperti biasanya.
"Ray nggak apa-apa, kek. Kemarin cuma nggak bisa tidur aja, nggak ada yang serius kok!" Kakeknya mengelus punggung tangan Ray, dan saat itu Ray sadar bahwa kakeknya sudah renta. Walau ia terlihat gagah jika dilihat dari luar, tapi nyatanya telapak tangannya sudah terasa keriput dan lipatan lain yang ada di sana membuat Ray semakin yakin bahwa sosok kakeknya yang selama ini membela dirinya setiap waktu tidaklah sekuat yang kelihatannya.
"Kakek lelah kan?! Sini tidur sama Ray aja! Malam ini kakek tidur di sini!" Katanya sambil menyisihkan tempat yang cukup luas untuk kakeknya berbaring. Tapi seorang dengan usia senja itu hanya tersenyum.
"Terus gimana nenekmu nanti?! Kalau kakek pulang nenekmu ngomel-ngomel nggak jelas gimana?! Pasti dikira kakek selingkuh sama perawan!" Ray terkekeh mendengar kalimat dari kakeknya. Ternyata kakeknya memang berbeda dengan ayah, dan juga dua omnya.
"Kakek bisa aja! Tak cariin perawan beneran loh nanti!"
"Nggak usah, makasih. Kakek cukup setia pada satu hati!"
"Haha, andai aja ayah sama kaya kakek. Pasti nggak kaya gini kan jadinya!" Ada jeda sejenak di antara keduanya. merasa ada yang janggal dengan kalimat terakhir dari percakapan mereka.
"Ray, kamu jangan terlalu banyak pikiran! Dokter bilang, tekanan darahmu rendah. Padahal tante mu tadi bilang, pagi tadi kamu makan 4 coklat batangan."
"Hehe, iya kek. Nanti Ray tingkatin lagi!"
"Apa yang ditingkatin?!"
"Makan coklatnya. Kan, tadi 4 batang belum bisa buat tekanan darah Ray naik, yang nanti Ray tingkatin lagi makan coklatnya. Jadi 10 batang setiap hari!"
"Tapi awas loh, nanti gigi kamu bolong! Nanti kakek undang tukang aspal!"
"Loh kok tukang aspal?!"
"Iya, biar giginya yang bolong di cor sama semen!"
Keduanya terkekeh sekali lagi. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini. Walaupun kakeknya sudah lansia, tapi ia masih pegang kendali penuh atas perusahaan yang dimilikinya sejak muda. Memang luar biasa.
"Maafin ayah kamu ya?!" Ray terdiam menatap kakeknya yang sekarang memalingkan wajah. Berusaha untuk tegar, walau dalam hatinya ia merasa bersalah.
"Ayah kamu belum bisa jadi ayah yang baik." Kini tatapannya menjadi sendu. Sejujurnya, Ray tidak ingin melihat itu. Ia lebih suka kakeknya seperti beberapa detik yang lalu. Penuh dengan kehangatan dan juga canda tawa.
"Kakek nggak usah minta maaf!"
Hanya itu yang bisa ia katakan. Dan setelahnya hanya bisu yang mereka bisa umbar pada udara. Hingga salah satunya keluar dari ruangan itu.
***
Tidak ada yang curiga, bahkan Ray sendiri menganggapnya hanya karena kurang istirahat karena beberapa hari yang lalu ia sempat tidak tidur semalaman hingga pagi menjelang. Karena di sisi lain, ada seorang yang tertawa melihatnya menderita. Di sebrang sana, ada pihak yang memang menginginkan ia hancur kemudian menghilang ditelan waktu. Dan keadaan akan menjadi nol, saat dimana mereka memulai semuanya dari awal. Tanpa ada kehadiran Rayyan Chandra Arrega di dalamnya.
***
Batin Sam menjerit melihat soal-soal dihadapannya. Ada sedikit rasa khawatir yang mulai mendera. Saat dimana ia berhadapan dengan sang papa karena nilainya yang memang kurang dari keinginannya. Ia menatap seorang yang duduk dihadapannya. Dion tampak tenang, tangannya terus bergerak pada bidang putih yang guru berikan satu jam yang lalu.
Ia beralih pada sosok di sampingnya. Rean juga terlihat sangat serius. Ia pasrah kali ini. Memang beberapa hari belakangan ia sering keluar rumah. Untuk menjenguk Ray yang beberapa waktu lalu tumbang.
Padahal remaja itu sudah berulang kali disemprot Ray karena ketahuan tidak belajar. Tapi ia tak kapok juga dengan hal itu.
Dan kini, ia hanya bisa merenungi nasib malangnya. Jangan salahkan dia. Jika saja matematika bisa dikalahkan dengan kepalan tangan, ia akan menang sepuluh detik setelahnya. Sayangnya, konsepnya berbeda. Sam hanya bisa berharap pada Dewi Fortuna, semoga ia bisa menyelamatkan nilainya.
Semoga saja.
***
"Rean, lo mau nggak bantuin gue belajar hari ini. Maaf banget kalau ganggu, tapi gue bener-bener butuh bantuan buat kali ini!" Kata Sam sambil menggelayuti tangan Rean. Rean hanya diam, dan tersenyum ketika melihat remaja yang lebih tinggi darinya itu.
"Sam, beneran deh. Aku aja belum tentu bisa. Kenapa nggak tanya sama Dion?!"
"Dion?! Dion yang itu?!" Tanyanya sambil menunjuk orang di sebelahnya yang sibuk membereskan peralatannya. Dion mulai menengok ke arah mereka.
"Lo pikir dia mau ngajarin gue?! Pasti dia bilang 'gue nggak punya waktu!! Buku agenda gue udah penuh' pasti dia bilang gitu!"
"Hari ini gue punya waktu, hari ini lo bisa puas puasin tanya apapun sama orang sepinter gue!" Kata Dion sambil menyampaikan tas disebelah pundaknya.
"Haha, makasih. Tapi maaf, gue nggak mau belajar sama orang sombong kata lo! Gue pilih Rean aja yang baik hati!" Rean menghela nafas, dua orang ini memang tidak pernah akur sejak Sam mengetahui bahwa Dion berlaku seenak hati dengannya.
"Oke, hari ini kita belajar bareng aja gimana?! Aku juga belum begitu paham sih." Dua anak itu hanya mendengus, dan jadilah mereka bertiga belajar untuk ujian besok bersama.
***
"Bang?! Kemarin, abang beneran kasih obat itu ke sodaranya Rion?!" Seorang gadis dengan rambut panjang tengah membuka obrolan dengan sang kakak yang kini terbaring di atas ranjang.
"Bukan urusan lo. Lagi pula, bayarannya gede. Lumayan buat jajan 3 bulan!" Katanya yang masih pada tempatnya. Sebenarnya, Vier tidak suka obrolan ini. Sudah cukup dia yang terlibat dengan kehidupan kelas Sanga ayah. Tidak dengan dua adiknya.
"Bukannya dia itu juga sodaranya temen Abang yang waktu itu?!"
"Hm?! Yang mana?!"
"Itu, yang sering banget main bareng abang. Kalau nggak salah Sean, iya kan?!"
"Hmm"
"Abang nggak takut kehilangan teman Abang itu?! Nisha tau kok, temen Abang itu sebenernya baik."
"Udah abang bilang, lo nggak usah ikut campur sama urusan abang! Lagian, Abang kan kemarin udah bilang jangan pernah Deket sama keluarga Chandra..."
"Tapi Abang sendiri temenan sama kak Sean..." Vier bangkit dari tidurnya.
"Gue bilang lo nggak usah ikut campur! Itu urusan gue, lagipula apa yang gue lakuin ini juga demi kebaikan kita nanti. Kalau bukan karena kalian berdua, gue nggak akan lakuin hal yang nggak guna kaya gini!" Nisha menghela nafasnya.
"Andai aja, ayah kita orang yang normal. Pasti kita nggak akan kaya gini!"
"Gue nggak mau denger itu lagi. Yang harus lo lakuin sekarang cuma diem, belajar yang rajin! Itu aja cukup buat gue, dan gue tekanin sekali lagi, lo nggak usah deket-deket sama mereka. Apalagi suka sama mereka!"
"Iya bang, Nisha tau kok. Lagian kemarin Nisha juga udah di tolak sama Rion. Sayang banget sih, tapi ya udahlah. Cowok ganteng bukan cuma dia aja di muka bumi ini!"
"Tenang aja, kalau stok orang ganteng di bumi udah nggak ada, nanti Abang impor dari planet Pluto."
"Lah, alien dong?!" Nisha terkekeh mendengar perkataan Vier. Sedangkan laki-laki itu tidak mengumbar senyum apalagi tawa pada candaannya sendiri. Karena ia tau, apa yang dilakukannya tidaklah benar. Itulah mengapa ia jarang tertawa.
***
Jam istirahat adalah waktu yang paling siswa tunggu. Itu adalah saat dimana mereka bisa tertawa sepuasnya, memberi makan cacing di perut, atau sekedar melepas lelah dari padatnya jam pelajaran.
Hampir tidak ada siswa yang berada di kelas. Begitupun dengan Ray dan Rion kala itu. Mereka lebih suka berbincang di kantin, bersama dengan teman-temannya.
Tidak ada yang tau, bahwa seseorang baru saja masuk kedalam sebuah kelas kosong. Hanya penuh dengan tas-tas diatas meja dan kursi yang ada. Di sanalah Vier mencari salah satu tempat duduk. Mencari dengan seksama, dan ketika ia menemukan apa yang ia cari. Ia segera menggeledah sebuah tas yang sudah ada di tangannya.
Tangannya sedikit kaku, dan bergetar. Tapi kala ia mengingat wajah ayahnya yang murka tadi malam, dan berusaha untuk menguatkan anggapannya bahwa ini demi kebaikan keluarganya.
Botol minum itu kini ada di atas meja, sekali lagi dirinya terhenti di sini. Ia tak mungkin melakukan hal ini. Ia benar-benar tidak bisa. Baru saja ia hendak menghentikan aksinya, ia kembali di putarkan kembali memori kelam tentang keluarganya. Keluarga yang tak seindah pada kelihatannya.
Vier menghela nafas, dalam hati ia menyumpahi dirinya yang akan menyelakai orang yang menjadi target ayahnya kali ini.
Dengan perlahan Vier memasukkan obat serbuk yang ia keluarkan dari saku. Sudah ia pastikan bahwa seluruh tubuhnya kini sedingin es di kutub Utara.
"Maafkan aku...maafkan aku...maafkan aku..." Katanya dalam hati. Ia kembali memasukkan botol itu pada tempatnya. Mencoba menghilangkan bukti-bukti yang ada. Dan semua tidak akan curiga, dengan apa yang terjadi setelahnya.
Ia melangkah pergi, berusaha untuk menghilangkan apa kemungkinan buruknya. Yang paling bisa ia pikirkan adalah ketika Sean tidak lagi menjadi temannya, dan kemungkinan terbesarnya adalah Ray akan meregang nyawa karenanya.
Tapi ia perlu membantu keluarganya. Keluarga yang sedari dulu ia jaga. Untuk membuat dua adiknya berlaku menjadi remaja pada umumnya. Bukan anak dengan masalah broken home yang banyak ia dengar dari media.
Tanpa sadar, Vier mencuci tangannya enam kali. Ia masih belum percaya akan hal yang ia lakukan. Bagaimana jika Ray akan meregang nyawa pada pemakaian pertama?! Bagaimana jika...
"Vier!" Seru seseorang dari arah belakangnya. Membuatnya cepat-cepat mematikan keran air, dan menatap wajah sahabatnya.
"Lo ngapain di sini?! Kaya cewek aja lo di kamar mandi seratus tahun!" Kata Sean yang menghampirinya.
"Hah, gue bukan cewek! Lagian gue nggak lama kok!"
"19 menit itu bukan waktu yang lama buat lo?! Kalau buat gue, selama lo ke kamar mandi gue udah bikin mi gelas lima puluh porsi!" Setelahnya keduanya terkekeh. Kemudian hening kembali merambat di antara keduanya. Sebelum mereka memutuskan untuk kembali ke kelas bersama.
"Sean..." Suara Vier begitu menggantung. Dan itu membuat Sean terganggu. Seperti ada sesuatu yang ia tak tau.
"Apa?!" Vier tak berani menatap mata legam Sean.
"Kalau gue buat salah, lo mau maafin nggak?!" Sean mengerutkan dahinya.
"Emangnya lo salah apa sama gue?!"
"Ya gue tanya aja, lo mau nggak maafin gue?!"
"Ya tergantung sih!"
"Oh, gitu?!" Keduanya kembali di telan oleh hening. Karena mereka berdebat dalam diam, bahwa ada yang tidak benar terjadi saat ini, di antara keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments