..."Bun, aku masih bersyukur. Walau aku kehilangan sosok mu, masih ada yang peduli pada manusia ini."...
...Rayyan Chandra Arrega...
.
.
.
Sorot matahari dari jendela mulai mengganggu remaja yang kini masih berada di atas ranjang besar itu. Ketika Ray terbangun, tidak ada siapapun di dalam kamar. Ia menatap jam, sudah pukul 11 siang. Langkah kakinya terasa berat karena selimut tebal yang melilit di tubuhnya. Kepalanya terasa ngilu karena semalaman ia tak bisa tidur, dan mulai terlelap pagi tadi ketika ia berada di kamar sang kakak Rumah itu terasa sepi. Mungkin semua orang sedang melakukan pekerjaannya masing-masing.
"Rayyan, kenapa jam segini kamu masih di sini?!" Tanpa sadar seorang wanita berdiri di hadapannya dengan melipat kedua tangan. Menunjukkan tatapan tak suka pada manik polos itu. Ray masih mengerjapkan matanya. Mengumpulkan keyakinan bahwa ia saat ini sudah benar-benar bangun. Dan di hadapannya bukanlah makhluk jadi-jadian yang biasa masuk dalam mimpinya.
"Anda siapa?!" Wanita itu terlihat kesal. Berdecak pelan.
"Aku siapa?! Harusnya kamu tau siapa saya! Saya adalah istri sah dari Arnold Chandra Arrega! Harusnya kamu tau!" seru wanita itu dengan tegas disertai tatapan tak suka pada Ray. Ray tak bergeming. Ia sudah tidak terkejut dengan hal itu. Ayahnya telah menikah lagi dengan wanita yang terlihat sedikit lebih muda dari bundanya. Dan yang dia tidak terima, bahwa wanita itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Raina, bundanya.
"Bunda juga istri sahnya Ayah kali, mereka belum cerai, kok," katanya dengan enteng, sambil melangkah melewati Sasha. Wanita itu geram melihat tingkah Ray yang tidak menghormati dirinya. Bagi Sasha, adanya sosok Ray disini adalah penghinaan paling besar yang terima.
"Kamu emang anak nggak tau diuntung! Seharusnya saya juga bertanya, siapa kamu?! Bukankah ibumu sudah mati?! Kalau begitu kamu sudah tidak memiliki ikatan lagi dengan ayahmu!" Katanya dengan tajam. Ray terdiam. Kalimat itu sedikit mengguncang hatinya. Bahkan walaupun mereka memutus hubungan antara ayah dengan anak berdasarkan surat yang ditandatangani dalam sebuah sidang, darah Arnold tetap mengalir di dalam tubuh Rayyan. Intinya, mereka tidak akan bisa memutus hubungan darah antara ayah dan anak.
"Tante, apa yang Tante lakukan?!" Suara itu berasal dari Sam yang datang bersama dengan Shan.
"Tante yang harusnya berkaca! Tante bukan siapa-siapa disini, selain orang asing yang datang tiba-tiba. Rayyan bukan orang asing. Dia adalah anak dari paman Arnold. Darah keluarga Chandra mengalir di dalam tubuhnya. Jadi, jangan mempertanyakan siapa dia lagi!" kata Shan dengan tajam kearah Sasha.
Sasha memutar bola matanya. Berdebat dengan anak-anak ini akan semakin membuatnya jadi orang asing yang mencari pengakuan seperti seorang pengemis. Ia melangkah dengan angkuh meninggalkan remaja-remaja itu. Punya rencana yang lebih licik untuk membuat Ray menderita. Setidaknya itu yang dipikirkannya.
"Kakak baik-baik aja, Kak Ray?" Ray hanya diam. Kemudian ia melanjutkan langkahnya. Berlaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Bersikap seakan ia tak terluka sedikitpun dengan apa yang Sasha katakan.
"Aku akan pergi ke kamar, kalian lanjutkan saja kegiatan kalian." Ray sudah tenggelam di telan pintu. Sedangkan mereka berdua hanya bisa terdiam.
"Tante Sasha semakin berani sekarang! Kesel banget lama-lama! Sekarang, kita harus ngapain, kak?!"
"Nggak untuk sekarang. Tapi yang jelas, gue punya firasat buruk!"
...***...
"Gue heran, kenapa setiap minggu kita harus mengadakan jamuan seperti ini?" Karel menengguk minuman pesanannya. Ia selalu bertanya seperti itu setiap mereka berkumpul. Tapi ia tidak puas dengan jawaban yang selalu ia terima.
"Sudah berkali-kali kubilang, kakek ingin kita punya hubungan yang baik! Dia tidak ingin melihat hubungan kita seperti ayah-ayah kita!" Kini Kensie yang menjawab. Kakaknya itu terlihat tenang sambil memandangi wajah-wajah datar yang mengelilinginya.
"Hubungan kita selalu baik walau tak mengadakan acara minum teh ini." Sean ikut dalam pembicaraan.
"Bagaimana dengan Rayyan?! Harusnya dia juga ikut kan?" Karel kembali bertanya.
"Dia sedikit berbeda sekarang."~Rion
"Menurutmu begitu?" Shan mengambil minuman pesanannya. Mengamatinya sebentar, sebelum minuman itu kembali mengaliri tenggorokannya.
"Tidak ada banyak hal berubah darinya. Gue Pikir dia akan lebih tinggi, ternyata masih pendek seperti dulu!" Sean memang satu-satunya yang bisa mencairkan suasana dengan mulutnya yang berterus terang.
"Nyatanya dia masihlah Rayyan yang sama." Shan menatap Sean.
"Apanya yang sama Kak Shandi Chandra Aditya?"
"Dia masih penakut seperti dulu."
"Itu bagus." Semuanya mengangguk. Tidak ada yang tidak setuju dengan pernyataan Rion. Ketika Ray merasa takut, adalah waktu dimana saudara-saudaranya nantikan. Ketika Ray takut, kalian tidak akan tahan melihat wajah imutnya, suara jeritannya yang melengking terdengar seperti sebuah komedi bagi semua orang.
"Dia masih berduka atas ibunya. Jadi jangan heran saat ini dia tidak bisa diajak bicara." Semua mengangguki kalimat Kensie.
"Tapi yang lebih penting lagi, sepertinya Tante Sasha sudah mulai berani ke Ray! Dan gue nggak bakal terima!" Shan memukul meja kaca. Hingga membuat orang-orang menoleh kearah mereka.
"Kakak apa-apaan, sih?! Bikin malu tau!" Sam menyenggol lengan Shan. Ia merasa terganggu dengan tatapan orang-orang yang kini beratensi pada mereka.
"Tenang, gue orang kaya!"
"Emang kekayaan bisa buat nebus rasa malu?!"
...***...
Ray menatap langit dari balkon kamarnya. Hari ini cerah, sampai-sampai ia tak menemukan sekelebat awan putih pun di sana.
Hampir setengah jam ini, yang ia lakukan adalah menatap langit sambil mendengarkan musik dengan headset. Setidaknya suasana hatinya akan membaik.
"Bunda, Ray hari ini dikamar sendiri. Kemarin juga, sampai-sampai Ray nggak bisa tidur. Terus paginya, Ray tidur di kamar kak Shan. Jujur saja Ray kangen sama mereka. Tapi kayanya mereka nggak kangen deh sama Ray!" Ray diam. Sebelum ia melanjutkan kalimatnya.
"Bunda denger Ray ngomong nggak sih?!" Seru Rayyan dengan sedikit sentakan. Tapi ia mengambil nafas dan berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana pun, sang bunda sudah tiada. Satu hal yang tidak bisa ia hilangkan hingga saat ini, adalah bicara sendiri seolah-olah ia bersama dengannya. Banyak yang menganggapnya gila di sekolahan karena sikapnya, bahkan setelah 3 bulan. 3 bulan ia bicara seorang diri dikala sedih, berharap sang bunda akan mendengarnya. Tapi kenyataan telah menelan segenap harapnya. Karena sesungguhnya tidak ada yang mau dengan lapang dada mendengar setiap kata dari Ray. Dan satu-satunya orang yang mau mendengarkannya dengan baik sudah tak lagi hadir di hadapannya.
"Bunda, maafin Ray," lirihnya. Ia mengusap matanya. Tanpa sadar, seseorang mengamatinya. Arnold bersembunyi di balik tembok, balkon kamarnya dengan Ray bersisihan. Ia bisa dengan jelas melihat Ray tengah duduk di sana dengan headset terpasang ditelinga. Pria itu hanya memalingkan wajahnya dan pergi begitu saja. Egonya terlalu kuat untuk menghampiri sang anak, sekedar melingkarkan pelukan atau memberikan kata-kata penenang. Berselisih dengan diri sendiri adalah hal paling menyebalkan.
"Bunda, kalau nanti Ray sudah lelah, Ray bakal cerita semuanya ke Bunda. Saat itu, Ray akan bertemu dengan Bunda. Dan Bunda harus mau dengerin semua apa yang Ray katakan, oke?" Anak itu bangkit. Menepuk kedua pipinya. Berusaha untuk menyemangati diri.
"Oke, semangaaat!" Ray melangkah dengan ringan kedalam kamarnya. Dan Arnold yang mendengar hal itu seketika membatu. Ternyata langkahnya terasa berat hanya karena mendengar suara sendu dari anak semata wayangnya. Namun, ia masih berdebat dengan dirinya sendiri. Hati dan pikirannya tidak pada satu tempat yang pasti.
...***...
Ray masih memandang minuman di atas mejanya. Dua orang ini telah membelikan minuman ini untuknya. Ray sangat ingin menengguknya saat ini, tapi ia masih sedikit sungkan dengan dua orang yang tengah menatapnya dengan intens.
"Kak Shan kenapa beli ini buat Ray?!"
"Lah, emang kenapa? Minuman ini nggak mahal kok, cuma seratus ribuan."
"Cuma minuman doang kok sampai seratus ribu?! Dikasih taburan emas, ya?!" Shan dan Sam terkekeh.
"Kak Ray ini ngomong apaan, sih? Kayak sama siapa aja."
"Itu minuman khusus kita beli buat kamu. Cepetan minum, nggak bakal buat tenggorokan sakit kok!" Shan senang melihat ekspresi wajah Ray yang susah untuk di artikan.
"Aku mau tanya, kalian mau jawab kan?!" Shan dan Sam saling tatap. Suasananya berubah.
"Sebenarnya aku ini apa sih di keluarga Chandra? Apa aku ini budak, tawanan, atau pembantu?" Shan kini duduk disampingnya. Terkejut dengan apa yang Ray katakan. Harusnya Ray tau apa jawabannya, kan?!
"Kamu bicara apa, sih? Kami itu keluarga mu, kami yang akan melindungimu. Apa kamu nggak cukup percaya sama apa yang kita lakuin sekarang?"
"Lalu, kenapa seolah-olah kalian mengasingkanku? Kenapa kalian hanya diam saja ketika aku datang? Apa segitu susahnya untuk bilang 'hai' atau 'bagaimana kabarmu?' Apa itu sangat susah?" Kini Ray berterus terang, jelas saja ia lebih nyaman mengungkapkan apa yang dia rasa dengan kata-kata berderet yang keluar dari mulutnya.
"Nggak gitu, Kak. Kak Ray salah paham! Kami cuma nggak biasa ngomong banyak di hadapan anggota keluarga lainnya!"
"Gitu?! Terus, apa harus ada aturan, makan harus di meja makan?! Kalau nggak di meja makan, nggak boleh makan?!"
"Kenapa kamu tanya begitu?"
"Karena seharian ini aku belum makan apapun!"
"APA?!" Seru Shan dan Sam.
"Perasaanku, tadi Kakek sudah menyuruh pembantu untuk mengantarkan sarapanmu." Sam mengingat-ingat saat sarapan tadi pagi, kakeknya menyuruh seorang pembantu untuk mengantarkan sarapan Ray ke kamar.
"Nyatanya?! Bahkan aku belum meminum setetes air pun. Aku berpikir apakah kalian akan menyekap ku di sini, membiarkanku mati kelaparan. Atau..."
"Sudah berhenti bicara, pantas saja Kak Ray terlihat pucat. Aku panggilkan pembantu untuk mengantarkan makananmu." Sam berlalu meninggalkan kamar Ray.
"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Apa perutmu sakit sekarang?"Ray menggeleng. Bohong jika dia bilang baik-baik saja. Ia hanya tidak mau merepotkan Shan dan Sam. Perutnya melilit, ia sudah pastikan nanti jika ia makan sesuap saja, perutnya akan memberontak.
"Kak Shan, bisa nggak aku tidak makan sekarang?"
"Lah, bukannya laper? Nggak, pokoknya kamu harus makan!"
Ray hanya diam. Tak lama Sam datang dengan nampan makanan, lengkap dengan cemilan.
"Aku nggak mau makan!" Katanya sambil memalingkan wajah ketika nampan itu sudah berada dihadapannya.
"Nggak, Kak Ray harus makan!"
Ray menghela nafas, dia tidak suka dipaksa. Ia tau nanti akhirnya tidak akan baik-baik saja. Takut nanti akan terlihat lemah di hadapan dua orang yang selalu peduli dengannya selama di rumah ini. Dan ia tak mau mereka beranggapan bahwa kedatangannya membuat orang lain susah.
Tapi ia senang, mereka berdua masih peduli dengannya. Dan yang paling penting, ia masih memiliki orang yang menginginkan keberadaannya. Shan dan Sam adalah salah satunya.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments