Ray menatap ruangan yang sangat asing di pandangannya. Hampa yang tiba-tiba datang tanpa ia duga, ternyata telah membuat bulu kuduknya berdiri juga. Ada rasa sesal ketika beberapa jam yang lalu, ia meminta Karen untuk membantunya pergi dari rumah itu, dan beberapa waktu setelahnya ia beradu mulut dengan Rionald. Dan kini ia berakhir di sebuah apartemen milik Karen yang letaknya tak jauh dari sekolah. Jika kalian tanya mengapa, alasannya karena Ray tidak berhenti menangis setelah bertengkar dengan Rion.
Kebetulan sekali, hanya ada Karen, kakeknya dan beberapa pembantu yang mengetahui tangisan anak itu, termasuk Rion. Sejujurnya, ia bingung bagaimana cara membantunya untuk berhenti menangis. Dan akhirnya dia cuma diam sambil memandanginya.
Saking besarnya rumah yang mereka tempati, tidak ada yang mengetahui bahwa malam ini Ray meminta pergi dari rumah keluarga Chandra.
Bahkan saudara-saudaranya yang lain pun, nampaknya tidak mengetahui bahwa remaja itu sudah tidak ada di dalamnya.
Terdengar kekanakan memang, dia menangis semalaman karena ingin pergi dari rumah yang di tinggali beberapa minggu lalu. Tapi, kalau tidak begitu mana mungkin dia akan diizinkan. Perdebatannya dengan Rion pun memanglah belum berakhir, hingga ia meninggalkannya berdiri di teras sambil memandang Ray yang semakin menjauh.
Dan keduanya di bentangkan jarak yang cukup lebar, dan tak mungkin bagi Rion untuk mengejar. Walaupun anak itu tidak ingin Ray pergi, sejauh apapun ia meminta anak itu adalah orang paling keras kepala yang pernah ia kenal. Tidak mudah untuk merubah apa yang ia putuskan.
"Ray, om hargai keputusan kamu buat tinggal jauh dari keluarga kita. Tapi om minta buat kamu bisa mandiri di sini. Bisa?!" Ada sebuah keraguan ketika ia akan menjawab pertanyaan Ray. Dia bukannya tidak setuju, tapi mengetahui bahwa dia adalah seorang penakut, jadi mungkin agak sulit untuk bisa mandiri seperti permintaan Karen.
"Bisa om, maaf Ray buat om repot malam ini...!" Ada lelah yang Karen simpan dalam beberapa kerutan di dahinya. Dia lelah, dan ingin segera beristirahat. Tapi ia tak mau jauh dengan sang istri yang kadang menunggunya hingga larut malam atau bahkan sampai subuh menjelang. Walaupun dia seorang yang terlihat tidak peduli, dia sebenarnya sangatlah peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Apalagi sang istri yang akan mendampinginya hingga usia senja nanti.
Dan malam itu, Karen pergi meninggalkan Ray sendiri di dalam apartemen mewah itu. Tanpa ada rasa ragu dan khawatir, karena ia sudah menganggap Ray cukup dewasa untuk menjalani ini semua.
Ray membuyarkan lamunannya. Ia meletakkan barang bawaannya di atas ranjang dan mulai menjelajah ruangan yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri. Ray berdecak senang, melihat tumpukan makanan yang sudah terjejer rapi di dalam kulkas membuatnya kembali hidup. Setidaknya ia tau, bahwa ia tak akan mati kelaparan.
Sejenak ia melupakan rasa takut akan sendiri. Terlalu lelah untuk memikirkan banyak hal saat ini. Menangis dalam waktu yang lama membuat matanya perih dan ingin segera mengistirahatkan segala penatnya.
Lihatlah ia sekarang, ia merebahkan tubuh di atas ranjang beberapa detik yang lalu dan sekarang ia sudah terlelap dalam alam mimpi. Semoga saja besok matanya tidak akan bengkak dan menghitam seperti panda peliharaan Sean.
...***...
Tiga orang itu sudah berdiri di pinggir jalan raya untuk waktu yang lama. Bukannya mereka tidak merasakan dinginnya udara, atau sekedar berjalan-jalan tiada guna. Namun hanya ada satu orang yang membuat mereka rela melepas kasur empuk, dan selimut hangat hanya untuk seorang saja. Ray lah orangnya.
Bahkan mereka rela meninggalkan sepatu bermerek, dan hanya mengenakan sandal jepit yang mereka temukan di teras rumah. Mereka tidak tau, bahwa tiga pasang sandal itu milik tukang kebun, dan dua orang tukang laundry yang kebetulan sedang mengerjakan tugasnya di pagi hari.
"Sumpah, kalau bukan buat kak Ray gue nggak mau jatuhin harga diri gue pakek sandal jepit kaya gini. Pakek celana pendek lagi!"
Karel menghela nafas. Sudah beberapa kali bocah SMP di sampingnya itu mengeluh panjang lebar kali tinggi. Dan kali ini ia ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya.
"Buset!!! Gak waras lo, Rel?!! Ngapain lo tendangin bokong gue yang seksi?!! Iri ya lo...?!" Sam menghindar dari kaki Karel yang sudah berayun dan mendarat tepat di bokong milik Sam. Sudah beberapa kali tendangannya tepat sasaran, kalau saja Sam tak menghindar bisa bengkak bokongnya ketika sampai rumah nanti.
"Gedeg gue sama mulut lo!! Bisa diem nggak?!!" Inilah Karel ketika sudah kesal. Bukannya merasa lebih tenang, ia malah semakin meledak-ledak jika berhadapan dengan seorang seperti Sam.
"Ini mulut gue, ya terserah gue dong! Lo juga harusnya sebagai kakak harus bisa sabar ngadepin gue. Coba deh lo kaya kak Sean, duh pasti gue seneng banget!"
"Gue?! Sabar ke lo?!! Hahahaha..."
"Lo kalau mau ribut, jangan di sini! Yok kita ke lapangan! Nanti kita tanding siapa yang paling kuat!!"
"Ngapain?! Mau gulat?! Panco?! AYOOK!"
"Eit...eit...eit...siapa bilang mau gulat, apalagi panco?! Kita tanding bola lah!"
"Ck, pengecut lo!"
"Lo bilang apa?!!"
Sean menghela nafasnya. Apa yang seharusnya dia lakukan dengan dua adiknya ini?! Yang satu nggak tau malu, yang satu nggak mau ngalah. Apakah dia harus mencuci akhlak dua anak itu di tukang laundry dekat perempatan?!
Boleh dicoba.
"Sini lo maju kalau berani!! Gue tumpulin hidung bongsor lo!" Agaknya di sini, memang Sam tidaklah ingin menghentikan pertengkaran mereka. Karel yang biasanya anteng, ternyata bis barbar juga ketika bersama Sam.
"Ayok!! Sini lo!" Sean mengusap wajahnya.
"Ya Allah, kenapa Engkau biarkan hamba sendiri dengan dua orang ini?!!"~Sean
"Ray mana ya?! Kok nggak datang-datang?!!" Sean mulai memeriksa jam di layar ponselnya. Sudah pukul 9. Harusnya anak itu sudah bangun beberapa jam lalu. Apalagi pesannya sudah terbalas beberapa waktu lalu.
...______________________________________...
^^^Me^^^
^^^Ray, lo nggak di rumah?!! Kemana lo?!!^^^
^^^Me^^^
^^^Lo tau nggak, suasana di rumah makin dingin aja?!^^^
^^^Me^^^
^^^Lo kemaren berantem sama Rion?!!^^^
^^^Me^^^
^^^Rayyyyy....!!!!!!!^^^
Ray C.
Iya, gue di apartemennya om Karen
^^^Me^^^
^^^Kok bisa?!!^^^
Ray C.
Gue jelasin nanti
^^^Me^^^
^^^Gue ke sana, sama bocah-bocah, nanti lo jelasin sedetail-detailnya sama gue!!^^^
Ray C.
Oke, gue tunggu di simpangan lampu merah deket sekolah
_____________________________________
...***...
Matanya mengerjap, pertanda bahwa dunia kembali memperlihatkan bagaimana rupanya. Namun remaja itu masih diam, matanya terasa panas. Ia yakin bahwa dua matanya memiliki lingkaran hitam di sekitarnya. Bukan hanya karena menangis bagaikan anak balita, tapi tidur pukul 2 malam juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kepalanya terasa berputar. Tapi ia masih sadar bahwa ketika ia membiarkan rasa sakit itu berdiam lebih lama, maka ia juga tak akan bisa apa-apa. Ray bangkit dari tidurnya. Kemudian melangkah dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka ke kulkas.
Apa yang seharusnya ia makan ketika seperti ini?! Mungkin semangkuk sereal dengan susu bisa meringankan tubuhnya.
Ia bahkan tak bertenaga hanya untuk memakan semangkuk sereal dan susu di hadapannya. Sudah beberapa suap ia masukkan dalam mulutnya. Namun nyatanya dia masih merasa pusing di kepalanya. Ia lupa bahwa tadi ia mengirimkan pesan pada Sean, kemudian kembali tertidur dalam waktu yang cukup lama.
Setelah memakan beberapa sendok sereal, ia kembali melangkah ke tempat tidur. Tanpa sadar ia merebahkan tubuhnya kembali di atasnya. Memilih untuk kembali bergelung dengan selimut hangat. Ia kurang tidur, mungkin sedikit istirahat bisa mengembalikan keadaannya.
Ia belum bisa menutup matanya dengan lega, karena masih memiliki banyak hal yang tiba-tiba datang dengan sendirinya. Tentang kepergiannya dari rumah, hingga pertengkarannya dengan Rion.
Ia benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan semua itu. Terlepas dari anggapannya bahwa semua masalah ialah penyebabnya.
"Rayyan..." Suara itu terdengar sangat familiar. Suara yang selama ini selalu ia kejar tapi tak akan pernah kembali ia dengar. Remaja itu bangkit mencoba untuk mencari sosok dari suara itu. Saat ini ia memang tidak dalam kondisi yang bagus, tapi ia bisa dengan jelas mendengar suara yang memanggilnya. Dan ia melupakan kenyataan bahwa sang bunda telah tiada.
"Bunda...?!"
Suaranya menggema di ruangan itu. Matanya terus menyapu sekeliling dan berusaha untuk menemukan penampakannya. Kemudian ia kembali terbaring. Ketika ia sadar bahwa apa yang ia pikirkan tidak akan pernah menjadi nyata. Yang ada ia bisa menjerit ketakutan karena sang bunda yang telah meninggal bisa bangkit kembali dan menemuinya ketika pagi hari.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bahwa bundanya sudah pergi di senja dan tenggelam oleh bumi ketika malam hari.
Ia hanya berhalusinasi. Tapi kali ini, ia harap bisa terus berada dalam halusinasi. Karena dengan begitu bundanya bisa tetap hidup dan memanggilnya dengan hangat kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments