Bab 18. Ada Apa Dengannya?

Sekolah sudah selesai, ini sore yang cerah dan Ray cukup bersyukur karena ia tak membawa payung kali ini. Akan merepotkan kalau ia tak membawa payung, terlebih jika ia harus berjalan kaki. Sebenarnya Karel, Sean dan yang lainnya memaksa Ray untuk ikut di mobil mereka. Tapi ia menolak dengan alasan Rion yang akan pulang terlambat, entah apa yang ia lakukan.

Ia memperhatikan anak-anak yang mulai meninggalkan pekarangan sekolah. Seolah-olah pulang adalah tempat ternyaman yang mereka punya.  Dan Ray juga menganggap hal yang sama. Ia bahkan tidak tau, mana rumah yang sesungguhnya bisa menerima dirinya apa adanya.

Sudah tiga kali ia mengelilingi area sekolah, dan belum juga menemukan sosok Rion. Sampai akhirnya ia hanya duduk di lobi. Menunggu Rion yang mungkin saja lewat.

Hari ini cukup melelahkan, walau ia bisa belajar dengan mudah kali ini. Entah kenapa, semua hal yang guru ajarkan padanya langsung membekas di otak. Begitupun dengan apa yang ia baca. Padahal biasanya tak pernah semudah ini untuk memahami apa yang ia pelajari. Namun di jam terakhir ia sama sekali tidak bisa konsentrasi. Matanya terasa sangat berat, jika saja ia punya kesempatan mungkin ia sudah terlelap dan bermimpi entah kemana saja.

Tiba-tiba saja gelisah mulai datang. Namun, ia hanya diam dan mengabaikan apa yang ia rasa. Mungkin saja ini akibat ia tak tidur dua hari lalu. Mungkin saja. Namun seingatnya, ia sudah cukup istirahat setelahnya, begitu pula pola makannya yang sangat Rion dan Nia jaga.

Ray benar-benar tidak ingin memikirkan hal itu. Yang ia mau hanya menemukan Rion dan kembali pulang ke apartemen. Kemudian ia bisa tidur di atas ranjang besarnya.

"Lo nggak bisa gini!! Gue udah lakuin apa aja yang lo minta, tapi kenapa..." Samar ia bisa mendengar suara seorang perempuan tak jauh dari tempatnya. Hanya saja, sosoknya tidak dapat Ray lihat.

"Gue nggak pernah minta lo buat lakuin itu! Dan seinget gue, gue nggak pernah minta apapun dari lo!" Suara itu sangat familiar. Ray bisa mengenalnya hanya dengan dehaman saja, tapi kali ini ia benar benar yakin bahwa orang itu adalah Rion yang ia cari.

Rasa penasaran itu membuat Ray mencari sosoknya.

"Kalau lo emang nggak pernah punya perasaan sama gue, seenggaknya lo jangan berlaku seolah ngasih gue harapan!" Seorang gadis dengan rambut panjang kini mengusap matanya. Sedangkan sosok Rion di hadapannya hanya berlaku acuh dan dingin seperti biasanya.

"Gue kan udah bilang, gue nggak pernah kasih lo harapan! Perlakuan gue ke lo itu nggak lebih dari teman, jadi tolong banget jangan buat kata 'teman' diantara kita jadi 'musuh'!!"

Gadis itu masih diam. Ray benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Dia tidak pernah berada di situasi seperti ini. Dia tidak pernah menyatakan cinta pada siapapun, dan juga sebaliknya. Jadi wajar jika ia memang jadi sebuah tokoh yang terlihat bodoh dengan hal semacam ini.

"Mau sampai kapan lo di situ?!" Ray menghilangkan lamunannya. Rion kini sudah ada di hadapannya.

"Hah?!"

"Gue tanya mau sampai kapan lo ada di situ?!" Ray tidak bisa berkata-kata. Ia memilih diam, sambil memandang Rion dan gadis itu bergantian.

"Em, lo nggak mau ngurus itu...?!" Tanyanya sambil memandang gadis yang masih terdiam sambil menatapnya dengan tajam.

"Gue udah selesai! Nggak ada yang perlu dibicarain lagi!" Katanya sambil berlalu. Hah?! Dengan begitu mudahnya?!

"Itu cewek loh! Seenggaknya tolak yang sopan!" Ia mengimbangi langkah Rion. Tapi remaja itu hanya diam sambil menatap jalan di hadapannya. Ray berdecak, benar-benar anak di sampingnya ini membuat dirinya jengkel setengah mati. Untung aja sodara, kalau bukan sudah ia jatuhi hukuman seribu kata.

Dengan begitu jeda di antara keduanya membuat bisu yang cukup panjang hingga tiba di rumah.

...***...

Entah kenapa, hari ini menjadi hari yang sangat menyebalkan bagi Rion. Mungkin bagi remaja pada umumnya tidaklah aneh, tapi baginya tidak. Semua orang tau bahwa ia memang tidak terlalu menyukai hal dramatis apalagi soal cinta-cinta. Dan kali ini seharian ia terus mendapatkan pesan-pesan aneh dari seorang gadis yang beberapa waktu lalu meminta nomor telponnya. Sebenarnya tak tega melihat gadis sepertinya menangis di lingkungan sekolah seperti tadi. Tapi ia memang benar-benar anti dengan sesuatu yang bernama cinta.

Dia memang tidak pernah tau soal yang seperti itu, dan ia memang nggak mau tau. Titik. Nggak pake koma apalagi spasi.

Dan sepertinya, Ray juga terlalu memikirkan hal itu. Nyatanya remaja itu tidak lagi membuka obrolan. Langkahnya tepat dibelakang tubuh Rion. Tidak ada yang aneh soal itu, dan Rion juga tidak merasa aneh. Hingga ia sampai didepan pintu apartemen. Tapi tak merasa remaja dibelakangnya masih ada di sana.

Sejak mereka meninggalkan pekarangan sekolah, langkahnya terlihat berat. Ray tidak ingin memikirkan kenapa tubuhnya begitu lemas beberapa menit yang lalu. Tapi ia tak bisa merepotkan orang yang tetap melangkah dengan ringannya. Mungkin ia bisa menahannya hingga ia sampai rumah.

Harusnya Rion tau, bahwa diamnya seorang Ray adalah sebuah masalah baru. Hanya saja dia tidak terlalu peka, bahkan kadang terlihat tak peduli dengan sekitar. Karena sikapnya yang seperti itu, ia sampai tak menyadari bahwa Ray tengah menahan rasa sakitnya seorang diri.

Ia merasa lega ketika ia mulai memasuki apartemen, tinggal membuka daun pintu dengan kunci yang Rion bawa. Lantas ia bisa dengan mudah merebahkan tubuhnya dimana saja. Itu hal yang bagus.

Namun tubuhnya menolak untuk melangkahkan kakinya hingga ke depan pintu. Rion juga sibuk mencari kunci yang ia lupa simpan dimana. Tubuhnya limbung, hanya sebuah dinding yang ia raih untuk tetap berdiri. Ia benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

Saat rasa dingin mulai merambahi setiap bagian tubuhnya, ia hendak memanggil Rion dengan sekencang-kencangnya. Setidaknya memberitahukan bahwa ia sedang dalam kondisi yang buruk. Tapi mulutnya hanya bergetar, tanpa bisa mengucap apa-apa.

Barulah saat ia menyentuh bagian bawah hidungnya, karena merasa ada yang mengalir di sana. Ia tak bisa berkata apa-apa, selain merah darah yang ia lihat.

"Rion..." Suara itu sangat lirih, bahkan ia tak yakin Rion bisa mendengarnya dengan jelas.

"RAY!" Seru Rion dengan langkahnya yang ia percepat untuk mendekat. Ia panik, tentu saja. Ia tak pernah di hadapkan pada kondisi seseorang seperti ini.

"Lo kenapa?! Hei!!" Ray sudah terduduk. Ia tak bisa menopang tubuhnya lagi. Suara panik yang Rion teriakkan terdengar seperti dengungan suara lebah di telinganya.

"Hei!!" Rion menggoyang-goyangkan tubuh Ray. Tapi anak itu masih saja menatap kosong udara di hadapannya. Ia tak bisa berfikir apa-apa. Semuanya seperti kosong. Darah yabg yang keluar dari lubang hidungnya belum juga berhenti mengalir. Menetes, hingga seragam cerahnya ternoda oleh merah pekat.

"Ray!! Lo liat gue!!" Ray masih tak bergeming. Dan Rion semakin panik. Tuhan telah menjawab permintaan Rion, tak lama Nia datang dengan plastik besar yang ia tenteng di kedua tangannya. Bukan lagi terkejut, tapi ia juga panik. Tapi setidaknya, keberadaan Nia di sini membuat Rion lebih lega.

Dengan perlahan, Rion membantu remaja itu untuk bangkit dari duduknya. Masuk kedalam ruangan itu dengan debat di dada yang masih tetap pada temponya. Harusnya ia sadar begitu ia merasa tak tenang dan gelisah. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini adalah salah Ray sendiri yang tak mengatakan apapun. Dan pada akhirnya dia yang merepotkan orang-orang disekitarnya.

"Maaf...!" Kata itu yang Rion dengar pertama kali, ketika Ray sudah berada di atas ranjang. Ia bertanya-tanya, mengapa?!

Sedangkan Nia, ia mengambil segelas air untuk Ray minum. Dengan perlahan Rion mendudukkan remaja itu, ia masih seperti seorang yang linglung, seperti kehilangan akalnya untuk beberapa saat.

Nia mengelus punggung Ray dengan lembut, membuat debaran kencang dari dadanya kembali melambat. Rasa gelisah yang ia rasa sedari tadi, kini perlahan hilang. Digantikan dengan hangat dan nyaman, seolah dua orang yang terus mengomel di sampingnya bisa melindunginya kapan saja.

"Kalau lo udah ngerasa nggak enak badan, langsung ngomong aja kenapa sih?! Gue takut tau nggak?!! Kalau aja tadi lo ketinggal jauh di belakang, terus gue nggak bisa tolongin lo gimana jadinya, hah?!!" Anak itu terus saja mengomel. Sedangkan Ray, ia tidak peduli apa yang ia katakan. Tangannya terus bergerak untuk menghilangkan mimisan yang tadi mengalir. Membuat bercaknya kemana-mana, di tangan dan bajunya. Bahkan di saat keadaan Ray yang masih belum stabil seperti ini, ia sama sekali tak melunakkan nada bicaranya. Dia memang seperti itu, jadi jangan khawatir. Bawaan dari lahir memang sulit untuk dihilangkan.

"Rion, kamu nggak liat Ray masih kaya gini?!!"

"Tapi kan ma..."

"Kalian itu ngomong apa sih?! Aku nggak bisa denger suara kalian dengan jelas tau nggak?!!!" Ray juga ikut dalam pembicaraan. Ia sudah jengah dengan perdebatan mereka.

"Aku nggak kenapa-kenapa kok. Kemarin cuma kurang tidur aja!"

"Lo kurang tidur?! Kenapa?!" Rion tak henti-hentinya menyudutkan Ray yang memang sedang tidak ingin bicara.

"Kemarin gue nggak bisa tidur, gara-gara banyak pikiran!! Ditambah lo yang nyebelin!!!!" Serunya. Untung saja pendengarannya juga membaik, jadi ia bisa membalas Rion.

"Mama langsung telpon dokter aja! Sekalian nanti suruh bawa jarum suntik sama obat tidur! Biar si kelinci ini nggak ngulangin kesalahannya lagi!!" Nia menghela nafasnya, sekaku dan sedingin dinginnya Rion, saat panik ia bisa bicara apa saja. Bahkan tanpa filter kadang. Tapi beginilah kalau ia sudah khawatir. Nia punya banyak pertanyaan untuk mereka, tentang Ray dengan keadaan nya yang seperti ini.

Seingatnya, tadi pagi dia masih sehat-sehat saja. Dan juga kemarin kata Rion, dia beristirahat dengan benar. Memang kemarin ia terlihat agak pucat, tapi hari ini dia pikir kondisi Ray sudah membaik. Tapi keadaannya malah jadi seperti ini.

Sebenarnya, ada apa dengan dirinya??

Episodes
1 Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2 Bab 2. Mereka Masih Peduli
3 Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4 Bab 4. Rean
5 Bab 5. Maaf Untuk Rean
6 Bab 6. Hari Pertama
7 Bab 7. Berteman Kembali
8 Bab 8. Siluman Kelinci
9 Bab 9. Rencana Setelah SMA
10 Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11 Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12 Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13 Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14 Bab 14. Dia Masih Peduli
15 Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16 Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17 Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18 Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19 Bab 19. Dia Alasannya
20 Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21 Bab 21. Sebuah Pertanda
22 Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23 Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24 Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25 Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26 Bab 26. Alasan Kematiannya
27 Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28 Bab 28. Candu Dalam Kelam
29 Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30 Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31 Bab 31. Akhir?
32 Bab 32. Dua Cahaya Baru
33 Bab 33. Qian Sakit
34 Bab 34. Bertemu Teman Lama
35 Bab 35. Rujak Mangga Muda
36 Bab 36. Pembantu
37 Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38 Bab 38. Ruang yang Tenang
39 Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40 Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41 Bab 41. Chandra
42 Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43 Bab 43. Bertemu Nenek
44 Bab 44. Bertemu Lagi
45 Bab 45. Kehangatan Rumah
46 Bab 46. Balkon Kamar
47 Bab 47. Ren dan Masalahnya
48 Bab 48. Takut Ditinggalkan
49 Bab 49. Keinginan Sasha
50 Bab 50. Datangnya Bencana
51 Bab 51. Tentang Kepergian
52 Epilog
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2
Bab 2. Mereka Masih Peduli
3
Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4
Bab 4. Rean
5
Bab 5. Maaf Untuk Rean
6
Bab 6. Hari Pertama
7
Bab 7. Berteman Kembali
8
Bab 8. Siluman Kelinci
9
Bab 9. Rencana Setelah SMA
10
Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11
Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12
Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13
Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14
Bab 14. Dia Masih Peduli
15
Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16
Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17
Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18
Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19
Bab 19. Dia Alasannya
20
Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21
Bab 21. Sebuah Pertanda
22
Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23
Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24
Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25
Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26
Bab 26. Alasan Kematiannya
27
Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28
Bab 28. Candu Dalam Kelam
29
Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30
Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31
Bab 31. Akhir?
32
Bab 32. Dua Cahaya Baru
33
Bab 33. Qian Sakit
34
Bab 34. Bertemu Teman Lama
35
Bab 35. Rujak Mangga Muda
36
Bab 36. Pembantu
37
Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38
Bab 38. Ruang yang Tenang
39
Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40
Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41
Bab 41. Chandra
42
Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43
Bab 43. Bertemu Nenek
44
Bab 44. Bertemu Lagi
45
Bab 45. Kehangatan Rumah
46
Bab 46. Balkon Kamar
47
Bab 47. Ren dan Masalahnya
48
Bab 48. Takut Ditinggalkan
49
Bab 49. Keinginan Sasha
50
Bab 50. Datangnya Bencana
51
Bab 51. Tentang Kepergian
52
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!