Ray terkekeh, menertawakan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
"Aku bercanda, Ayah!" kekehannya berhenti, raut wajahnya juga mulai berubah. Harapan yang muncul ketika melihat ayahnya, kini sudah kembali terpendam dalam-dalam. Ia tahu bahwa kehadirannya mengganggu ibu tirinya, tapi apakah ayahnya juga berpikir seperti itu?
"Tante Sasha punya anak?" Suaranya hampir tidak terdengar. Pandangannya kini tertuju pada luar jendela. Secepat itu sang ayah meninggalkan bundanya, hingga sekarang ia punya anak dari wanita lain.
"Anak dari Ayah?" Suaranya kembali mengisi ruang di dalam mobil. Arnold hanya diam. Fokus pada jalanan di hadapannya. Mencoba mengabaikan setiap pertanyaan Ray. Satu hal yang tidak bisa Arnold sangkal, dia dan Sasha sudah memiliki seorang anak. Anak laki-laki berumur 4 tahun bernama Renand.
"Aku mengerti kenapa waktu itu Bunda memilih untuk pergi dari Ayah!" suaranya terdengar serak.
"Karena Ayah tidak benar-benar mencintai bunda, kan?! Ayah juga tidak menyayangiku, kan?!"
"Diam atau akan Ayah turunkan di sini!" sentak Arnold. Tapi tidak di hiraukan oleh Ray.
"Ayah bercanda, kan?" suaranya menggema di telinga Arnold. Mobil itu terhenti di pinggir jalan raya. Hening menyelimuti keduanya.
"Turun sekarang!" sentak Arnold dengan nada dinginnya. Ray menghela nafas. Ray langsung membuka pintu mobil dan keluar. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, Ray berharap sang ayah akan menahannya dan menariknya kembali masuk ke mobil. Tapi harapannya kembali pupus kala Arnold sudah tidak mengatakan apa-apa, seakan menunggu Ray untuk pergi, dan ia akan melajukan mobilnya kembali.
"Terus Ray pulangnya gimana?" Tidak ada jawaban dari Arnold. Ia hanya menatap jalan di hadapannya tanpa menoleh sedikitpun pada sosok Ray yang kini sudah berdiri di luar. Perlahan, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan Ray yang mematung di sana. Tapi Ray masih menatap mobil itu berlalu, harusnya ia tau mobil itu tidak akan kembali lagi.
"Hah, kapan ayah bisa sayang sama Ray lagi?"
***
Dia tidak pergi ke jalan pulang. Tidak untuk kali ini. Biarlah mereka bingung mencari ke sana kemari. Biarlah maag nya kambuh lagi karena melewatkan makan siangnya. Biarlah semua terjadi mengikuti alurnya seperti air. Kosong. Yang ada di dalam pikirannya. Ayahnya sudah memiliki istri, anaknya sudah besar pula. Ia masih ragu, apakah keberadaannya dalam keluarga Chandra memang benar-benar diperlukan.
Ray menatap air danau yang tiba-tiba menjadi keruh. Ia mengerutkan keningnya, anak gila seperti apa yang melempari air dengan batu-batu di pinggir danau. Anak itu terlihat sangat frustasi. Tapi sekian detik berikutnya, anak di pinggir danau itu terdiam kemudian terduduk sambil memeluk lututnya. Ray terus memperhatikan anak itu, sepertinya dia mengenal sosok di pinggir danau tersebut. Langkahnya semakin cepat ketika ia yakin, anak di pinggir danau itu adalah orang yang ia kenal.
"REAN!" Teriak Ray pada sosok anak remaja yang kini menoleh ke arah Ray.
"Kak Ray ...." lirihnya sambil mengangkat wajahnya. Merasakan pelukan Ray yang terasa hangat. Ray tau betul siapa anak di hadapannya ini. Dia adalah Rean. Salah satu anak panti yang sangat dekat dengannya. Anak remaja yang lebih muda 2 tahun darinya.
"Kamu ngapain di sini?! Ini belum jam pulang! Kenapa sudah di luar, hah?!" Pertanyaan beruntun yang Ray lontarkan hanya mendapat jawaban berupa dehaman.
"Kak, maafin Rean, ya? Pasti Kakak pergi karena Rean suka ngrepotin Kakak, kan?" Ray melepaskan pelukannya. Ia duduk di samping Rean dan menatapnya dengan lembut.
"Aku tidak pernah direpotkan olehmu. Kamu adikku, kenapa harus merasa direpotkan?" Ray tersenyum untuk menghibur Rean.
"Aku bukan adik kandungmu ...."
"Kamu bicara apa sih? Ayo katakan pada ku, kenapa kamu kemari, hah? Tidak takut dihukum?"
"Ayo katakan padaku, apa yang terjadi denganmu?" Ray terus mendesak Rean. Remaja itu hanya diam. Lantas ia menatap danau yang kini tenang.
"Kakak juga ngapain di sini? Bukannya Kakak sudah sama keluarga Kakak?" Keluarga?! Ray diam sejenak. Membiarkan pikirannya bergelayut di antara banyaknya persoalan lain.
"Kamu juga keluarga Kakak, jangan mengalihkan topik! Cepat jawab!" Rean hanya diam. Ia menghindari tatapan Ray yang sedari tadi terus mengintimidasi. Berusaha untuk mencari jawaban yang ia inginkan dari sosok Rean.
"Kamu dibully lagi, ya?" Rean kembali diam. Diamnya Rean adalah pertanyaan, ada yang berusaha untuk membungkamnya. Mungkin saja anak itu telah diperas, ditindas atau segala macam bentuk pembullyan lainnya. Dari dulu Ray bertanya-tanya, sebenarnya siapa sosok yang membuat Rean menjadi seperti ini.
"Samuel ...." lirihnya. Samuel? Samuel yang mana? Ada begitu banyak Samuel di kehidupannya. Tapi Ray meyakinkan hatinya bahwa yang Rean maksud bukanlah Samuel adik dari Shan. Semoga saja bukan.
"Samuel?"
"Bukan Samuel ... tapi teman-temannya!"
"Apa yang mereka lakukan padamu?"
Rean kembali diam. Jika waktu yang ia punya saat ini ia gunakan untuk mengais jawaban dari Rean, maka ia tak akan mendapatkannya. Bukan hanya sosok Rean yang kokoh, tapi ia juga tidak menginginkan kenyataan bahwa apa yang ada di dalam pikirannya memang benar adanya.
"Yang kamu maksud Samuel itu ... bukan Samuel Chandra Aditya, kan?" Rean menatap Ray lekat. Sesaat kemudian, Rean mengangguk pelan lalu mengatakan,
"Iya." Ray menghela nafas. Ia harus berurusan dengan pembullyan Rean dan juga melibatkan adik sepupunya yang sangat ia percayai. Ray menarik nafas dalam-dalam, ketika merasakan angin menerpa wajahnya. Ia baru saja keluar dari rumah sakit, diturunkan ayahnya di jalanan, dan kini ia harus mengurusi Rean dengan kasus pembullyan yang melibatkan Sam. Sungguh dramatis sekali kehidupannya hari ini.
"Maaf, aku tidak bawa uang untuk membelikanmu makanan."
"Aku tidak lapar." Rean berucap datar, sambil menatap danau di hadapannya.
"Kamu jangan seperti ini! Kakak akan membantumu keluar dari masalah ini!"
"Kakak mau melakukan apa?"
"Aku? Jadi kamu tidak percaya dengan Rayyan Chandra Arrega?! Siapa kamu berani-beraninya meremehkan kemampuan bicara Rayyan, si speaker sumbar?!" Rean terkekeh mendengarkan kalimat Ray. Ray memang sangat bisa menghibur seseorang. Ray ikut tersenyum melihat Rean. Yang bisa ia lakukan kini adalah menghibur Rean dengan kata-katanya. Kata yang keluar dari mulut Ray adalah penenang, seperti candu yang membuat setiap orang selalu ingin kembali mendengarkan suaranya.
***
Samuel berkali-kali memeriksa jam di tangannya. Ini sudah sore, dan dia masih saja ada di lapangan basket. Entah kenapa, hari ini teman-temannya memaksa Sam untuk tinggal lebih lama. Padahal ia sudah tidak tahan ingin melihat kondisi kakak sepupunya yang hari ini seharusnya sudah pulang dari rumah sakit. Ia sempat khawatir karena kakeknya menyuruh Arnold, ayah Ray dan juga sebagai paman Sam untuk menjemput kakaknya itu. Bukan karena hal lain, tapi melihat sikap Arnold terhadap Ray membuatnya tidak percaya sepenuhnya pada pamannya yang satu itu, ketahuilah Arnold itu berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain.
"Lo ngapain bengong aja di pinggir lapangan?" Suara Dion membuat lamunan Sam seketika hilang. Dion berjalan kearahnya dan duduk di samping Sam.
"Hari ini, gue bisa nggak pulang awal? Ada urusan soalnya."
"Ya elah, lo nggak asik banget sih!! Urusan apa sampai-sampai lo belain buat motong jadwal main kita?!"
"Heh, inget, ya? Jadwal latihan kita cuma sampai jam setengah empat. Dan ini udah lewat lama banget!"
"Gue nggak ngomong soal jadwal latihan, gue ngomong soal jadwal main kita!"
"Ya udahlah! Gue pulang dulu!" Sam beranjak dari tempatnya. Dan Dion masih berada di sana dengan menghela nafas.
"Loh, Rean! Ngapain ke sini? Belum pulang?" Sam terkejut melihat kedatangan Rean, ia menatap remaja yang baru saja datang itu dengan lekat. Rean menghindari tatapan mata Sam yang mencari celah untuknya kembali bertanya.
"Aku ... aku ... aku mau ambil tas ...." suaranya terbata.
"Tas?"
"Tas apa maksud lo?" Dion datang menghampiri keduanya. Rean hanya menatap remaja itu dengan tatapan tidak suka.
"Di mana tasku?" Dion menatap Rean, kemudian tersenyum remeh.
"Maksud lo?! Gue nyimpen tas lo yang murahan itu?! Tas buluk kaya gitu, cocoknya buat keset di depan rumah, tahu nggak?!" Sam menatap tajam Dion.
"Ngomong apaan sih lo, Yon? Nggak usah gitu ngapa sih?!" Dion memutar bola matanya mendengar kalimat Sam.
"Aku cuma mau tasku!" Lirih Rean sambil menunduk dalam-dalam.
"Hei hei, ucapan Dion jangan dimasukin hati ya? Dia emang gitu orangnya! Maafin ya? Yon, cepetan minta maaf!" Dion kembali memutar bola matanya.
"Gue?! Maaf ke dia?! Nggak salah lo?!" Beberapa teman Dion dan Sam yang tadinya sibuk dengan benda bernama bola basket, kini juga menghentikan kegiatannya. Mulai menghampiri mereka.
"Ini ada apa sih?"
"Ini, bocah panti minta tasnya ke kita!" Mereka tersenyum sinis ke arah Rean. Rean masih berdiri di hadapan anak-anak basket itu.
"Emangnya tadi kamu tinggal di mana tasnya?" Sam bertanya baik-baik. Ia tak mendapat jawaban. Rean menatap teman-teman Sam dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Emang kalau anak nggak tahu diri ya gitu! Emang kita ini siapa, ngambil tas lo yang buluk and kucel itu?! Nggak ada yang mau tas kaya begitu! Isinya lagian bukan emas batang 24 karat dilapisi berlian!" ejek Nial. Mereka tertawa kecuali Sam yang menatap mereka tidak suka. Tanpa sadar langkah seseorang mendekati mereka. Menampakkan wajah datar dengan tatapan tajamnya.
"Jadi mereka yang bully kamu, Yan?!"
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Helmi Sintya Junaedi
sempet kehilangan novel ini karna ganti HP,,, cari2 g ketemu padahal ud ketik judul nya....
eh othor nimbul lagi....
lanjutkan thorrr💪💪💪
2023-08-04
1