Satu-satunya hal yang orang butuhkan ketika lelah adalah istirahat. Lelah karena kerja, atau untuk mereka yang memang sedang ditekan oleh dunia. Banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa lelah bisa membuat seorang menyerah. Berakhir dengan gagal yang mereka ciptakan sendiri dari labirin yang berusaha mempermainkan pikiran.
"Kalau Rayyan sudah lelah, Rayyan boleh istirahat kok. Yang penting jangan terlalu memaksakan diri ya?! Bunda khawatir banget kalau Rayyan sampai sakit!"
Suara itu sering sekali ia dengar dari mulut bundanya. Ketika ia berusaha untuk melakukan lebih, atau menjadi yang terbaik di kelas. Raina tidak pernah menuntut Ray jadi juara pertama. Ia hanya tak ingin Ray memaksakan diri sampai belajar hingga tengah malam. Kemudian keesokan harinya bangun lebih awal dan sibuk kembali dengan belajar. Anaknya sudah cukup mendapat tekanan karena pertengkarannya dengan Arnold. Ia tidak ingin mengubah masa kecilnya menjadi lebih suram.
Tapi bukanlah Ray jika ia masih belum bisa membuat bundanya bangga. Ia akan tetap berusaha. Dan sayangnya satu-satunya orang yang ingin di banggakan telah tiada. Tenggelam oleh bumi untuk selamanya. Tidak akan ada yang bisa mengubah itu semua. Walaupun keinginannya adalah menghadirkan senyum yang selama ini ia damba. Tidak akan pernah bisa.
Dia membuka matanya, perasaannya jadi lebih baik setelah tidur dalam waktu yang lama. Bahkan sekarang, jam dinding itu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sudah waktu yang cukup siang untuk seorang baru bangun dari tidur, tapi ia benar-benar butuh mengistirahatkan pikirannya.
Moodnya lebih baik kali ini, tinggal seorang diri bukanlah hal yang buruk. Setidaknya ia bisa menenangkan diri.
Satu senyum terukir di bibir tipisnya. Satu hal yang beberapa waktu terakhir ia lupa, bahwa di setiap paginya senyum adalah hal yang cukup bagus untuk memulai hari. Suatu yang selalu bundanya minta ketika anak itu sedang dalam mood yang buruk. Tersenyum dan membuat orang lain tertawa akan membuat hari menjadi lebih indah. Hal-hal positif datang dengan tiba-tiba. Dan semua akan berjalan dengan semestinya. Cukup sederhana untuk ia lakukan. Tapi, Ray bukanlah anak kecil lagi. Hal baik tidak akan datang setiap waktu. Hal sebaliknya bahkan datang tanpa diduga. Tapi senyum adalah hal paling menawan yang pernah ia lihat dari bundanya.
Setidaknya ia ingin melakukan hal sama seperti yang dilakukan Raina. Karena itu menunjukkan bahwa ia benar-benar anaknya. Anak seorang Raina yang penuh senyum hangat dan tawa. Bukan anak dari Arnold yang penuh dengan rahasia dan kehidupan yang suram.
Ray melangkah mendekati meja makan. Ia membereskan makanan yang ia makan tadi pagi.
"Sepi juga tinggal sendiri. Kak Shan sama yang lain nggak bakal kesini ya?!" Suaranya terdengar menggema di seisi ruangan. Bahkan beberapa detik setelahnya, ia masih bisa mendengar pantulan suaranya. Hening yang menjadi jeda dari kegiatannya, membuat suara-suara dari luar dapat ia dengar dengan jelasnya. Suara burung berkicau, atau suara kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan. Termasuk...
Suara derap langkah kaki yang ia dengar dari luar. Ray terlonjak, menata pintu. Beberapa orang datang dengan tergesa, berdiri di ambang pintu dengan tatapan sangar mereka.
Mereka semua datang. Kecuali Rion.
"Hehe, kak...kalian kok bisa di sini?! Tiba-tiba banget, nggak bilang juga. Ada apa nih?! Mau arisan atau mau beliin gue jajan segudang?!"
Iya tau. Itu Ray, orang yang nggak tau waktu untuk menggumulkan candanya. Bahkan lima orang yang sudah masuk ke dalam apartemen itu sudah menunjukkan tatapan garangnya. Berbeda dengan ia yang masih menunjukkan sederet gigi putih miliknya.
"Lo jangan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa!" Suara Shan terdengar dingin di telinga Ray.
"Lo nggak takut di sini sendiri?! Kita itu khawatir sama lo! Tiba-tiba aja di rumah nggak ada, bayangin aja gimana paniknya kita!!" ~ Kensie
"Lo lupa ya?! Kita janjian di persimpangan kamu merah dekat sekolah?! Kita di sana sampai jamuran tau nggak?!!" ~ Sean
"Bener banget, kak Ray lupa sama kita?! Liat aja ini si gembul udah jadi kurus gara-gara kurang nutrisi!" Sam menunjuk Karel.
"Apa lo?! Mau ribut lagi sama gue?! Pokoknya gue nggak mau tau, pokoknya gue harus dapat makanan sampai cacing di perut gue kenyang!" Karel sudah duduk di depan meja makan.
"Lo ngapain masih di situ?! Cepetan, gue laper!!"
Ray menghela nafasnya. Dalam hitungan detik apartemen ini jadi lebih ramai daripada rumahnya.
...***...
Rumah terasa sepi, bahkan kamarnya terasa hampa. Ada sedikit sesal ketika Rion kembali mengingat perdebatannya dengan Ray. Bukan Ray yang salah jika ia memutuskan untuk pergi. Hanya saja Rion lah yang tidak mau mengerti. Ia tak tau bagaimana rasanya jadi seperti Ray. Yang ia pikirkan ketika Ray pergi adalah dunianya yang kembali suram diisi dengan berbagai hal membosankan. Dan menunggu untuk waktu yang lama kemudian dijatuhkan dengan kepergiannya yang tiba-tiba.
Rion masihlah anak berusia 16 tahun yang beberapa waktu lagi akan naik ke kelas XI. Ia hanya ingin menjadi egois untuk beberapa waktu saja. Tidak salah kan?!
Tapi kenapa hal yang seharusnya ia cegah menjadi tambah runyam?!
Rion menatap luar jendela, hari ini terlihat cerah. Biasanya dia dan yang lainnya akan pergi dengan yang lain. Tapi, ia tau benar bahwa sepupu-sepupunya sudah bersama Ray saat ini. Ketika Shan dan Kensie mengajaknya, ia hanya diam. Bahkan tak membukakan pintu kamar dan tetap dengan bisunya.
Apakah dia merasa bersalah atau apa?!
Padahal Ray menangis sedemikian kencang dialah alasannya. Jika saja i bicara dengan nada yang agak pelan dengan Ray. Ini semua tidak akan terjadi. Ray tidak salah, dia memang terlahir peka.
Jadi mungkin saja hubungan keduanya akan baik-baik saja ketika ia mencoba untuk meminta maaf.
Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali dengan maaf, karena setelahnya ia sudah bersiap untuk pergi mendatangi Ray.
...***...
Sebelumnya, Karen sudah memberitahu Rion alamat apartemen yang ditinggali Ray. Dan kini Rion hanya berdiri memandangi sebuah apartemen yang ia yakini di tinggali oleh Ray.
Yang mengherankan adalah ketika ia menemukan sebuah mobil hitam milik Arnold yang terparkir di depan bangunan itu. Bukannya Shan dan yang lainnya bersama dengan Ray?! Ia menetralkan pikirannya. Setidaknya, Arnold tidak akan berbuat macam-macam dengan Ray. Walaupun setidaknya ia tak ingin berfikir seperti itu.
Mungkin saja, Arnold kemari untuk menjenguk Ray. Walaupun, Rion rasa itu tidak mungkin.
Ini sudah malam, Rion sebenarnya penasaran apa yang Arnold lakukan di sini?! Ia lebih suka untuk memastikan sendiri apa yang terjadi daripada berspekulasi tanpa ada kejelasan bukti.
Tak lama seorang melangkah pergi dari bangunan itu. Melangkah dengan tenang seolah ia telah menyelesaikan masalah yang menjadi beban pikirannya. Tapi ada yang janggal di sana. Rion tidak mau bertanya mengapa karena Arnold sudah pergi dari sana. Melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Ada sesuatu yang membuat Rion berlari masuk kedalam bangunan itu. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana dan apa alasannya melakukan hal ini hanya demi seorang anak yang umurnya sama dengannya. Ia akan berhenti khawatir jika ia sudah melihat Ray tersenyum dengan tingkahnya yang menjengkelkan.
Buru-buru membuka pintu apartemen yang ia yakini Ray ada di dalamnya. Ketika pintu terbuka, semua lampu menyala. Tidak ada yang aneh darinya tidak ada barang-barang berserakan atau pecahan kaca yang biasanya akibat dari perkelahian seseorang.
Yang janggal adalah, jika saja Ray baik-baik saja, dia tidak akan setenang ini. Bahkan Rion belum bisa melihat batang hidungnya. Ia segera masuk kedalamnya mencari remaja bergigi kelinci yang cerewetnya melebihi mamanya.
Ia terpaku pada seorang yang duduk di pojok ruangan. Dengan wajah pucat dan tubuh yang bergetar hebat. Tatapan matanya terlihat nanar menatap balkon putih yang terlihat hampa.
Rion berlari sekencang yang ia bisa. Menghampiri Ray yang duduk dengan panik yang terukir jelas di wajahnya.
Rion terkejut ketika ukuran tangannya ditangkis begitu saja. Seolah Ray benar-benar tidak bisa melihat siapa orang di hadapannya. Nafas Ray terasa berat, padahal ia tidak memiliki riwayat asma. Apa yang terjadi dengannya hingga ia terlihat begitu panik?!
"Ray...ini gue!!" Tapi uluran tangan itu kembali Ray tangkis. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya mulai meleleh. Dan gigi-giginya bertaut hingga Rion bisa mendengar suara gemletuknya.
"Ray sadar!!! Ini gue...!! Lo kenapa?!" Tapi hal itu hanya sia-sia. Sosok di hadapannya masih dalam kondisi yang sama.
Ia tak bisa berfikir apa-apa. Bahkan ia begitu panik ketika melihat Ray dalam keadaan yang tak semestinya. Dan sekarang satu-satunya yang ia pikirkan adalah membuatnya kembali sadar. Pelukan erat yang membuat tubuh kecil itu kesulitan untuk bernafas. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan, memeluknya tanpa peduli sosok itu memukuli bahunya dengan keras. Disertai isak tangis yang membuatnya semakin sadar bahwa Ray memang tidak baik-baik saja.
Semakin lama pukulannya semakin lemah. Hingga tangannya benar-benar berhenti melakukan apapun.
"Ray...tenang! Nggak akan terjadi apa-apa...lo bakal aman sama gue! Gue janji nggak akan pernah tinggalin lo sendiri!" Hanya itu yang bisa ia katakan. Karena setelahnya, ia memang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Lo marah sama gue!! Semua orang berantem gara-gara gue! Tante Sasha nggak suka sama gue... Dan sekarang Ayah emang bener-bener nggak pengen gue ada lagi..." Suaranya menggema di seisi ruangan.
"Gue capek! Gue nggak mau jadi beban orang lain! Tapi, saat gue mau pergi lo bilang gue egois! Sekarang gue tanya sama lo, siapa yang egois di sini?!"
Tatapan mata Ray berbeda dengan yang biasanya. Dia bukan lagi Ray yang cerewet dan banyak tingkah. Karena di sini, dia tau bahwa Ray yang sesungguhnya penuh dengan luka tak kasap mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments