Tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamar bercat putih tersebut. Hanya suara pulpen yang ujungnya terus bergerak di atas sebuah kertas. Kali ini Rion habiskan malamnya untuk menyelesaikan tugas dari sekolah. Sudah beberapa jam, ia berkutat dengan buku-buku tebal, namun sekarang mulai jengah dengan pemandangan di depan mata.
Rion meregangkan tubuhnya. Kemudian pikirannya jatuh pada beberapa waktu yang lalu, ketika orang-orang di rumahnya berdebat dengan sang kakek. Dan mengatasnamakan Ray sebagai objek pertengkaran mereka. Rion tau semuanya, maka dia hanya diam daripada memantik api yang lebih besar. Untunglah, sepertinya Shan dan Sam tidak mendengar pertengkaran tersebut karena masih berada di luar rumah. Entah sedang melakukan apa. Tapi, jika keduanya tau bahwa objek perdebatan orang-orang di rumah adalah Ray, ia tak yakin rumahnya masih utuh.
Karena ia tau, mereka itu agresif. Sedikit berlebihan kadang untuk masalah kecil pun. Apalagi kalau sudah menyangkut Ray.
Sebenarnya Rion lebih suka Ray yang selalu cerewet dan banyak bicara. Karena dengan begitu, ia bisa tau bahwa Ray baik-baik saja. Tapi semakin dewasa, Ray semakin pandai menutupi apa yang ia rasa. Hingga ia tak bisa membedakan warna yang Ray pancarkan. Tidak mungkin ia baik-baik saja ketika menjadi objek pertengkaran orang-orang di sekitarnya.
"Rionaaa!"
Panjang umur sekali si Ray. Bahkan saat ini Rion masih memikirkan anak itu, tenyata dia datang dengan sendirinya. Dan suaranya kali ini terdengar sangat menyebalkan. Langkah Rion terasa berat, apa yang akan ia lakukan dengan anak pendek di depan pintunya?! Lihat saja nanti!
Rion membuka pintu, dan terlihatlah senyum lebar remaja yang tengah membawa setumpuk buku di hadapannya.
"Mau apa?!"
Hah, Ray terlalu sering mendengar pertanyaan yang singkat seperti itu. Ia butuh sesuatu yang di hiasi opini dan terdengar sedikit panjang daripada biasanya.
"Ya ampun, Rion! Coba deh juteknya di kurangin sedikit, pasti banyak cewek yang nempel sama kamu!"
Rion menghela nafas. Jika kalian bertanya mengapa, itu karena anak di hadapannya yang masuk ke dalam kamarnya begitu saja, tanpa ia persilahkan. Tidak pernah ada orang yang ia ijinkan masuk kedalam kamarnya. Kecuali dalam keadaan tertentu.
"Mau ngapain?!" Setelah ia menutup pintu, entah kenapa rasa kesal yang ia pendam beberapa detik lalu hilang. Ketika ia melihat Ray yang duduk di pinggir ranjangnya.
"Riona, aku sudah bilang kalau sikap dinginmu itu perlu di rubah. Nggak akan ada orang yang suka dengan tatapanmu yang tajam dan menikam. Bukan apa-apa, tapi alangkah baiknya kalau kamu sering senyum apalagi sama aku!"
"Gue masih normal, gak sudi gue senyum-senyum apalagi sama lo!"
Remaja itu masih saja mengomel tidak jelas tentang Rion yang seperti es batu atau patung hidup. Tapi tatapan matanya terlihat sayu, bahkan Rion bisa menangkap bahwa Ray sedang mengenakan topengnya.
"Untuk yang ke tiga kali ya, gue tanya lo mau apa?!" Ray malah terkekeh. Kemudian suaranya berhenti begitu saja. Membiarkan jeda diantaranya terisi dengan senyapnya malam.
"Aku mau belajar bareng!" Suaranya terdengar sendu. Tapi senyum itu mampu menutupinya dengan baik.
"Gue nggak bisa belajar kalau bareng-bareng. Lo belajar sendiri aja!" Rion kembali duduk di depan meja belajarnya. Dan mulai membolak-balikkan buku tebal di hadapannya. Tanpa sadar suara Ray tak kembali menghiasi ruangan. Nyatanya, walaupun Rion berusaha acuh, ia bahkan tak bisa membaca dengan benar.karena ia tau, bahwa anak remaja di belakangnya sedang menutupi rasa sakitnya dengan berpura-pura menjadi seorang yang menyebalkan.
"Rion..." Agaknya Ray sengaja membuat Rion untuk mengatensikan pendengarannya pada kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Lo kenapa nggak bilang apa apa?! Gue kaya orang bodoh yang nggak pernah di beri kesempatan untuk tau apa-apa. Karena semua masalah yang ada di biarkan begitu saja tanpa gue tau kalau lo nggak baik-baik aja. Gue bosen denger ocehan lo!"
Berhenti disana. Rion jarang menggunakan nada setegas ini pada seseorang. Dan ia menyesal mengatakan itu pada Ray, karena setelahnya Rion tak mendengar apa apa. Buku yang anak itu bawa hanya ia gunakan sebagai pajangan di dekat tubuhnya. Kini dia berbaring membelakangi Rion yang masih duduk di depan meja belajar.
"Aku tau kok, pasti semua orang juga udah mulai bosen." Rion menggigit bibirnya. Entah kenapa suara itu membuat Rion bergetar, dan takut untuk kembali mendengar apa yang Ray katakan.
"Aku akan pergi..." Sebelum Ray menyelesaikan kalimatnya, Rion mendorong kursi yang didudukinya. Menimbulkan suara keras, yang mungkin saja Ray juga terkejut akan hal itu. Tatapannya beratensi pada remaja di atas ranjang tersebut.
"Lo ngomong apa?!! Pergi?! Nggak usah ngomong nggak jelas. Selama ini gue udah sabar buat dengerin setiap ocehan lo yang bener bener nggak ada gunanya, dan sekarang lo milih buat pergi gitu aja?!" Ray masih belum berbalik. Tapi Rion sudah tidak bisa menahan apa yang ia rasa. Sedangkan Ray, ia masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan menunjukkan wajahnya pun tidak. Rion tidak tau, Ray mati-matian menahan air matanya. Tapi tetap saja bulir bening itu meluruh. Ia tak ingin kelihatan lemah di hadapan Rion. Karena itu ia gunakan baju lengan panjangnya untuk menutupi mata, agar Rion tak mengetahui bahwa sebenarnya ia tengah terluka.
"Kenapa lo diem aja?! Selama ini gue udah tungguin lo 5 tahun lamanya, dan sekarang lo mau pergi lagi?!! Lo nggak mikirin kita, lo nggak mikirin kak Shan, Kak Kensie sama yang lain!! Tolong kali ini jangan egois!!"
"Aku nggak egois!!!" Suara serak itu membuat Rion terdiam. Dan menyadari, bahwa anak remaja itu tidaklah baik-baik saja.
"Dengan aku pergi, semua orang akan baik-baik saja. Mereka nggak akan bertengkar. Ayah dan tante Sasha akan damai, dan Renand mendapat kasih sayang orang tua seperti anak pada umumnya." Rion berdecak.
"Lo mau pergi ke mana?! Lo nggak punya tempat selain di rumah ini! Nggak mungkin kan lo balik ke panti asuhan?!" Ray bangkit dari tempatnya. Matanya merah, walaupun tidak ada air di sana Rion tau bahwa anak itu baru sja menangis.
"Kamu sadar nggak sih?! Di sini aku udah nggak punya tempat!"
"Terus gue lo anggap apa?! Kak Shan, kak Kensie, Sam, Karel sama kak Sean?!!! Lo kalau ngomong pakek otak!!" Ray diam.
"Terus, aku harus tetap di sini?!! Membuat semua orang bertengkar, dan membuat Renand menjadi anak bermasalah, itu yang kamu anggap benar?!!"
"Lo nggak boleh pergi...Lo mau pergi kemana?!"
"Ya pergi aja!"
"Iya tau, lo mau pergi kemana?!!"
"KETEMPAT DIMANA AKU NGGAK BISA KETEMU KALIAN!!!"
...***...
Ray sebenarnya takut untuk masuk ke dalam pintu di hadapannya. Banyak pikiran-pikiran buruk yang mulai hinggap, dan tanpa sadar udara di sekitarnya kini juga makin pengap. Ia terlalu gugup untuk menghadapi orang di dalamnya. Tapi, ada hal yang membuat rasa takutnya hilang. Pintu itu mulai terbuka ketika beberapa detik yang lalu Ray ketuk pintunya tiga kali.
"Ray, ada urusan apa?!" Ray, menautkan jari-jarinya. Dan akhirnya ia berani untuk kembali menatap Karen yang mulai bertanya-tanya.
"Om, Ray boleh masuk?!" Sebenarnya saat ini ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tidak akan ada ruginya jika dia mengiyakan pertanyaan Ray.
"Silahkan masuk."
Langkah Ray terasa sangat berat. Apalagi ketika Karen mengikutinya dari belakang.
"Ray, duduklah!" Ray duduk pada sofa yang ada di sana. Dan keduanya berakhir dengan canggung dengan jeda yang cukup lama.
"Kamu mau bicara apa?! Kelihatannya sangat penting, hm?!" Ray menghela nafas.
"Om, maaf Ray ganggu waktu om. Saat ini om sibuk ya?!"
"Nggak kok, semuanya udah selesai. Kita bisa bicara untuk waktu yang lama!" Ray menghela nafas sekali lagi. Kalau boleh jujur, ia tak mau bicara dengan Karen lebih lama dari 10 menit. Karena percakapan dengan Karen akan membuat tenaganya terkuras habis. Memilih kata-kata yang tepat agar tak terjadi kesalahan sedikitpun.
"Ray mau ngomong sesuatu..."
"Ngomong aja!"
"Ray mau pergi!" Tiga kata itu membuat Karen terpaku. Karen tidak bisa memikirkan hal-hal yang positif jika melihat Ray dengan wajah pucat, lesu dan mata yang sayu. Apa yang di pikirkan Ray?!
"Tunggu tunggu! Ray, kali ini bicara serius! Om nggak mau bercanda!"
"Emang yang tadi itu kurang serius?!"
Karen menghembuskan nafasnya, kemudian mengusap wajah. Di benaknya, Ray hanyalah seorang anak-anak yang belum mengerti keadaan. Masih labil dengan emosi dan amarahnya yang meluap-luap.
"Kenapa tiba-tiba?!"
"Ray udah gede om, bukan anak kecil lagi! Ray udah ngerti apa yang namanya masalah dan solusi!"
"Sejauh mana kamu tau?!"
"Hampir semuanya...mungkin!" Karen mendekat pada Ray, ia memang seorang yang tegas. Apalagi untuk anak-anaknya sendiri. Tapi setegas tegasnya dia, dia masihlah seorang manusia dengan hati nurani. Ia memegang pundak Ray, sebelum mengatakan hal yang belum pernah ia katakan pada Karel dan Kensie.
"Kamu nggak boleh menyerah, ini bukan salahmu. Semuanya akan baik-baik saja!"
"Tapi Ray tetep mau pergi!"
"Kamu mau pergi kemana?!!!"
"Ray tau, Ray itu anak yang merepotkan. Tapi kali ini, Ray minta banget sama om Karen..." Suaranya terputus sebelum ia kembali melanjutkan kalimatnya.
"Ray mau pergi, ketempat di mana Ray nggak bisa bertemu kalian lagi!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments