Berulang kali remaja ramping itu menghela nafas. Entah kenapa oksigen susah sekali mengalir di rongga dadanya. Padahal ia sudah pastikan kondisi kesehatannya sangatlah bagus kali ini. Namun, ia baru sadar, udara sesak ini berasal dari 5 orang laki-laki dengan tubuh tinggi yang berjalan mengelilinginya. Siapa lagi kalau bukan empat kakak dan adik sepupunya.
Bukannya apa-apa, tapi sekedar mengingatkan. Ray tidak suka tatapan mata semua orang beratensi pada mereka. Bukan lagi hal yang umum, karena 5 orang itu kini seolah menjaga Ray dari segala sisi. Dia bukanlah seorang presiden. Dia hanyalah seorang remaja yang baru saja datang ke keluarga Chandra.
"Kak, aku mau pergi ke kelas sendiri boleh nggak?!" Akhirnya suara itu mampu membuat semua orang-orang Chandra ini menoleh padanya. Semua langkah terhenti bersamaan dengan tatapan Shan yang mulai menghakimi.
"Kamu mau kemana?! Kelasmu sama dengan Rion dan Karel, please nurut aja kali ini sama abang-abangmu yang cakep ini!" Shan memang peduli, sangat malah. Tapi Ray juga lelah dengan tatapan orang-orang yang mulai membuatnya gelisah.
"Kalian itu jangan mencolok kenapa sih?!! Ray kan nggak suka kalau orang-orang liatin kita kaya liat acara fashion show!" Ray mulai menggembungkan pipinya. Lucu sekali memang kalau sudah merasa kesal. Shan mencubit pipinya, kemudian merangkulnya tanpa mendengarkan setiap ocehan Ray.
"Apaan lo liatin adek gue, iri ya?!!" Sentaknya pada seorang yang terus memperhatikan kedekatan mereka. Iri memang, siapa sih yang nggak mau di rangkul dan di kelilingi cowok secakep tuan muda keluarga Chandra?!
Langkah mereka terus melangkah diantara bangunan-bangunan megah yang berdiri di sana-sini. Dan akhirnya setelah penantian Ray yang panjang, begitupun dengan langkah mereka yang seakan tanpa jeda. Mereka sampai disebuah ruangan yang notabenenya adalah kelas yang akan Ray tempati.
Tapi tunggu dulu, ada yang aneh. Bukankah mereka punya tempat dan kelas masing-masing?! Kenapa mengikuti Ray ke kelas barunya?!
"Kalian ngapain ikutin Ray ke sini?!"
"Ya mau liat kamu masuk lah, sebagai kakak kita harus jaga adeknya sebaik mungkin kan?!"
"Ya udah, Ray masuk! Kalian cepetan pergi, bentar lagi bel masuk!" Ray memasuki kelas itu. Hanya senyuman yang bisa mereka umbar pada Ray dan dua orang yang mengikutinya dari belakang. Kemudian semuanya berjalan menjauh menuju tempat mereka masing-masing.
Didalam sana, Ray memandangi seluruh isi kelas. Kiranya dimana ia akan duduk. Karel sudah duduk di mejanya, tepatnya dibangku paling depan. Kakinya hanya bingung, ia masih memilih tempat yang membuatnya berlabuh.
"Bangkumu ada di samping mejaku!" Kata Rion dengan datar sambil melangkah mendahului nya. Ia lupa, bahwa saudaranya yang satu ini adalah titisan tembok usang belakang rumahnya. Sikap dingin dan datar Rion memang seirama dengan latar belakang keluarga Chandra, walaupun dulu dunianya sedikit berwarna karena persaudaraannya dengan seorang bernama Rayyan Chandra Arrega. Sebelum dia memilih untuk pergi bersama sang bunda yang kecewa akan ayahnya, dan dunianya kembali kelabu seperti sediakala.
Hadirnya seorang Ray tentu saja akan mengubah setiap tindak-tanduk nya. Tunggu saja beberapa saat lagi, tawa seorang Rion yang belum pernah terumbar oleh dunia akan menjadi atensi seluruh manusia yang ada di sana.
"Rion! Rion!!" Panggil Ray dengan berbisik. Tapi laki-laki itu masih tetap pada tempatnya, dan memilih untuk melanjutkan menonton film aksi yang ia putar dari ponselnya.
"Rion! Riona!"
Stop disana, siapa yang bisa memanggil Rionald Chandra Arrizco dengan kata yang paling dibencinya?! Siapa lagi kalau bukan Ray. Detik itu juga, Rion mematikan ponselnya. Dan mengalihkan pandangan pada remaja yang dua bulan lebih tua darinya, tapi lebih muda daripada kelihatannya.
"Gue benci panggilan itu, panggil gue kaya biasa aja!" Katanya dengan tiba-tiba. Tapi Rion hanya tergelak melihat tingkahnya. Dengan mudah ia bisa mengekspresikan apa yang ia rasa ketika jauh dari lingkungan keluarga. Mungkin itulah yang membuat tuan muda keluarga Chandra lebih memilih untuk lebih lama berada di luar.
"Hahaha, lagian kamu kalau di sekolah diem kaya patung hidup tahu nggak?!"
"Nggak, kenapa emang?! Lagian, gue di sekolah atau di rumah pun juga bakalan sama. Ini gue!"
"Iya, tahu kok. Ini itu tuan muda Rionald yang cool nya kaya batu berjamur, kan?!"
"Lo ngomong sekali lagi, ucapin salam sama calon batu nisan lo!" Tapi peringatan itu hanya di tanggapi dengan kekehan. Bagaimanapun, Ray tahu betul sifat Rionald. Ia hanya memancing remaja tersebut agar bisa tersenyum seperti bertahun-tahun lalu. Ray tahu, dinding yang selama ini Rion bangun tinggi-tinggi, hanya untuk melindungi diri. Entah itu dari mereka yang hanya menginginkan eksistensi, atau mereka yang punya niat tersendiri. Ray, tahu semua hal yang membuat saudaranya seperti ini. Dan salah satunya adalah sorotan dari dunia tentang latar belakang keluarga mereka.
Banyak yang bilang tuan muda keluarga Chandra itu terlalu beruntung. Dari memiliki tampang rupawan, apalagi soal kekayaan. Jangan ditanyakan.
Ada jeda cukup lama di antara keduanya. Sebelum Ray kembali bertanya dengan nada menyebalkan dan membuat orang di sekelilingnya geleng-geleng kepala.
"Rion, nanti ayo beli ice cream?!"
"Gak!'
"Ayolah, aku udah lama banget nggak makan yang manis-manis. Setiap hari malah disuguhi pahit-pahitan kaya wajah kamu!" Beberapa orang terkekeh mendengar Ray, tapi kemudian kembali senyap ketika Rion menatap mereka dengan tatapan tajamnya.
"Kamu pasti nggak punya teman ya?" Rion yang sudah kembali menghidupkan ponselnya beberapa detik yang lalu, mulai jengah dengan pertanyaan Ray.
"Silahkan tanya Karel, kak Kensie, dan yang lainnya. Tanya apa mereka bernasib sama?!"
"Rion jangan ngambek dong! Aku kan cuman tanya, toh aku juga belum punya temen. Jadi kita juga sama sama nggak punya temen. Tapi kamu mau nggak temenan sama Ray ini?!"
Rion hanya diam, mengabaikan semua kata yang Rayyan berikan. Ray menyerah, biarlah ia terabaikan tapi jangan harap nanti bisa berbaikan.
***
Benar, Ray sudah tak tahan dengan seorang bernama Rionald. Bukan karena dia yang hanya acuh, tapi karena Ray sendiri yang tak bisa diam. Bukan apa-apa, tapi disini hanya Rion yang bisa dia ajak bicara. Karel?! Orang yang gila dengan rumus matematika itu?! Ray tak akan bisa bicara dengannya.
Tidak ada yang nyaman dengan bisu ini, sejak bel berbunyi Rion pergi seorang diri, sebelum Ray pergi untuk mengikuti. Walaupun keduanya berjalan dengan beriringan, tak ada satu katapun terucap. Rion tetap dengan bisunya, tapi Ray yang biasanya tak bisa diam, kini juga tidak mengeluarkan suaranya.
Langkah Rion terhenti, begitupun dengan orang di belakang yang mengikuti. Sesaat Ray terdiam dalam tempatnya, memperhatikan 3 orang yang ada di hadapannya. Jeremy yang tengah tidur di bawah pohon ini belum menyadari, ada makhluk lain yang mengamati selain Rion yang hanya berdiam diri. Ray merasa tak asing dengan wajah ini. Apakah dia pernah mengenalnya, atau keduanya pernah bertemu di dimensi sebelah?!
Ah, lupakan pikiran absurd Ray yang kini mulai menjadi.
"Mereka...temanmu?!" Pertanyaan itu mampu membuat dua orang yang tengah asik memandangi ikan di kolam tersadar. Atensi Wilson dan Adel kini tertuju pada orang yang tengah berjongkok memperhatikan raut wajah Jeremy.
"Jadi ini makhluk lucu jelmaan kelinci kita yang datang kembali?!!" Seru Adel dengan girangnya berhambur memeluk Ray yang masih mematung di sana. Tampak kegembiraan yang luar biasa Adel tunjukkan pada mereka. Lihatlah dia, bagaimana cara memeluk sosok remaja yang tak bertemu dengannya ribuan hari.
"Hah?! Makhluk lucu?!! Jelmaan kelinci?!!! Milik kalian?!! Aku?!!!" Tanya Ray yang masih bingung dengan keadaan yang ada. Rion terkekeh, Ray melupakan sesuatu. Dan yang dia lupakan adalah mereka.
Jeremy terbangun karena seruan Ray, dia masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih ada di atas udara.
"Gue mimpi buruk, tiba-tiba didatangi siluman kelinci?!" Wilson tertawa.
"Hah, maksudmu aku siluman kelinci?!!" Adel melepaskan pelukannya. Bersiap untuk menjelaskan pada Ray, tapi Wilson berhasil mendahuluinya.
"Ini kita, lo lupa?! Wah, kebangetan banget sih keluarga Chandra!! Jangan-jangan sebelum ke sini otaknya di cuci dulu ya?!" Ray ingat. Ia mengingat sosok-sosok yang dahulu pernah bermain bersama dengan dirinya. Yang kadang memberontak dan diam-diam pergi bermain untuk menghindari pelajaran tambahan bernama biologi.
Mata Ray berbinar sebelum beberapa detik setelahnya ia berteriak dan memeluk Jeremy dan Adel bersamaan. Inilah mereka. Anak-anak yang dulu hidup apa adanya.
Tidak suka ya tidak suka. Kalau suka ya lakukan saja.
Sebuah motto hidup yang biasa mereka serukan bersama-sama. Dan kini mereka kembali di satukan untuk bersama.
"Ya ampun titisan batu bata, kenapa kamu nggak bilang apa-apa?!!" Rion memutar bola matanya, tersenyum. Kali ini ia biarkan si suara sumbar ini mengejeknya dengan segala kata. Toh mau tak mau sebanyak apa ia melarang, ia tak akan bisa untuk diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments