Bab 9. Rencana Setelah SMA

Udara di antara beberapa pasang mata itu kini terasa sangat dingin. Walau dalam 5 menit terakhir, hanya senyap yang mampu mereka ungkap satu sama lain. Walau sebenarnya, keempatnya punya banyak kata untuk sekedar bertanya 'ada apa?'. Lihat Shan yang mulai jengah dengan keadaan, ia bermaksud untuk pergi dari mereka dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Tapi sebelum mengungkap apa yang baru saja dia pikir, ternyata Karen bisa membaca pikiran Shan dengan mudahnya.

"Shan, om tau kamu bosan. Silahkan tanyakan apa yang kamu pikirkan sekarang?!" Dua pasang mata lainnya juga beratensi pada pemuda tersebut. Kensie juga mulai bingung dengan apa yang ada di hadapannya. Tiba-tiba, papanya memanggilnya dengan Shan ke ruang kerja. Dan ketika mereka datang semua saling diam.

"Nggak kok, om. Shan cuma bingung aja, kenapa tiba-tiba..."

"Apa rencana mu setelah lulus nanti?!" Suara Tian kini mulai menggema di seisi ruangan. Shan mengangguk, mulai memikirkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia tak tahu saja, Kensie mulai mengeluarkan keringat dingin di tangan dan dahinya. Entah kenapa, mendengar ayah Shan yang bicara tentang hal itu secara tiba-tiba, membuatnya tak bisa berkata apa-apa, selain kosong di pikirannya.

"Kemarin, Shan udah susun rencana, pa." Tian mengangguk angguk.

"Terus?!"

"Shan nggak mau kuliah! Shan mau buka counter di depan rumah aja!"

JEDUAAR...

Semuanya terdiam. Tian membatu di tempatnya, rencana macam apa yang dipikirkan anaknya?! Seingatnya, ia didik Shan untuk mencapai apa yang ia inginkan walaupun itu setinggi tebing di air terjun Niagara. Apakah itu masih cukup dangkal untuk memperlihatkan Tian ingin anaknya jadi orang terkenal sepertinya?! Bukan menjadi tukang counter abal-abal.

"Tunggu, tunggu! Papa nggak bercanda! Katakan rencanamu yang sesungguhnya!!"

"Loh, emang ada yang salah ya?! Itu memang rencana Shan, pa."

"Ya ampun, Shan!! Untung aja baru Kensie, sama om kamu yang denger, gimana nanti kalau orang luar yang denger?!! Masa anggota keluarga Chandra nggak mau nerusin kuliah, dan cuma buka toko nggak ada guna!! Mau di taruh di mana muka papa?!!"

"Ya di tempatnya aja, pa. Bahaya kalau di pindah dari tempat seharusnya!"

"Kamu, pergi ke kamar renungin apa yang pas buat kamu di masa depan!!"

"Tapi, pa..."

"Sekarang!!" Sentak Tian pada Shan. Remaja itu kini melangkahkan kakinya dengan berat dari ruangan itu, di ikuti dengan Septian yang menatapnya dengan tajam. Suara pintu di tutup menjadi akhir pertemuan mereka dengan ayah dan anak tersebut. Kini hanya meninggalkan suasana hening yang kembali menyapa mereka.

"Bagaimana denganmu?!"

Tangan Kensie bergetar, apa yang seharusnya ia katakan?! Apa jawabannya akan membuat sang papa murka?!

"Aku...aku belum tahu!" Karen menghela nafas.

"Lha emang, cita-cita mu apa?! Kamu mau kuliah di mana?! Masa kamu nggak kepikiran sampai sana?!"

"Kensie nggak pernah punya cita-cita!" Kata Kensie apa adanya. Yang kini malah membuat lelaki itu berdecih dan membuat anaknya gemetar dengan hebatnya.

"Lalu kamu nggak jawab saat gurumu SD, SMP atau SMA bertanya apa cita-cita mu?!"

"Papa nggak pernah suruh Kensie milih cita-cita. Karena papa selalu bilang aku harus jadi yang pertama!" Nada bicaranya di ikuti dengan getaran hebat di tangan.

"Kalau begitu, apa papa juga yang harus tentukan kamu jadi apa dan harus kuliah di mana?!! Oke, nanti papa mau kamu jadi pengusaha seperti papa. Bisa?!" Kensie menghela nafas. Ada beban lagi yang harus ia terima. Bisakah ia?!

"Kalau Kensie nolak, apa papa bakal terima?!" Kini, ia bahkan tak bisa memandang mata milik Karen.

"Tentu saja bisa. Asalkan kamu punya rencana yang lebih baik daripada papa!"

Kensie kembali menghela nafas. Bukankah usulan yang lebih baik, juga punya beban yang semakin berat?!

"Baiklah. Akan kupikirkan." Walau dirinya masih ragu, tapi ia juga tak mau terikat lagi oleh ayahnya.

"Sebenarnya, kamu nggak lebih baik daripada Shan." Detik itu Kensie mematung. Apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. Ia tak bisa terus begini. Ia sudah berjuang seperti apa yang papanya mau. Terus berusaha seperti yang papanya minta. Tapi apa?! Yang ia dapat bukanlah pujian atau perhatian, tapi tuntutan yang hanya menambah beban.

"Setidaknya dia punya rencana, walau sudah jelas rencananya tidak akan di terima oleh Septian! Jadi kurasa, kamu bisa jadi lebih baik darinya!"

Kemudian hampa kembali datang seiring dengan perginya langkah Karen. Membiarkan Kensie merenungkan apa yang ia katakan. Tapi remaja itu hanya berdecak, dan butuh pelampiasan. Walau mulutnya tak akan pernah bisa mengatakan apa yang ia rasa.

Pa, aku lelah...

...***...

Sudah seminggu sejak Ray berada di sekolah megah ini. Ia sudah terbiasa dengan padatnya pelajaran dalam sehari. Tapi tak perlu khawatir, dia tidak merasa kesulitan untuk memahami setiap pelajaran yang terus berkembang setiap waktunya. Ia juga sudah mulai berkenalan dengan teman-teman sekelas.

Wah, kamu manis banget!! Nggak kaya saudaramu yang lain!!!

Kamu sering-sering ya main sama kita!

Lo mudah banget akrab sama orang-orang, nggak kaya mereka...

Sejauh yang Ray dengar, kedatangannya disambut baik oleh siapa saja. Berbeda ketika di rumah, ia juga lebih sering berbaur dengan orang lain. Hanya saja, Rion dan Karel sering sekali mengingatkan bahwa apa yang dilihat, tak seperti kenyataannya. Tapi bukanlah Ray jika hanya mengangguk lalu menuruti apa yang ia dengar. Ia sudah terlalu sering dimanfaatkan atau bertemu dengan orang-orang berwajah ganda. Dan tak mungkin ia diam ketika melihat sesuatu yang tak berjalan pada tempatnya. Lihat saja apa yang ia lakukan untuk mereka yang sedang bersandiwara.

"Aku benci matematika!" Keluh remaja itu sambil membolak-balik halaman buku yang ia baca.

"Kamu nggak akan paham kalau cuma dibaca! Matematika itu lebih mudah di pahami sambil dikerjain. Kalau cuma dilihat dan dihafal nggak akan pernah bisa!" Karel menyaut dari bangkunya yang tak jauh dari Ray dan Rion berada.

"Aku lebih suka sejarah, gak akan bikin bosen!"

"Nggak usah ngomongin sejarah! Gue udah ngantuk saat telinga ini denger namanya!" Kini si Rion juga ikut nimbrung percakapan mereka.

"Lah kenapa?!"

"Kamu nggak lihat, dia selalu tidur saat jam pelajaran sejarah?!" Rion menutup bukunya. Dan menatap Karel yang sudah tersenyum remeh kepadanya.

"Lo nggak usah cari gara-gara, kalau nggak mau rasain tonjokan gue yang nggak ada dua!"

"Hehe, iya iya. Maaf, lagian aku cuma bercanda kok. Udah lanjutin aja tidurnya! Nanti di marahin mama kalau nggak bobok!" Ray dan Karel tertawa. Rion sering mendengar bualan Karel sejak Ray datang kembali ke kehidupannya. Setidaknya mereka yang Ray kenal jadi lebih berwarna daripada sebelumnya.

"Aku mau ke toilet sebentar..." Lirih Ray.

"Gue ikut!" ~Rion

"Enak aja mau ikut, mau ngapain?!"

"Aku nggak bakal nyasar! Udah tau juga tempatnya!"

"Takut lo diculik orang!"

"Nggak bakal ada yang culik bocah SMA kaya kita."

Beberapa detik berlalu, dan langkah kaki itu kini sudah tak terlihat. Dia sudah pergi. Meninggalkan Rion dan Karel sendiri. Awalnya semua baik-baik saja, tapi entah kenapa perasaan gelisah mulai menaungi keduanya.

...***...

"Gue heran sama lo, Ken!! Segitunya pengen perhatian sama pujian dari bokap, lo rela ngelewatin jam makan siang buat pacaran sama buku?!" Kensie tetap tak bergeming dari tempatnya. Bukan buku yang ia baca terlalu menarik perhatian, tapi sudah dari tadi tidak ada yang bisa ia tangkap dari kegiatan membacanya.

"Gak laper!"

Dua buah kata yang singkat dan jelas membuat Shan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

"Bosen gue lama-lama liat lo pacaran terus sama buku, mending gue cari cewek baru!"

"Gue udah peringatin, lo jangan pernah main-main sama perasaan cewek! Buat gue yang setiap harinya selalu pacaran sama buku, ya nggak apa-apa. Seenggaknya, buku nggak bisa gampar wajah, kalau gue udah campakin!"

"Gue bukan lo yang pacaran sama benda mati! Gue orang normal yang butuh sebuah kesenangan. Cuma itu!"

"Gue udah peringatin lho ya, jangan salahin gue kalau nanti tiba-tiba lo dapet karma!"

Kini Shan sudah sepenuhnya memfokuskan pikirannya pada layar ponsel di tangannya. Bahkan peringatan Kensie tidak akan mempan padanya kali ini. Lihat saja nanti, jika dia sudah galau karena terlalu banyak bermain-main dengan perasaan dan hati, pasti Shan akan datang dengan sendirinya pada Kensie. Sungguh merepotkan.

"Shan, gue salah ya ngarep perhatian dari bokap gue?" Suara itu membuat Shan membeku. Ia tau seberapa besar usaha yang Kensie lakukan untuk ayahnya, dan semua itu berakhir sia-sia karena Karen merasa tidak puas dengan apa yang anaknya terima. Shan sebenarnya tak ingin berbicara dengan topik ini, bukan apa-apa. Tapi ia sendiri di hadapkan pada hal yang sama.

"Gimana kalau gue bantu lo buat diriin counter depan rumah?!!" Detik itu pula membuat udara yang ada di sekitar Shan seperti hilang dan lenyap ditelan oleh suara hening setelahnya.

"Lo bercanda atau gimana?! Dari gue TK sampai SMA ditanya orang apa cita-citanya, terus gue jawab apa adanya. Dan cuma lo yang nggak ketawa setelahnya, malah pengen buat usaha dan bikin counter di depan rumah sama sama."

"Emang apa salahnya?! Toh juga usaha buat cari uang. Kan nggak melulu semua orang kerja di tempat mewah. Nggak semua orang bisa jadi pengusaha kaya ayah-ayah kita. Jika kita diberi kesempatan untuk memilih, kenapa nggak?!"

"Gue juga tau lo nggak sebodoh keledai. Lo itu pinter bin cerdas. Semua orang kenal sama lo karena prestasi-prestasi yang lo ukir di depan mata mereka. Menurut lo, nyokap lo bisa terima anaknya kerja jadi tukang counter yang bayarannya nggak seberapa?! Sadar dong Ken, ya Allah!!"

"Terus apa?! Beneran deh, selama ini dari TK sampai SMA nggak pernah ada yang nanya soal cita-cita. Saat yang lain ditanya, eh gue sendiri cuma didiemin sama gurunya. Jadi, wajar dong kalau gue nggak tau apa-apa soal cita-cita?!"

"Kalau gitu, lo nyanyi deh!"

"Nyanyi?!"

"Iya, nyanyi. Nyanyi lagu 'sakitnya tuh disini' biar jadi Cita Citata!"

"Itu liriknya gimana?! Cita Citata itu siapa?!" Shan pusing jika harus bercanda dengan orang bernama Kensie ini. Semuanya dianggap serius. Bukan hanya itu, tapi percakapan ini membuat remaja yang tahun lalu memenangkan olimpiade fisika itu sangat semakin bobrok dan goblok.

"Gue nggak bisa ngomong sama lo lagi!"

"Kenapa?!"

"Udah diem aja! Lanjutin belajarnya biar tambah pinter nggak tambah goblok!"

Episodes
1 Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2 Bab 2. Mereka Masih Peduli
3 Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4 Bab 4. Rean
5 Bab 5. Maaf Untuk Rean
6 Bab 6. Hari Pertama
7 Bab 7. Berteman Kembali
8 Bab 8. Siluman Kelinci
9 Bab 9. Rencana Setelah SMA
10 Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11 Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12 Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13 Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14 Bab 14. Dia Masih Peduli
15 Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16 Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17 Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18 Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19 Bab 19. Dia Alasannya
20 Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21 Bab 21. Sebuah Pertanda
22 Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23 Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24 Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25 Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26 Bab 26. Alasan Kematiannya
27 Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28 Bab 28. Candu Dalam Kelam
29 Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30 Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31 Bab 31. Akhir?
32 Bab 32. Dua Cahaya Baru
33 Bab 33. Qian Sakit
34 Bab 34. Bertemu Teman Lama
35 Bab 35. Rujak Mangga Muda
36 Bab 36. Pembantu
37 Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38 Bab 38. Ruang yang Tenang
39 Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40 Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41 Bab 41. Chandra
42 Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43 Bab 43. Bertemu Nenek
44 Bab 44. Bertemu Lagi
45 Bab 45. Kehangatan Rumah
46 Bab 46. Balkon Kamar
47 Bab 47. Ren dan Masalahnya
48 Bab 48. Takut Ditinggalkan
49 Bab 49. Keinginan Sasha
50 Bab 50. Datangnya Bencana
51 Bab 51. Tentang Kepergian
52 Epilog
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2
Bab 2. Mereka Masih Peduli
3
Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4
Bab 4. Rean
5
Bab 5. Maaf Untuk Rean
6
Bab 6. Hari Pertama
7
Bab 7. Berteman Kembali
8
Bab 8. Siluman Kelinci
9
Bab 9. Rencana Setelah SMA
10
Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11
Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12
Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13
Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14
Bab 14. Dia Masih Peduli
15
Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16
Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17
Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18
Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19
Bab 19. Dia Alasannya
20
Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21
Bab 21. Sebuah Pertanda
22
Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23
Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24
Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25
Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26
Bab 26. Alasan Kematiannya
27
Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28
Bab 28. Candu Dalam Kelam
29
Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30
Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31
Bab 31. Akhir?
32
Bab 32. Dua Cahaya Baru
33
Bab 33. Qian Sakit
34
Bab 34. Bertemu Teman Lama
35
Bab 35. Rujak Mangga Muda
36
Bab 36. Pembantu
37
Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38
Bab 38. Ruang yang Tenang
39
Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40
Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41
Bab 41. Chandra
42
Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43
Bab 43. Bertemu Nenek
44
Bab 44. Bertemu Lagi
45
Bab 45. Kehangatan Rumah
46
Bab 46. Balkon Kamar
47
Bab 47. Ren dan Masalahnya
48
Bab 48. Takut Ditinggalkan
49
Bab 49. Keinginan Sasha
50
Bab 50. Datangnya Bencana
51
Bab 51. Tentang Kepergian
52
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!