"Jadi mereka yang bully kamu, Yan?!" Ray datang dengan membawa tanda tanya di setiap benak. Tatapan tajamnya membuat Sam juga bergidik ngeri. Atensi semua orang tertuju pada remaja ringkih tersebut. Tapi di mata Dion, Nial dan dua orang di belakangnya, remaja itu terlihat sangat lucu. Mereka tidak tahu saja, kalau manusia pendek itu lebih tua satu tahun dari mereka.
"Kak Ra—"
"Ini siapa?! Temen lo?! Hah, orang kaya gini berani nyentak kita! Woa, bravo!!" Serunya sambil bertepuk tangan mengejek Ray.
"Emang kalau bocah panti itu temennya kaya gini yang cocok! Pasti lo bocah panti juga kan?!" Dion yang mengawali semuanya. Bahkan Sam belum sempat bertanya mengapa Ray bisa berada di sini, bersama dengan Rean. Ray sebenarnya punya banyak kata untuk anak-anak sombong dan labil di hadapannya, tapi ia lebih memilih untuk menanyai Sam terlebih dahulu.
"Sam, ini temen-temen kamu?"
"Hah, yang sopan dikit kek sama Samuel!!!" Dion menatap Ray dengan tajam.
"Bocah kaya lo itu sebenernya nggak pantes buat ngomong sama Sam, kita beda kasta."
"Beda kasta ya?!" Ray memutar bola matanya, tersenyum miring ke arah Dion, Nial dan teman-temannya. Sam sudah tidak bisa mengontrol emosinya pada Dion. Ia baru sadar, temannya itu terlalu sombong karena dekat dengan dirinya selama ini. Cengkeraman Sam di kerah Dion semakin menguat. Dion hanya menatap sahabatnya dengan tatapan bingung. Apa? Kenapa Sam...?!
"Gue baru sadar, lo selama ini sudah berubah jadi angkuh!"
"Lo belain anak yang baru dateng ini daripada kita?! Ck ck, kepala lo kepentok aspal atau apa sih, Sam?!" Nial membantu Dion untuk melepaskan cengkraman Sam.
"Anak baru?! Haha, bahkan aku lebih mengenal Sam daripada kalian!" ucap Ray sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Lo tau apa soal Sam, hah?! Gue lebih tau dia daripada siapapun!" sentak Dion kemudian.
"Jadi, orang-orang yang bully adek gue, si Rean itu kalian? Hah, kalian itu cuma bocah yang sok-sokan! Kalau kalian tau bener siapa itu Sam, pasti kalian kenal gue kan?!"
"Lo—"
"Mau apa lo?" Sam kini berdiri di hadapan Ray dan Rean. Menghentikan langkah Nial yang merupakan bentuk dari emosinya.
"Dia kakak gue!" Semua terdiam mendengarkan ucapan Sam.
"Maksud lo apaan, sih? Gue nggak paham! Setahu gue, selama gue kenal lo 3 tahun ini nggak pernah liat itu bocah di keluarga lo!"
"Jangan panggil dia bocah! Atau kalian akan tahu akibatnya!" semuanya terdiam kembali. Sam tidak main-main. Suaranya terdengar sangat dingin dan menusuk. Rean dari tadi hanya diam, membiarkan mereka berdebat. Ia akan pergi dan merelakan tasnya jika salah satu di antara mereka kalah debat.
"Hah, kalian itu emang bocah ya?" Ray menghela nafas panjang.
"Kalau kalian belum kenal gue, kenalin ya? Gue Ray, bisa panggil aja kak Ray atau bang Ray. Asal jangan panggil gue raysek! Gue itu abangnya Samuel sama Rionald. Kalau sama Rion bukan adek lagi, dia mah nggak mau panggil gue abang, soalnya cuma beda dua bulan. Jadi dengan kata lain gue anak ke-5 di keluarga Chandra!"
Semua membuang muka, mulai merasakan hawa dingin dari perbincangan yang menjurus pada perdebatan itu. Bukan dari Ray, tapi berasal dari tatapan Sam yang sedari tadi membuat mereka tunduk.
"Kalian belum percaya? Oke, nggak apa-apa. Tapi, sekarang gue mau kalian balikin tas Rean." Nial mendengus kesal. Kemudian berjalan ke arah bangku di pinggir lapangan. Ia mengambil satu tas yang berada di sana, lantas ia bawa kembali ke arah Ray, Sam dan Rean.
"Nih!" Nial melempar tas itu ke arah Rean. Rean menerima lemparan Nial dengan gugup.
"Makasih," kata Rean lirih. Nial hanya berdecak. Jika saja orang yang baru saja muncul di hadapannya bukanlah keluarga Chandra, maka dia sudah habis babak-belur oleh mereka.
"Kamu ngapain terima kasih ke mereka? Harusnya mereka yang minta maaf sama kamu."
"Kak, udah! Rean mau pulang aja, yuk!" Ray menahan lengan Rean. Ia tidak akan pergi dari tempat itu jika hal yang dia inginkan belum terpenuhi. Itulah Ray.
"Nggak, sebelum mereka minta maaf ke kamu!" Beberapa dari mereka berdecak. Ternyata ada satu lagi makhluk yang luar biasa keras kepalanya selain Shan. Dan makhluk itu adalah Ray.
"Aku tahu selama ini perlakuan kalian ke Rean itu nggak baik! Dan kamu nggak tahu soal itu, Sam?!" Sam kini menatap lekat Ray yang sudah berapi-api.
"Kak, aku nggak tahu apa-apa!"
"Kalaupun kamu nggak tahu apa-apa soal Rean dan mereka, setidaknya kamu juga bisa pilih teman bergaul yang bener. Nggak kaya mereka!"
"Tunggu tunggu! Maksud lo, gue—" Sam dan Ray menatap Dion dengan tajam. Mungkin satu yang sama dari keduanya adalah tatapan mereka terlampau tajam. Tak heran mereka memiliki marga Chandra, yang rata-rata punya tatapan mata yang tajam. Semuanya diam, termasuk Dion.
"Sekarang kalian itu udah SMP tingkat akhir, masih mau lakuin hal yang nggak bermoral lagi sama orang lain? Aku tahu kalian itu dari keluarga terpandang, kaya raya dan bahkan sudah dikenal oleh kalayak umum. Tapi, bisakah kalian menghargai orang lain?! Aku tahu rasanya jadi Rean, karena aku juga anak panti asuhan. Mereka nggak punya orang tua, apalagi kasih sayang yang lebih." Suara Ray terputus. Ia mengambil nafas dalam-dalam, sebelum kembali mengeluarkan suara.
"Kalian sudah besar ... jadilah anak yang baik! Pasti ada orang yang peduli dengan kalian, menyayangi kalian tanpa memandang status dan marga. Aku tahu tidak ada anak yang benar-benar jahat, mereka hanya kesepian dan butuh pelampiasan. Pelampiasan itu bagus, tapi jangan libatkan orang lain dalam hal ini." Semua terdiam. Ray adalah satu-satunya anak di keluarga Chandra yang memiliki kalimat paling panjang. Membiarkan mereka berjalan pada labirin di dalam kepala. Itu sebuah perenungan. Tatapan mata Ray kini menjadi sendu.
"Rean, ayo kakak antar pulang. Ini sudah hampir maghrib, pasti dicariin Ibu." Ray menarik lengan Rean untuk pergi dari mereka. Sam mengejar keduanya,
"Kak Ray, Rean! Aku ikut ya?" Ray hanya diam. Hanya Rean yang mengangguk menunjukkan senyum simpulnya.
...***...
Hari sudah malam, terlihat Arnold yang mulai mendekati mobilnya. Ia memutuskan untuk pulang lebih awal, ingin melepas lelah sejenak.
Ia meregangkan tubuhnya ketika sudah duduk di bangku pengemudi. Ia diam sebentar, memikirkan tentang Ray yang ia tinggalkan di tengah jalan. Remaja itu baru saja sembuh, dan keluar dari rumah sakit hanya beberapa menit sebelum Arnold menurunkannya di jalanan.
Sudahlah, ia tak mau memikirkan anak itu lagi. Lagian, Ray sudah besar. Ia pasti punya jalan sendiri. Namun tubuh Arnold menegang ketika melihat tas tentengan yang tadi Ray bawa dari kamar rumah sakit kini masih berada di sampingnya.
Arnold mengeluarkan seluruh isinya. Di sana ada semua hal yang Ray butuhkan dari ponsel, uang, obat dan baju bajunya. Jadi bagaimana Ray bisa pulang tanpa uang?! Tanpa ponsel?!
Dia menelan ludah, perasaan tidak enak ini muncul lagi di dalam hatinya. Dia mengemudikan mobil seperti orang yang kesetanan. Cukup tahu, Ray itu anak yang mudah penasaran. Tidak mungkin ia langsung pulang dengan jalan kaki begitu saja. Jarak antara tempat Ray diturunkan dengan rumah sangatlah jauh, hampir tidak ada kemungkinan Ray bisa berjalan dengan kaki yang utuh. Setidaknya itu yang dipikirkan Arnold.
...***...
Mereka bertiga berjalan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sam terlalu takut untuk kembali membuat Ray marah, dan ia juga tak begitu dekat dengan sosok Rean. Ia iri pada Rean, bisa dengan mudah dekat dengan Ray. Dan nyatanya dari kemarin ia belum bisa sedekat itu dengan Ray.
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup besar. Walau tak ada yang memberitahukannya Sam sudah tahu bahwa bangunan itu adalah panti asuhan. Terdengar sangat ramai di dalam sana. Ray terlihat penasaran, sedang apa anak-anak itu saat ini?! Tapi ia urungkan niatnya. Ia bukan lagi anggota panti, akan sangat aneh jika dia tiba-tiba masuk dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa.
"Rean, Kakak anter sampai sini aja ya?" Rean menoleh pada Ray.
"Loh, Kak! Kenapa?! Banyak yang kangen sama kakak! Rean juga pengen ngobrol banyak sama Kakak!" Ray tersenyum.
"Maaf, untuk kali ini jangan dulu. Kakak juga sangat rindu dengan kalian, tapi untuk saat ini ... mungkin kita bisa ngobrol lain kali. Aku akan sering-sering datang ke sekolahmu."
"Baiklah! Oh, Sam ... kamu nggak mau mampir?" Sam tersenyum kikuk. Kemudian menggeleng.
"Oh, iya Rean. Maaf ya atas perlakuan teman-teman ku tadi. Aku bener-bener nggak tahu kalau mereka akan berlaku seperti itu, maaf..." Rean tersenyum.
"Tidak apa-apa. Aku yakin Sam itu orang baik kok. Kita bisa temenan mulai sekarang." Sam tak lagi bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Ia senang, tentu saja. Sangat susah untuknya mencari seorang teman.
"Eh, Rean!"
"Hmm, Ada apa Kak?"
"Kamu tolong suruh Momo ke sini dong, Kakak kangen tahu."
"Momo?" Sam mulai bertanya, ia penasaran pada sosok Momo yang Ray bicarakan.
"Oke, tak panggilin dulu ya?" Rean masuk kedalam gerbang itu, dan kembali dengan seekor kucing kecil di tangannya.
"Waah, Momo....Ray kangen banget sama Momo!" Ray mengambil alih Momo dari Rean.
"Owalah, kucing toh!" Sam dan Rean menggeleng melihat tingkah Ray. Momo kelihatannya juga sangat rindu pada remaja itu, nyatanya ia tak menolak ketika Ray menciuminya beberapa kali tepat di wajahnya.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments