Bab 14. Dia Masih Peduli

Ray...tenang! Nggak akan terjadi apa-apa...lo bakal aman sama gue! Gue janji nggak akan pernah tinggalin lo sendiri!" Hanya itu yang bisa ia katakan. Karena setelahnya, ia memang tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Lo marah sama gue!! Semua orang berantem gara-gara gue! Tante Sasha nggak suka sama gue... Dan sekarang Ayah emang bener-bener nggak pengen gue ada lagi..." Suaranya menggema di seisi ruangan.

"Gue capek! Gue nggak mau jadi beban orang lain! Tapi, saat gue mau pergi lo bilang gue egois! Sekarang gue tanya sama lo, siapa yang egois di sini?!"

Tatapan mata Ray berbeda dengan ia  yang biasanya. Dia bukan lagi Ray yang cerewet dan banyak tingkah. Karena di sini, dia tau bahwa Ray yang sesungguhnya penuh dengan luka tak kasap mata.

Shan menatap dua orang yang masih pada tempatnya. Ada rasa geram ketika ia melihat Ray dengan keadaan yang sedemikian rupa. Langkahnya bahkan terdengar seperti suara raksasa yang siap menginjak siapa saja. Tapi di sini, Ray dan Rion sama sekali tidak bisa mendengar ada suara langkah seorang yang tengah naik pitam.

Shan menarik bahu Rion dengan kasar, menatapnya dengan tajam seolah ia bisa menghunuskan benda tajam ke  bola matanya.

"Apa yang lo lakuin sama Ray?!" Sentak Shan dengan nada yang tak kalah mengerikan. Dia bahkan siap menghajar wajah Rion jika benar dialah yang telah membuat Ray ketakutan seperti itu.

"Gue tanya, apa yang lo lakuin sama Ray?!" Shan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia mencengkeram kerak baju Rion. Tapi Rion masih lah orang yang sama. Ia hanya diam sambil memandang Ray yang mengusap wajah basahnya.

"Gue nggak lakuin apa-apa..."

"Terus siapa?!! Di sini cuma ada lo!!" Rion menghela nafasnya. Kemudian ia menatap Shan.

"Kak, bukan gue yang buat Ray kaya begini!" Shan menghela nafasnya. Ia menurunkan tangan, dan berusaha untuk mengontrol emosi.

"Tadi gue liat om Arnold keluar dari sini, saat gue dateng Ray udah kaya begini." Shan memeluk tubuh Ray.

"Maafin gue, harusnya gue nggak pergi..." Sementara Ray hanya diam ketika Shan mengusap punggung dan kepalanya. Tidak ada yang bisa ia katakan.

"Ray..." Tidak ada sahutan ketika Shan memanggilnya. Ray hanya diam dengan tatap kosong yang selama ini belum pernah ia perlihatkan.

"Kak..." Shan dan Rion menatapnya, berharap anak itu bisa memberi penjelasan tentang apa yang terjadi padanya.

"Gue nggak mau ngomong sama kalian berdua!"

***

Ruangan ini kini terasa sangat sepi. Hanya Shan yang tersisa. Sedangkan kini, ia sibuk dengan ponsel miliknya. Membuat keduanya di halangi oleh jeda 10 menit dengan senyap dan hampa.

"Kak..."

"Hmm, apa?!"

"Kakak chat sama siapa?! Kok asik banget?! Sampai gue nggak di ajak ngobrol!"

"Hahaha, ngobrol apa?! Kita udah ngobrol panjang lebar tadi. Masih ada yang mau diobrolin, hmm?!"

"Kakak punya pacar ya?!" Shan terkekeh mendengar pertanyaan itu. Bahkan ia sudah mendengar pertanyaan itu dari Kensie, Karel, Sam, Sean dan bahkan Rion. Sudah genap adik-adiknya bertanya tentang hal yang sama sebanyak 6 kali.

"Pacar gue banyak! Sejak SMP gue udah punya banyak gandengan. Jadi jangan heran kalau SMA gue udah punya pacar belasan!"

"Wah, kakak hebat ya?! Sampai segitunya cari jodoh!"

"Iya lah!" Kata Shan bangga.

"Tapi kakak nggak lelah?! Ngurusin adek satu aja gue geleng-geleng, sedangkan kak Shan ngurus adek enam ditambah pacar belasan bisa tenang-tenang aja! Bagi-bagi tips dong kak biar gue bisa kaya kakak!"

"Gue saranin, kalau belum terlanjur jangan punya banyak cewek kaya gue! Lo pasti tau kan, gue itu udah jadi sampah sejak mempermainkan hati seorang perempuan untuk pertama kalinya?!  Walaupun gue kaya gini, please...untuk adek-adek gue jangan tiru tingkah gue, paham kan?!" Ada jeda lagi di antara keduanya. Walau tak selama tadi.

"Oke!"

"Kak, gue laper! Beliin makanan di luar donk..." Shan meletakkan ponselnya. Kini atensinya beralih pada seorang yang kini di hadapannya.

"Emang di dalam kulkas nggak ada apa-apa?!"

"Cuma pengen makanan kaki lima aja!"

"Oke, gue beliin sekarang aja gimana?! Keburu kemaleman nanti!"

Ray hanya mengangguk. Ia masih menatap kakaknya yang kembali mengambil ponsel, kemudian beranjak sambil melambaikan tangan. Ray sama sekali tidak menyadari bahwa setelah kepergian Shan dengan motornya, ada sebuah mobil berwarna hitam yang datang dan terparkir di depan halaman.

Ray bahkan kembali sibuk memperhatikan layar TV yang ia nyalakan sejak Maghrib tadi. Walaupun atensinya berada di depan layar TV, tapi pikirannya berada jauh dari tempatnya.

Namun seketika ia pusatkan perhatian pada pintu yang kini terbuka secara perlahan. Ada seorang yang masuk dengan perlahan menyapu pandang, mencari keberadaan seorang Ray yang kini berada di depan TV.

Ia terlonjak, menatap seorang yang kini masuk dengan langkah konstan. Ada sedikit rasa takut menggerayuti pikirannya. Bukan, kini ia benar-benar merasa takut. Tatapan itu bukanlah hal yang ia mau.

"Rayyan...!" Suara berat itu terdengar mengerikan. Bahkan tanpa disadari tangannya sudah bergetar.

"A-ayah...mau apa kemari?!" Arnold tersenyum remeh.

Ray meringis menahan sakit, karena setelah senyum menakutkan itu, dia menarik rambut Ray dengan kencang. Mendekatkan wajahnya dengan Ray, hingga keduanya bisa merasakan deru nafas masing-masing. Ray ingin berteriak, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia masih menguatkan anggapannya, bahwa orang di hadapannya adalah sosok ayah yang dulu pernah ia kagumi sedemikian rupa.

"A...ayah...sakit...!" Arnold menarik rambutnya semakin kencang, hingga ia bisa melihat bibir Ray yang bergetar. Ada sesuatu yang membuatnya lebih baik ketika melihat anak itu menderita.

"Apa?! Sakit?! Bukannya ini yang kamu mau?!! Sekarang kamu bisa mendapatkannya, nikmatilah rasanya!!" Ray tersungkur di atas lantai, karena Arnold menarik tubuhnya dengan begitu kencang. Ia bahkan tak peduli anak itu kini terguncang. Bukan hanya fisik tapi juga mentalnya.

"Ayah...maafin Ray...! Ray janji nggak bakal ganggu ayah lagi!" Ray menjauh dari ayahnya. Menghindari tatapan Arnold. Tapi Arnold seakan buta oleh emosi, dia bisa melakukan apa saja jika sedang begini. Permasalahannya dengan sang istri belum juga usai, malah ayahnya yang murka karena tidak pernah menganggap Ray anaknya.

Arnold mengusap wajahnya. Berusaha mengontrol emosi untuk sesaat. Setelah ia sadar, beberapa detik yang lalu ia baru saja membuat bekas kebiruan di dahi sang anak karena tendangan keras dari kakinya.

Ray meringkuk di pojok ruangan. Menahan tangis yang selama ini ia tahan. Bukan untuk ia umbar pada siapa-siapa. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan ayahnya.

"Kamu harus sadar, tidak ada yang benar-benar menginginkan kehadiranmu di sini! Orang-orang yang ada di sampingmu akan pergi satu persatu! Kamu hanyalah seorang anak dari sampah yang dipungut di jalanan!"

Laki-laki itu melangkah dengan ringannya setelah berkata sedemikian tajamnya. Meninggalkan Ray yang penuh dengan luka yang ia gores dalam hatinya. Dan itu sudah cukup membuktikan bahwa ia memang tidak diinginkan siapa-siapa.

Tapi satu yang ia tak suka, bahwa tanpa sadar bundanya telah di olok-olok oleh sang ayah. Dan itu cukup membuat Ray membangkitkan amarah. Tapi ia tak bisa. Bahkan ketika ia tak melawan, Arnol tidak pernah merasa iba dengannya. Apalagi jika dia melawan, entah ia sudah jadi apa setelahnya.

***

"Iya ma, aku tau! Mungkin hari ini aku bakal temenin dia di sini, boleh kan?!"

"Iya, nggak apa-apa. Yang penting sekarang Ray aman."

"Makasih buat pengertiannya, ma."

"Ya ampun, Rion!! Kamu ini ngomong apa sih?! Dia itu saudara kamu, berarti anak mama juga! Sekarang dengerin mama, temenin Ray saat dia sendiri. Hibur dia saat ia seperti ini. Nanti mama bakal ke sana, tapi sekarang masih belum bisa. Pokoknya secepatnya mama bakal kesana..."

"Iya iya ma, Rion bakal jaga Ray kok! Mama juga jaga kesehatan di sana."

"Iya, udah dulu ya. Nanti mama hubungi lagi!"

"Hmm" setelah itu panggilannya terputus. Itu adalah mama dari seorang Rion, namanya Sania. Biasa dipanggil Nia. Hanya dialah yang bisa membuat Rion melunakkan suaranya. Satu-satunya orang yang menjaganya dan memberikan sebuah pelajaran hidup yang tak pernah ia lupa. Bukan hanya soal Ray, tapi ia juga peduli dengan semuanya. Karena hanya dia, dari lima menantu keluarga Chandra yang peduli dengan sesama selain Raina.

Rion memasukkan ponsel kedalam saku. Kemudian melangkah mendekati ranjang. Ray terlihat seperti kepompong yang tengah menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. Ia tak mau bicara dengan siapa-siapa. Termasuk Shan yang menghiburnya dengan berbagai cara.

"Ray...lo beneran nggak mau ngomong?!" Tidak ada sahutan dari sana. Ray masih terjaga, walaupun ini sudah hampir tengah malam, ia benar-benar tidak merasa mengantuk. Kantuknya telah hilang karena banyaknya hal yang ia pikirkan.

"Terus gue tidur di mana?! Masa di sofa?!" Tetap tidak ada jawaban dari sana. Ini seperti Rion yang menggumamkan pertanyaan tanpa ada sedikitpun jawaban.

"Oke oke, gue tidur di sofa!" Rion dengan terpaksa membaringkan tubuhnya di atas sofa yang panjangnya sama dengan tinggi badannya. Menatap langit-langit kamar dengan banyaknya pikiran menggelayut di pangkal otaknya.

"Ray...tadi kak Shan pulang." Kalimatnya berhenti. Seolah olah ia ingin membuat sosok di balik selimut itu mendengar setiap kalimatnya.

"Gue yakin, rumah bakal ramai lagi. Tapi gue pastiin ini bukan salah lo! Gue masih di sini, nggak akan pergi!" Ada jeda setelah ia mengatakannya.

"Dan gue nggak mau lo nyalahin diri lo sendiri. Karena ini bener-bener bukan salah lo!"

Setelah itu ia memutuskan untuk menutup rapat matanya. Dan bergaul dengan alam mimpi hingga esok hari. Tapi di sebrang sana, Ray masih terjaga dengan mata yang masih terbuka lebar. Ia diam untuk waktu yang lama. Ia hanya menunggu seorang yang tidur di atas sofa mendengkur dengan halus.

Beberapa menit berselang, dan Rion sudah terlelap. Ray menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ia melangkah dengan perlahan mendekati sofa. Sedingin apapun seorang di hadapannya ini, tetap saja udara yang dingin akan membuatnya terkena demam atau flu. Dan ia tak ingin kembali melihat Rion lebih diam dari yang sebelumnya. Karena yang ia ingin adalah Rion yang peduli dan banyak bicara seperti beberapa menit yang lalu.

Selimut itu kini sudah berpindah di atas tubuh Rion. Dan kini Ray akan benar-benar terjaga semalaman. Sambil memandang langit malam dan bintang-bintang yang memancarkan cahaya redup. Kemudian berharap bahwa salah satu bintang yang ia tatap adalah sang bunda yang sudah dipanggil oleh Sang Maha Kuasa.

Episodes
1 Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2 Bab 2. Mereka Masih Peduli
3 Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4 Bab 4. Rean
5 Bab 5. Maaf Untuk Rean
6 Bab 6. Hari Pertama
7 Bab 7. Berteman Kembali
8 Bab 8. Siluman Kelinci
9 Bab 9. Rencana Setelah SMA
10 Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11 Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12 Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13 Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14 Bab 14. Dia Masih Peduli
15 Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16 Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17 Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18 Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19 Bab 19. Dia Alasannya
20 Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21 Bab 21. Sebuah Pertanda
22 Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23 Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24 Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25 Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26 Bab 26. Alasan Kematiannya
27 Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28 Bab 28. Candu Dalam Kelam
29 Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30 Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31 Bab 31. Akhir?
32 Bab 32. Dua Cahaya Baru
33 Bab 33. Qian Sakit
34 Bab 34. Bertemu Teman Lama
35 Bab 35. Rujak Mangga Muda
36 Bab 36. Pembantu
37 Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38 Bab 38. Ruang yang Tenang
39 Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40 Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41 Bab 41. Chandra
42 Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43 Bab 43. Bertemu Nenek
44 Bab 44. Bertemu Lagi
45 Bab 45. Kehangatan Rumah
46 Bab 46. Balkon Kamar
47 Bab 47. Ren dan Masalahnya
48 Bab 48. Takut Ditinggalkan
49 Bab 49. Keinginan Sasha
50 Bab 50. Datangnya Bencana
51 Bab 51. Tentang Kepergian
52 Epilog
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2
Bab 2. Mereka Masih Peduli
3
Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4
Bab 4. Rean
5
Bab 5. Maaf Untuk Rean
6
Bab 6. Hari Pertama
7
Bab 7. Berteman Kembali
8
Bab 8. Siluman Kelinci
9
Bab 9. Rencana Setelah SMA
10
Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11
Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12
Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13
Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14
Bab 14. Dia Masih Peduli
15
Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16
Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17
Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18
Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19
Bab 19. Dia Alasannya
20
Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21
Bab 21. Sebuah Pertanda
22
Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23
Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24
Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25
Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26
Bab 26. Alasan Kematiannya
27
Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28
Bab 28. Candu Dalam Kelam
29
Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30
Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31
Bab 31. Akhir?
32
Bab 32. Dua Cahaya Baru
33
Bab 33. Qian Sakit
34
Bab 34. Bertemu Teman Lama
35
Bab 35. Rujak Mangga Muda
36
Bab 36. Pembantu
37
Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38
Bab 38. Ruang yang Tenang
39
Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40
Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41
Bab 41. Chandra
42
Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43
Bab 43. Bertemu Nenek
44
Bab 44. Bertemu Lagi
45
Bab 45. Kehangatan Rumah
46
Bab 46. Balkon Kamar
47
Bab 47. Ren dan Masalahnya
48
Bab 48. Takut Ditinggalkan
49
Bab 49. Keinginan Sasha
50
Bab 50. Datangnya Bencana
51
Bab 51. Tentang Kepergian
52
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!