Bab 8. Siluman Kelinci

"Kamu beneran tambah imut deh Ray, tapi sayang masih cebol aja!" Adel yang sedari tadi mungusak-asik rambut Ray, masih mengagumi keimutan wajah remaja itu saat ini.

"Berhenti nggak?! Nanti tak laporin KPAI baru tau rasa!" Ujar Ray yang kini mulai kesal.

"Loh, KPAI?! Kenapa nggak langsung polisi?!" Jeremy ikut dalam pembicaraan absurd mereka. Siapa tahu nanti dia juga ikut-ikutan absurd seperti dua orang yang lain.

"Liat tampang temen cewek lo ini dong! Dia kan mirip tuh sama tante-tante pedofil!" Ternyata pendapat dari Wilson ini selalu tak pernah sejalan dengan Adel. Lihat saja, beberapa detik selanjutnya mereka akan berdebat panjang lebar.

"Enak aja!! Nih, gue bilangin ya?! Semua cewek itu suka sama makhluk-makhluk imut kaya ini bocah!"

"Gue mah nggak! Gue masih waras and normal. Jadi buat kalian cewek-cewek silahkan jadi gila karena siluman kelinci ini!"

"Heh, Wil!! Gue bukan siluman ya!! Enak aja pangeran Inggris disamain sama siluman!" Ternyata Ray juga tak terima. Mereka sudah kembali. Si cerewet juga sudah kembali jadi speaker sumbar yang menebar semua kata-kata recehnya. Sedangkan Rion, ia masih sama. Menyimak ketika orang-orang bercerita ini dan itu. Tapi dinding yang kuat-kuat ia jaga mulai menipis. Lihatlah bagaimana sekarang ia memedar senyum dan tawanya dengan lepas bersama mereka. Ayolah, Rion yang biasanya akan kaku tak mengenal rasa. Berbeda ketika ia bersama dengan Rayyan Chandra Arrega. Saat bersamanya tawa adalah sahabatnya.

"Berhenti membual, kalian itu buat gue dengerin hal-hal yang nggak perlu! Kecerdasan gue nanti berkurang!!" Keluhnya. Mendapat lirikan setiap orang yang ada di sana.

"Hei, liat nih!! Titisan batu bata kita mulai menampakkan warnanya!!"

"Wil, lo diem nggak?! Bentar lagi gue bawa pengacara buat tuntut lo di meja hijau!!" Ini dia si Rion yang sebenarnya. Dia itu penuh tawa, suka warna yang beraneka rasa. Hanya saja dulu ia pernah patah karena ditinggal seseorang, dan berusaha menjaga dirinya dengan hitam putih saja. Lihatlah, bagaimana tawanya kembali terbuka. Hingga semua orang mengetahui, bahwa Rion yang sebenarnya tidaklah kaku dan sebeku yang mereka tau.

"Kalau gitu lo bukan temen gue! Gue nggak punya temen sensian!"

"Kalau gitu, lo nggak bakal dapet traktiran gue selama seminggu ini!"

"Tuh kan, ngambek lagi dia!" Semua terkekeh termasuk Rion. Waktu seakan berhenti. Memaksa mereka untuk sejenak menghentikan tawa dan berganti dengan senyap diikuti hampa. Dingin angin berhembus menerpa tubuh mereka. Membuat Jeremy tersadar, bahwa mereka di sana dalam waktu yang lama. Melupakan bel yang akan kembali terdengar beberapa waktu lagi. Setelah perpisahan singkat itu terjadi, mereka kemudian berlari dan pergi ke kelas masing masing setelah mengucap salam perpisahan.

***

Langit mulai menunjukkan warna merahnya, pertanda senja sudah datang menjelang. Tapi sosok itu masih betah berada di tempatnya. Jalanan memang berbeda. Ia begitu acuh pada suara bising yang mengelilinginya. Dan Dion suka ketika jalanan hanya diam, ketika setiap orang menginjaknya dengan segala beban. Sayangnya, ia tak pernah bisa seperti objek yang ia kagumi. Entahlah, ia hanya tak bisa terima setiap masalah yang selalu dibebankan padanya sekaligus, dan harus menanggungnya seorang diri.

Satu kata yang mungkin saja mampu membuat sosok Dion terdefinisi. Sepi. Dia adalah hampa yang dikelilingi oleh banyaknya harta benda. Dia adalah satu dari sekian banyaknya remaja, yang menjadi korban karena keegoisan orang tua yang tak pernah tahu apa-apa. Dia hampa, walau setiap harinya dipenuhi dengan suara-suara bising yang selalu memuji rupa ataupun prestasinya. Sebenarnya, dia hanya menginginkan kesenangan yang sesungguhnya. Walaupun tahu, bahwa apa yang ia lakukan tak membuatnya sekalipun ikut tertawa bersama hiruk pikuknya dunia.

Saat ini ia sendiri, tanpa Nial atau Sam yang biasanya mengikuti. Langkahnya terhenti, hanya untuk mengamati betapa indah cahaya sang mentari. Harusnya ia sudah biasa dengan sepi ini. Tapi nyatanya, ia benar-benar tak bisa hidup menyendiri.

"Dion, kamu ngapain di sini?!" Terdengar suara lirih yang familiar di telinganya. Tapi dari banyaknya suara, kenapa harus Rean yang mau menyapa?!

"Bukan urusan lo!" Dia masih terlihat dingin. Melanjutkan langkahnya, berusaha menghindari tatapan dari seorang Rean. Tapi, nyatanya remaja yang ia tinggal di belakang, tidaklah peduli dengan apa yang Dion katakan.

"Kamu mau kemana?!" Dion mendengus kesal. Ia benci ketika mendengar pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Dan ia juga benci pada makhluk sok polos yang berusaha dekat dengan dirinya setelah berhasil meluluhkan Samuel di hadapannya.

"Lo nggak usah banyak bacot!! Gue nggak suka orang yang sok suci kaya lo!" Katanya sambil melajukan langkahnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Di sana Rean terlihat menghela nafasnya. Niatnya dia ingin bertanya, apakah ini jalan yang benar menuju rumahnya. Tapi melihat Dion yang begitu kesal padanya tanpa alasan, dia juga tak akan ungkap apa yang ia tanyakan. Bisa saja, remaja itu berbuat nekat dengan menghajarnya habis-habisan.

Namun tak berselang lama setelah ia menyusul langkah Dion jauh di belakang, Rean masih bisa melihat Dion yang termangu di pagar pembatas jalanan.

"Kamu pasti nyasar kan?!" Dion mengalihkan pandangannya. Ia tak ingin membenarkan pernyataan Rean, tapi itulah yang terjadi saat ini.

Sunyi yang tercipta karena keduanya membuat suasana semakin hampa.

"Kamu benci banget ya sama aku?! Emangnya aku punya salah sama kamu?!" Rean terhenti di samping Dion. Dan memandang pada objek yang sama seperti yang dilihat oleh Dion.

"Lo itu munafik!"

"Munafik?! Munafik dari mananya?!"

"Pokoknya lo itu munafik, mana ada orang yang dijahatin berlaku seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Gue tahu, diam-diam lo nyumpahin gue kan?!! Biar gue dapet karma!!" Rean menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Aku emang berlaku seolah-olah nggak terjadi apa-apa, tapi bukan berarti semua baik-baik saja!" Suara sendu Rean berhasil membuat Dion mematung.

"Harusnya aku itu jadi orang yang berguna bagi penjaga panti dan adik-adikku yang banyak di sana. Tapi aku hanyalah seorang remaja yang nggak berguna dan selalu menyusahkan saja. Jadi buat apa aku buang-buang waktu untuk berlaku munafik di depan semua orang yang bahkan menganggap ku sebelah mata. Hasilnya akan sama saja!" Rean tersenyum. Tapi sekali lagi Dion merasa hampa dengan apa yang ia tangkap dari tatapnya.

"Aku nggak pernah baik-baik saja. Waktuku memang kuhabiskan dengan menyumpahi, tapi yang ku sumpahi adalah diriku sendiri."

Dion memalingkan pandangannya. Ia benci mengakuinya tapi remaja di samping tubuhnya terlihat sangat hampa, melebihi dirinya.

"Maaf..." Suaranya bahkan hampir tidak terdengar. Rean tersenyum. Ia mengingat kembali saat Ray meminta Dion dan Nial untuk meminta maaf, yang ujungnya hanya diam dari keduanya.

"Nggak usah minta maaf, kalau cuma terpaksa!"

"Lo bilang gue nggak tulus?!!" Rean terkekeh.

"Iya, kamu bisa menganggapnya begitu!"

"Gue ikhlas ngomong gitu!"

"Ngomong apa?!"

"Ya itu."

"Coba bilang sekali lagi!"

"Lo jadi bocah kok ngelunjak ya?!! Nyesel gue apologize ke lo!" Rean hanya tertawa mendengar Dion. Sebenarnya, dia orang baik. Hanya saja dia susah diatur.

"Jadi, kamu kesasar beneran ya?!"

"Hmm!"

"Oh, ya udah. Aku pulang ya?! Awas nanti ada siluman kelinci!"

"Sial! Lo kalau takut-takutin gue, jangan bawa nama siluman kelinci dong!! Gue kan jadi inget si kakak barunya Sam itu. Udah kecil, pendek cerewet lagi. Sumpah, gue lebih takut ama itu orang sama siluman jadi-jadian!!" Rean terkekeh. Dion mulai mengikuti langkah Rean. Mungkin saja, remaja itu mau memperlihatkan jalan ke arah rumahnya dengan benar. Harus ia akui, dia buta jalan. Ke sekolah biasanya diantar jemput oleh sopir pribadinya, tapi kali ini lain. Mobilnya mogok di tengah jalan dan sang sopir harus menunggu tukang bengkel datang dan melakukan perbaikan.

***

"Ray sekarang sudah kembali ke sini. Dan aku mau, dia di perlakukan dengan baik layaknya anak-anak kalian yang lain. Aku tidak menerima penolakan!" Suara tegas tuan Chandra mulai memenuhi ruang keluarga. Perdebatan ini akan lama, melihat api yang berkobar dari matanya yang seakan siap menerkam apa saja di hadapannya.

"Dan untuk kamu, Arnold. Ayah kecewa sama kamu! Bagaimana seorang ayah menelantarkan anaknya di jalanan seperti tak terjadi apa-apa?! Bagaimana kalau saat itu, Ray tidak bertemu dengan Sam?! Bagaimana kalau dia tiba-tiba pingsan di jalan?! Atau bagaimana jika dia bertemu dengan perampok atau begal?! Apa bisa kamu bertanggung jawab akan apa yang terjadi selanjutnya?!! Nggak kan?!" Semua terdiam. Arnol pun juga begitu. Tatapan matanya bahkan tak bisa terdefinisi.

"Tapi dia bukan anak kecil lagi ayah..."

"SIAPA YANG SURUH KAMU ANGKAT BICARA, HAH?!" Suara tuan Chandra menggema. Bentakannya kepada Sasha membuat seluruh anggota keluarga tertegun melihatnya. Begitupun dengan Sasha yang kini hanya menahan amarah dalam diamnya.

"Kedatangan kamu ke keluarga ini saja sudah buat keluarga ini malu. Jangan bertingkah seolah kamu tahu apa yang aku maksud, Sasha! Kalau tidak bisa menaati aturanku, silahkan keluar dari rumah ini!!" Kata tuan Chandra penuh penekanan.

"Tenanglah, bicara seperti ini tidak akan berakhir baik padamu!" Istrinya menenangkan. Tapi amarah dan emosinya sudah tersulut, jangan salahkan dia jika saja sudah kehilangan kendali atas dirinya.

"Kalau begitu bagaimana?! Apa aku harus menghukum satu persatu anakmu yang tidak memiliki empati ini?!! Salahkah apa yang ku bilang barusan?!!"

"Ayah, maafkan kami! Kami salah, tolonglah ayah tenang!" Karen, si anak tertua mulai mulai menenangkan ayahnya. Kembali berdebat panjang lebar ketika terjadi suatu masalah adalah ciri dari mereka. Satu sama lainnya kadang tak mau mengalah. Tapi, jika tuan Chandra sudah memilih keputusan, maka pendapatnya tak akan bisa diganggu gugat. Dan mereka tak tau saja, di balik dinding itu Ray bisa mendengar segalanya.

Episodes
1 Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2 Bab 2. Mereka Masih Peduli
3 Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4 Bab 4. Rean
5 Bab 5. Maaf Untuk Rean
6 Bab 6. Hari Pertama
7 Bab 7. Berteman Kembali
8 Bab 8. Siluman Kelinci
9 Bab 9. Rencana Setelah SMA
10 Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11 Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12 Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13 Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14 Bab 14. Dia Masih Peduli
15 Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16 Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17 Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18 Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19 Bab 19. Dia Alasannya
20 Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21 Bab 21. Sebuah Pertanda
22 Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23 Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24 Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25 Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26 Bab 26. Alasan Kematiannya
27 Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28 Bab 28. Candu Dalam Kelam
29 Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30 Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31 Bab 31. Akhir?
32 Bab 32. Dua Cahaya Baru
33 Bab 33. Qian Sakit
34 Bab 34. Bertemu Teman Lama
35 Bab 35. Rujak Mangga Muda
36 Bab 36. Pembantu
37 Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38 Bab 38. Ruang yang Tenang
39 Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40 Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41 Bab 41. Chandra
42 Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43 Bab 43. Bertemu Nenek
44 Bab 44. Bertemu Lagi
45 Bab 45. Kehangatan Rumah
46 Bab 46. Balkon Kamar
47 Bab 47. Ren dan Masalahnya
48 Bab 48. Takut Ditinggalkan
49 Bab 49. Keinginan Sasha
50 Bab 50. Datangnya Bencana
51 Bab 51. Tentang Kepergian
52 Epilog
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Bab 1. Rayyan Chandra Arrega
2
Bab 2. Mereka Masih Peduli
3
Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit
4
Bab 4. Rean
5
Bab 5. Maaf Untuk Rean
6
Bab 6. Hari Pertama
7
Bab 7. Berteman Kembali
8
Bab 8. Siluman Kelinci
9
Bab 9. Rencana Setelah SMA
10
Bab 10. Luka Tak Kasat Mata
11
Bab 11. Dia Tak Tahu Rasanya
12
Bab 12. Halusinasi yang Membuatnya Kembali
13
Bab 13. Apa Yang Lebih Sadis Dari Egois
14
Bab 14. Dia Masih Peduli
15
Bab 15. Orang yang Sedang Terguncang
16
Bab 16. Keluarga yang Ia Damba
17
Bab 17. Mungkin, Inilah Karma
18
Bab 18. Ada Apa Dengannya?
19
Bab 19. Dia Alasannya
20
Bab 20. Jangan Sakit Lagi
21
Bab 21. Sebuah Pertanda
22
Bab 22. Kepergian Orang Tersayang
23
Bab 23. Pil dan Minuman Pahit
24
Bab 24. Kepergian Orang Tersayang (II)
25
Bab 25. Didekap Oleh Gelap
26
Bab 26. Alasan Kematiannya
27
Bab 27. Rindu Untuk Rayyan
28
Bab 28. Candu Dalam Kelam
29
Bab 29. Ayah Yang Selalu Ada
30
Bab 30. Perhatian yang Tak Diinginkan
31
Bab 31. Akhir?
32
Bab 32. Dua Cahaya Baru
33
Bab 33. Qian Sakit
34
Bab 34. Bertemu Teman Lama
35
Bab 35. Rujak Mangga Muda
36
Bab 36. Pembantu
37
Bab 37. Kembali Sakit dan Kabar Si Kembar
38
Bab 38. Ruang yang Tenang
39
Bab 39. Uang Dicari, Tapi Dia Tak Bisa Kembali
40
Bab 40. Hubungan Ibu dan Anak
41
Bab 41. Chandra
42
Bab 42. Lima Chandra yang Lain
43
Bab 43. Bertemu Nenek
44
Bab 44. Bertemu Lagi
45
Bab 45. Kehangatan Rumah
46
Bab 46. Balkon Kamar
47
Bab 47. Ren dan Masalahnya
48
Bab 48. Takut Ditinggalkan
49
Bab 49. Keinginan Sasha
50
Bab 50. Datangnya Bencana
51
Bab 51. Tentang Kepergian
52
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!