Suara senyap sedari tadi merambat di seluruh udara dalam ruangan. Tidak ada yang Rayyan lakukan kecuali merutuki mulutnya yang tak bisa diam. Harusnya ia tidak mengatakan apa-apa, mungkin tidak makan untuk beberapa saat. Setidaknya tidak sebelum ia meminum obat maag, seperti yang bundanya biasa berikan.
Rayyan kini tengah memijit ujung hidungnya. Rasa pusing yang tiba-tiba datang itu pasti karena makanan yang baru saja ia muntahkan. Beberapa saat ia merasa perutnya bergejolak hingga akan mengeluarkan apapun yang ia telan sampai habis tak bersisa. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Shan dan Sam. Lantas, dia bersikeras meminta dua orang itu pergi dari sini sebelumnya. Walau berat, dua orang itu akhirnya mau pergi dari sana. Meninggalkan Ray sendirian dengan sakitnya.
Kini wajahnya pucat, makanan yang bahkan baru saja ia masukkan beberapa suap ke dalam mulutnya ternyata menolak untuk tinggal lebih lama. Makanan itu bahkan masih terlihat utuh. Ia belum menikmati rasanya. Langkahnya diseret-seret. Berjalan ke kamar mandi serasa berjalan di atas tol Cipali. Ia kembali memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya. Walau hanya cairan bening. Tubuhnya lemas, dengan merangkak ia berusaha untuk menaiki ranjang. Mungkin tidur sebentar akan membuat perutnya lebih baik.
"Bunda ... perut Ray sakit. Tapi Ray nggak mau ngrepotin Kak Shan dan yang lainnya ... Bunda, kaya gini ya rasanya saat Bunda telat makan seperti waktu itu? Maafin Ray ya, Bun ...." katanya lirih, perlahan menutup matanya. Tidak tau apakah ia terpejam karena tidur atau karena hal lain.
...***...
Kensie baru saja menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Ia ingin meregangkan tubuhnya dengan berjalan-jalan sebentar. Setidaknya ia ingin melihat keadaan Ray sebentar. Ia belum sempat bercakap-cakap padanya dua hari ini, tugasnya sebagai anak SMA tingkat akhir juga sangat memberatkan. Apalagi, ayahnya menuntut Kensie untuk jadi yang terbaik saat ujian nanti. Sungguh merepotkan.
Kensie berdiri di depan pintu kamar Ray. Sedikit ragu untuk mengetuk pintu. Tapi dia memberanikan diri, toh dia disini juga sebagai kakak. Ia tau, selain Shan dia juga yang paling tua. Tidak salah kan, seorang kakak memastikan adiknya baik-baik saja?! Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban dari dalam. Ia langsung saja masuk, karena pintu tidak dikunci.
Kensie melihat sosok Ray tengah terlelap di atas ranjang. Bukan ketenangan dan kedamaian yang ia tangkap dari wajah sendu itu. Nafasnya tersengal-sengal, keringat di dahinya sudah cukup membuktikan bahwa Ray tidak baik-baik saja. Kensie menggeleng pelan. Buru-buru ia melangkah mendekatinya, memegang dahi Ray. Hanya hawa dingin yang ia rasa.
Kensie menggoyang-goyangkan tubuh kecil dan ringkih tersebut. Berharap Ray akan bangun dan menjawab panggilannya. Mata sipit itu terbuka, terlihat dari sorot matanya jika ia tengah menahan rasa sakit.
"Ray, kamu sakit?" Ray hanya diam. Bahkan sekarang hanya menjawab 'iya' pun terasa sulit. Tenggorokannya mengering, suaranya terasa serak.
"Aku panggilkan dokter sekarang!" Kensie bangkit, tapi langkahnya ditahan dengan cekalan tangan Ray.
"Kak ... Ray nggak apa-apa. Tadi cuma telat makan—" Ray bangun dari tempat tidurnya, menutup mulutnya yang kini terus terbatuk. Kensie terlihat panik, tidak ada minuman apapun di kamar ini selain minuman seperti teh di atas meja. Kensie meraih minuman itu dan meminumkannya pada Ray yang masih terbatuk-batuk.
Nafas Ray tak beraturan, sedangkan Kensie mengelus punggung remaja 16 tahun tersebut dengan lembut. Berharap batuknya akan membaik. Tapi tetap saja, bukannya membaik tapi malah tubuhnya semakin lemas. Tubuh Ray meluruh kedalam dekapan Kensie, tidak mendengar suara kakaknya itu memanggilnya dengan lantang. Ataupun suara derap langkah kaki yang mulai memenuhi ruangan itu. Kini hanya gelap dan juga telinganya yang berdenging keras. Dan saat itulah Kensie menyadari bahwa Ray sudah kembali terlelap dengan rasa sakitnya.
...***...
"Kadang rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba. Kamu nggak akan bisa menanganinya tanpa bantuan orang lain, paham?" Seorang wanita cantik itu menatap anak kecil dihadapannya.
"Tapi, Bunda ... Ray gak sakit, kok. Ray bakal baik-baik saja kalau ada Bunda." Anak kecil itu dengan polos mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Padahal terlihat jelas wajahnya yang pucat dan matanya yang memerah. Demam pada anak kecil itu wajar, tapi tidak untuk anak ini. Dia tidak mau mengatakan keluhannya pada sang bunda. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa sakitnya ini akan merepotkan bundanya.
"Bunda nggak pernah ngajarin Ray berbohong, sekarang jujur sama Bunda, mana yang sakit?" Kini wanita itu menatap manik Ray. Mengelus punggungnya dengan perlahan.
"Yang sakit disini ...." sambil menunjuk dadanya. Raina mengerutkan keningnya.
"Dadanya sesak?"
"Disini sakit kalau bunda repot gara-gara Ray..."
Matanya terbuka. Nafasnya terengah-engah. Dan begitu banyak hal yang memenuhi kepala. Mimpi bertemu dengan bundanya adalah hal yang paling ia nantikan. Tapi ia sebelum bicara banyak dengan bundanya, ia sudah terbangun.
"Ray, kamu sudah bangun?" Shan kini menjadi satu-satunya wajah yang ia lihat di kamarnya.
"Kak Shan, maaf Ray ngrepotin kak Shan ...."
"Kenapa kamu bilang gitu? Aku ini kakakmu. Kamu mau apa, minum?"
Ray menggeleng. Masih ada yang peduli dengannya. Dan ia masih bersyukur.
"Kak Shan ...." Shan yang tadinya memegang ponsel sambil mengetikkan sesuatu di atas layar itu, kini berbalik menatapnya.
"Hmm, ada apa?"
"Apa Ayah ada di sini?" suaranya terdengar parau. Sebenarnya ia tahu, ayahnya tidak akan peduli pada dirinya. Tapi ia hanya ingin memastikan, siapa tahu masih ada sedikit rasa belas kasihan di hati yang Ray yakini sudah membeku itu. Mata Shan menatap manik Ray yang sudah tertunduk.
"Kamu nggak usah mikirin itu. Kensie dan yang lainnya sedang keluar, mereka akan kembali lagi nanti. Apa masih merasa kesepian di sini?" Ray menghela nafas. Terlihat sedikit kecewa mendengar jawaban Shan. Kemudian ia memilih untuk kembali berbaring. Membelakangi Shan, dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Melindungi wajahnya agar tak dapat seorangpun yang mampu melihatnya. Jujur saja, sekarang Ray memang merasa kecewa.
"Aku akan istirahat. Kakak bisa keluar, pasti Kak Shan belum makan, kan?" Shan sedih melihat sikap anak itu yang kini semakin pendiam. Ia lebih memilih Rayyan yang cerewet dan banyak tingkah seperti biasanya. Diamnya Ray itu perlahan akan membuat suasana menjadi beku.
"Kamu mau apa? Nanti kakak beliin." Tidak ada sahutan dari Ray. Anak itu masih pada tempatnya. Tidak bergeming sedikit pun. Bahkan ketika Kensie, Karel, dan Rion datang dengan berbagai makanan, anak itu tidak berniat untuk melihat atau menyapa.
"Hmm, Ray belum bangun, Kak?" Karel menatap Ray yang membelakangi Shan, mencoba melihat wajah itu. Shan menggeleng.
"Tadi sudah bangun, tapi ...."
"Ada apa?! Apa ada yang terjadi?!" Kensie ikut dalam pembicaraan.
"Kita keluar dulu, bisa?" Kensie mengangguki pertanyaan Shan. Meninggalkan Karel dan Rion yang mulai bertanya-tanya.
"Menurutmu, tidak apa-apa membiarkan Ray sendiri? Seperti ada yang ganjal ...."
"Ganjal bagaimana?" Kensie melipat dua tangan di depan dada.
"Dasar! Gue rasa lo gak cukup pintar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini!"
"Maksudnya? Gue nggak mengerti!" Shan menghela nafas.
"Pikirkanlah baik-baik, kemarin kakek menyuruh pembantu untuk mengantarkan makanan ke kamar Ray. Tapi tidak ada makanan apapun di sana, namun pembantu yang mengantarkan makanan ke kamar Ray itu bilang, kalau ia sudah meletakkan makanannya di atas meja. Aneh kan?" Kensie mengangguki pernyataan Shan.
"Apa ada hubungannya dengan tante Sasha?"
"Gue juga belum tau pasti, tapi dilihat dari cara bicara tante Sasha ke Ray, gue nggak bisa bilang kalau hal ini tidak ada hubungannya."
"Jadi sekarang kita harus apa?"
"Ck, jangan jadi sok bodoh! Gue tau lo yang paling pintar di sini, jadi tolonglah, Ken ...."
"Ck, iya iya ... gue cuma mau tanya, kok!"
"Sumpah, hari ini semua yang lo bicarain nggak ada manfaatnya sama sekali!"
"Tapi Shan ...."
"Gue ini abang lo! Sopan sedikit sama yang lebih tua!"
"Tapi cuma beda beberapa bulan, kok!"
"Mau lo apa sih?! Mau dapet bogeman dari tangan gue?!"
...***...
Ray menatap pintu itu, sudah lebih dari dua hari hanya mondar-mandir di dalam kamar rumah sakit membuat Ray bosan setengah mati. Ia bukan anak yang bisa diam di tempat dalam waktu yang lama. Dan hari ini ia bisa pulang dibekali dengan satu kantung obat yang harus ia minum selama beberapa hari.
Ia sudah membereskan barang-barangnya. Ia hanya menunggu Shan, Kensie atau siapa saja yang mau menjemputnya. Hari ini jam pembelajaran aktif, ia yakin Shan dan yang lainnya masih berada di sekolah. Apakah ia harus menunggu hingga nanti sore?! Ini baru saja pukul 10 pagi. Ray menghela nafas. Ia menenteng tas berisi barang-barangnya, setidaknya dia harus pergi ke depan rumah sakit. Mungkin sopir suruhan kakeknya sudah ada di sana, mengingat kakeknya adalah orang yang paling peduli dengan Ray. Hanya saja dia tidak punya waktu untuk bercakap-cakap dengan cucunya itu.
Tubuh Ray menegang ketika ia melihat ayahnya berjalan ke arahnya. Ray bertanya-tanya, apakah sang ayah datang untuknya?!
"Cepat, mobilnya sudah ada di depan," kata laki-laki itu dengan datar. Tak ada sedikit pun rasa sumringah atau senang atas kesehatan anaknya.
"Ayah jemput Ray?" Sang ayah memutar bola matanya.
"Kalau kamu masih cerewet, Ayah akan tinggal kamu di sini." Ray tersenyum lebar.
"Oke, siap!" katanya sambil memberikan hormat pada Arnold. Ia senang, tentu saja. Setelah sekian tahun tidak bertemu,membentangkan jurang yang cukup dalam di antara keduanya. Itu adalah percakapan pertama mereka.
Ray langsung masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah sakit. Begitupun dengan Arnold. Arnold tidak pernah memakai jasa sopir, sungguh walaupun kadang ia repot sendiri ketika lembur dan pulang sangat larut. Sudah pasti lelah.
Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan lain di antara keduanya. Ray menatap wajah ayahnya dengan senyum tipis di bibirnya.
"Apa ada sesuatu yang mau ayah sampaikan? Ayah tidak akan melewatkan jam kerja hanya untuk menjemput Ray, kan?" Arnold tersenyum remeh.
"Ayah cuma mau bilang, kamu jangan dekat-dekat dengan Sasha dan anaknya." Raut wajah Ray kembali suram.
"Kehadiran kamu di sini sudah cukup mengganggu pemandangan, jangan buat kesalahan lain dengan membuat orang lain kesal denganmu." Jadi ini apa yang ingin ayahnya katakan? Tidak seperti seorang ayah yang ingin melepas rindunya selama beberapa tahun. Tapi Ray masih tahu diri. Dia tidak akan egois. Biarkan dia menjadi seperti yang ayahnya mau.
"Jadi, kehadiran Ray di sini terlihat mengganggu ya? Lalu, kenapa Ayah nggak nolak waktu kakek minta Ray balik ke rumah?"
"Perintah kakekmu tidak akan ada yang bisa menolaknya."
"Tapi Ayah bisa diam-diam membunuhku dengan orang bayaran kan?" Arnold terkekeh.
"Aku tidak akan mau berhubungan dengan penegak hukum."
"Kalau aku mati bunuh diri, apa ayah akan senang?"
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments