Rasa yang selama ini berusaha Ray ungkap dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya, hanyalah sebuah bualan. Ia tak pernah baik-baik saja setelah sang ayah tidak lagi menginginkan keberadaannya. Senyum dan tawa yang ia umbar bersama dengan teman-temannya hanyalah sebuah topeng yang ia buat sedemikian rupa. Sedangkan dia yang sebenarnya sangatlah rapuh dan peka. Tapi ia tak bisa mengatakannya begitu saja. Sebab, rasa yang ingin ditutupinya membuatnya lemah di mata orang lain.
Dan hal ini kembali terjadi. Ia pergi dari Rion dan Karel hanya untuk mengisi waktunya dengan sendiri. Beberapa waktu lalu ia mendengar suara ayahnya dengan Sasha bertengkar hebat di dalam kamar. Hal yang membuat hatinya teriris adalah ketika ia mendengar suara tangis anak-anak yang terdengar pilu dari dalamnya.
Hal itu juga yang membuat dia berani untuk mengetuk pintu untuk melerai keduanya, walau ia yakin dia akan kembali dengan luka yang kembali terbuka.
...***...
Ini sudah malam, dan masih terdengar suara bising yang asalnya dari dalam pintu bercat coklat di hadapannya. Ray berulang kali menarik tangannya ketika hendak mengetuk pintu untuk menghentikan pertengkaran di dalamnya. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah ketika suara anak balita yang menangis dengan pilu di sebrang sana. Walaupun ia belum pernah melihat sosok bernama Renand, ia sudah yakin bahwa suara itu adalah miliknya.
Tok...tok...tok...
Akhirnya ia berhasil mengetuk pintu itu dengan getar hebat di kedua tangannya. Suara pertengkaran telah hilang, hanya meninggalkan suara tangis yang Ray yakini milik Renand.
Pintu itu terbuka, menampakkan sosok ayah dengan tatapan yang siap menikam jantungnya. Keduanya diam beberapa saat, memandangi satu sama lain. Sebelum akhirnya Arnold membuka suara.
"Mau apa?!"
Pertanyaan yang terlalu singkat. Tapi Ray tak ingin membentangkan jarak kembali diantara keduanya. Setidaknya, ayahnya masih mau melihat wajahnya.
"Ayah jangan bertengkar!" Suaranya lirih tapi dapat Arnold dengar dengan jelas di telinganya.
"Memangnya, ayah begini karena siapa?! Bukankah ini maumu?! Membuat perpecahan di antara ayah dengan istri ayah?! Iya kan?!" Ada senyum remeh keluar dari mulut Arnold. Tapi ada ganjil yang bisa Ray tangkap dengan jelas di antara sayu matanya. Ray hanya menghela nafasnya. Berusaha mendorong pintu di hadapannya, agar terbuka dengan sempurna.
"Kamu mau apa?! Kamu masih punya sopan santun kan?!" Ray hanya diam. Tidak mempedulikan sentakan yang Arnold lontarkan. Dan akhirnya, pintu itu terbuka lebar. Menampakkan seluruh isinya. Kemudian kembali membuat luka di hatinya. Bukan apa-apa, tapi ia tau dialah penyebab keduanya bertengkar hebat di hadapan anak kecil yang usianya kurang dari 5 tahun.
"Setidaknya ayah jangan bertengkar di hadapan Renand! Dia masih kecil!"
Wajah perempuan itu sudah basah oleh air mata dan juga rambutnya yang menempel di sela-sela wajahnya. Sedangkan Renand, dia hanya duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Membiarkan setiap detiknya masuk dalam relung jiwanya yang mulai rapuh dengan hal semacam ini.
Ray masih sibuk dengan pikirannya. Sedangkan tangan itu sudah berayun tepat di depan wajahnya. Kini hanya rasa sakit dan panas yang Ray rasa. Menjalar melalui syaraf-syarafnya. Langkah kecil itu terdengar menggema. Berdentuman dengan lantai yang membuatnya semakin kuat.
Renand memeluk kaki ibunya. Sambil terisak penuh dengan sesak dan putus asa.
"Mama jangan..." Dialah penyelamat Ray. Jika saja anak itu tak menghentikan ibunya, mungkin saja wajah Ray sudah hancur karena gamparan dari Sasha. Walau satu pukulan itu tepat mengenai wajah Ray.
Semuanya diam. Sasha kembali terisak. Dan Arnold hanya memukul pintu dengan kasarnya.
Enggak, enggak, enggak!!
Renand masih kecil. Seharusnya dia tak boleh melihat hal semacam ini. Mungkin saja, Ray bukanlah orang yang mudah akrab dengan seorang anak kecil seperti Shan. Tapi dia ingat betul, bahwa dirinya juga pernah merasakan bagaimana suasana seperti ini beberapa tahun yang lalu. Beberapa hal mungkin saja terjadi ketika emosi berada di sekelilingnya. Bahkan lupa akan anak yang menyaksikan dengan jelasnya bagaimana mereka saling mengumpat, atau bagaimana mereka saling memukul dengan kencangnya.
Ray mengambil tubuh Renand ke dalam gendongannya. Tidak peduli anak itu kini menangis sesenggukan.
"Bicaralah dengan pelan ayah, Renand tidak akan melupakan hal semacam ini. Jangan jadikan dia sepertiku!" Kemudian Ray meninggalkan keduanya. Setidaknya Renand sudah ada dalam pelukannya. Ia akan menutup telinganya jika pertengkaran itu kembali terdengar.
Karena ia tidak ingin membuat Renand bernasib sama dengan dirinya.
"Renand jangan takut, mereka cuma marah sama kakak. Maafin kakak ya..." Ray tak bisa berkata apa-apa selain hal itu. Sejujurnya, ia juga tidak pernah sangat dekat dengan anak-anak. Hanya saja, jika memang diperlukan Ray bisa untuk sekedar menjaga mereka.
Renand masih menenggelamkan wajahnya di dada Ray. Berusaha untuk menghilangkan air matanya. Tangannya gemetar, pertanda bahwa anak itu kini merasa takut. Ray mendekap anak itu dengan erat, berusaha untuk menenangkannya dan berharap agar ia bisa tidur sebentar lagi.
"Len takut..." Ray mengusap-usap punggung Renand. Berharap ia akan segera terlelap. Dan tak lama mata anak itu terpejam, dengkuran halusnya mulai terdengar.
...***...
Begitulah bagaimana semua luka yang dulu ia rasa kembali dengan melihat Renand menyaksikan kedua orangtuanya murka. Renand terluka karenanya. Semua bertengkar karena kedatangan Ray yang tiba-tiba dan tanpa diduga. Jadi, salahkah jika Ray merasa semua itu adalah salahnya?!
Ia bisa merekam setiap hal, dan rasanya seperti ditikam. Semakin ia mendengar kenyataan bahwa kehadirannya adalah sebuah kesalahan yang bahkan tak bisa diterima dengan rela oleh setiap orang.
Ray menghela nafas panjang. Kemudian ia melanjutkan langkahnya yang terasa berat. Melewati anak tangga tanpa tau ia akan kemana. Entah apa yang ada didalam pikirannya, sehingga pandangannya tak kontras dengan langkah kakinya. Karena detik berikutnya, ia hampir saja jatuh terjerembab kebawah sana. Kalau tidak ada seorang yang menarik lengannya dengan cepat, dan mengimbangi langkah gontai Ray.
Nafas Ray serasa berhenti sejenak, oksigen yang masuk kedalam paru-parunya serasa penuh dengan polusi dan membuatnya sesak. Karena hal itu membuat tempo dari detakan jantungnya meningkat.
"Kalau jalan pake kaki sama mata, liat langkah dong! Lo mau bunuh diri ya?!" Suara dingin itu menghiasi telinga Ray. Seketika ia mendongakkan wajahnya, untuk menatap siapa yang telah menyelamatkan hidupnya. Dari kelihatannya, sosok di hadapannya ini adalah siswa tingkat akhir sama seperti Shan dan Kensie.
"Enak aja mau bunuh diri, gue masih sayang nyawa. Masih sayang sama keluarga, nggak mungkin gue mau bunuh diri sia-siain waktu gue yang berharga! Lagian, gue tadi cuma nggak konsen aja. Bukan mau niat bunuh diri."
"Oh, lo mau cari sensasi ya?!".
"Sensasi apaan?! Gue bukan Syahrini! Gue itu cuma anak biasa yang kadang bisa nggak perhatiin jalan, dan jatuh tiba-tiba! Bukan mau cari sensasi apalagi sama orang kaya gini!!"
"Dasar cebol!" Ejekan itu keluar begitu saja dari mulut Erik. Tanpa ia tau, bahwa ejekan itu membuat manusia di hadapannya murka, dan bersiap-siap untuk melontarkan jurus seribu kata yang Ray pelajari bersama dengan Naruto.
"Enak aja gue dibilang cebol, gue nggak cebol ya?! Gue cuma lebih pendek beberapa senti dari lo. Dan gue ingetin ya, kalau gue itu orang normal. Jadi sah sah aja tinggi gue segini, karena gue bukan lo yang titisan pohon kelapa!!"
"Kalau gitu lo titisan pohon bugenvil!"
"Pohon bugenvil masih enak jadi pajangan! Kalau pohon kelapa bukan jadi pajangan, tapi ajang panjat pinang!"
"Heh, nggak ada ya panjat pinang pakek pohon kelapa! Yang ada pohon bambu!"
"Yah terserah, pokoknya gue nggak pendek. Titik!"
Erik menghela nafasnya sambil mengusap wajah. Sosok di hadapannya ini berbeda sekali dengan 5 orang yang lain. Dan pada kenyataannya Ray memang berbeda dengan Shan, Kensie, Sean, Karel juga Rion. Bukan apa-apa, tapi berdasarkan pengamatannya pada 5 orang itu, semuanya rata-rata tak memiliki sifat banyak cakap seperti yang satu ini.
"Lo berisik banget sih jadi orang! Bisa nggak kaya sodara lo yang lain aja?! Gue pusing sama omongan lo yang nggak ada gunanya!"di
"Gue ya gue, kenapa harus jadi kaya mereka?!! Kenapa semua orang selalu kait-kaitin sifat gue sama mereka. Mereka biarlah jadi mereka, dan gue cukup jadi gue yang apa adanya!"
"Berisik!"
"Gue nggak berisik, gue cuma banyak ngomong aja!"
"Dah lah,minggir! Gue mau lewat!" Erik melewati Ray begitu saja. Tapi rasa penasaran Ray memang nggak ada duanya. Mungkin saja ia sudah tertarik dengan orang yang baru saja menyelamatkannya. Atau ia cuma mau iseng dan hitung-hitung buat nambah temen. Tidak ada yang tau bagaimana pemikirannya.
"Kenapa lo ngikutin gue?!!" Kini langkah Erik terhenti. Dan matanya menatap Ray dengan tajamnya. Tapi, remaja itu malah melipat tangan di depan dada, dan membalas tatapan Erik tanpa takut.
"Gue bosen, pengen cari telinga baru buat dengerin setiap omongan gue!"
"Hah, lo bosen hidup?! Berurusan sama gue, artinya berurusan sama kakak-kakak lo yang nggak ada akhlak itu!"
"Abang-abang gue nggak gitu. Mereka itu sebenernya baik banget, cuma rada gengsi aja!"
"Gue nggak mau tau, pokoknya lo pergi dari hadapan gue!!" Sentak Erik dengan kasar.
"Gue, nggak akan berurusan dengan kalian!!" Ray kemudian diam. Sebenarnya ia sudah terbiasa dengan sentakan seperti ini. Tapi tetap saja rasanya sakit ketika mendengarnya.
"Nggak di rumah nggak di sekolah, sama aja!!" Gerutu Ray yang kini mulai menjauhi Erik. Bagaimana jika keberadaannya di sekolah dan di rumah di tentang oleh semua orang?! Dia akan pergi kemana?!
Dan di sana ia kembali pada Rion dan Karel dengan wajah tertekuk. Kemudian hanya diam yang menaungi ketiganya. Hingga jam pelajaran berakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments