Matahari mulai terlihat di ufuk timur. Udara masih sedingin malam tadi, bahkan orang-orang masih sibuk di dalam rumah. Sebagian dari mereka masih terlelap dalam mimpi, dan yang lain mulai mencari kesadaran walau hanya sebatas merebus air untuk membuat kopi atau teh.
Pukul lima pagi masih terlalu dini untuk memulai hari. Masih ada yang perlu Rion lakukan ketika pagi, yaitu menambah jam tidur. Hari Minggu adalah hari yang paling ia nanti. Karena di saat itu, ia bisa tidur dengan sesuka hati.
Ku menangiiiiiis....
Membayangkan, betapa keeejamnya dirimu atas diriku...
Rion terlonjak kaget. Suara yang sangat familiar itu ada di dalam ruangan ini. Tapi seingatnya Karel tidak menginap di sini malam tadi. Setelah ia mencari, ternyata suara itu berasal dari benda persegi yang ia tindihi.
"Haaah?!! Siapa masang alarm jam segini?!!" Jangan tanyakan siapa. Karena memang itu adalah rencana Sam. Setiap pagi, dialah yang paling sulit untuk di bangunkan. Sedangkan mereka berangkat sekolah bersama, kalau yang satu belum siap makan yang lain harus menunggu. Dan menunggu itu sangatlah tidak menyenangkan. Sam yang banyak akal itu tau, tidak ada yang suka ketika Karel bernyanyi lagu itu di pagi hari ketika mandi. Karena dia, semua orang di dalam rumah terbangun. Selain sebagai alarm alami, suaranya juga dapat merusak gendang telinga.
Rion mendengus kesal, namun tak berselang lama ia merasa ada yang janggal. Seingatnya, kemarin malam ia tak menggunakan selimut tebal, dan juga Ray masih berada di tempat tidur ketika terakhir kali ia membuka mata. Dan sekarang, dimana anak itu pergi?!
Rion langsung melangkah dari sofa. Ia bertanya-tanya, kemanakah si gigi kelinci itu pergi dari tempatnya?! Tidak taukah dia bahwa ada yang khawatir jika mengetahui ia tidak ada di pandangannya?!
"Ray!! Lo di mana sih?!"
"Hemmm!" Suara dehaman itu berasal dari seorang yang duduk di balkon. Gerakan Rion terhenti, kemudian memandang seorang yang sedang bersantai sambil menikmati terbitnya matahari. Ada beberapa bungkus cemilan di hadapannya, itu berarti ia di sana dalam waktu yang cukup lama.
"Ray, ngapain lo di sini pagi-pagi?! Nggak takut masuk angin, hah?!" Rion yang datang tiba-tiba, membuat Ray berdecak kesal. Pasalnya moodnya belum juga membaik dari semalam. Rion tidak tau saja, bahwa anak itu tetap terjaga semalaman penuh hingga pagi menjelang. Tentulah Rion akan marah ketika melihat Ray berada di balkon dengan pakaian tipis dengan lengan pendek. Ia pun akan mengeluh kedinginan ketika ia di sini dalam waktu yang lama.
"Gue mau cari sensasi baru, rasain dingin yang selain tatapan lo! Ternyata enak juga ya, daripada tatapan lo yang kaya pedangnya Raden Kian Santang!"
"Ck!" Rion berdecak, kemudian kembali masuk kedalam. Ray sudah teralihkan oleh yang lain. Langitnya begitu cerah, bahkan beberapa bintang masih terlihat memancarkan sinarnya. Sebenarnya ada banyak kata untuk merangkai bagaimana indahnya pagi ini. Hanya saja, Ray kini dalam mode senyap. Jadi akan sulit membuatnya kembali banyak bicara seperti biasanya.
Rion melempar selimut yang tadi ia pakai. Kini tubuh yang lebih kecil darinya itu tertutupi sepenuhnya oleh selimut tebal.
"Tuh, pakek aja! Sayangnya gue cari jaket nggak ketemu, ya udah selimut pun jadi!" Rion kini bergabung dengan Ray. Duduk di kursi sebelahnya dengan mata yang terus tertuju pada remaja jelmaan kelinci itu.
"Apa?!" Suaranya terdengar sangat ketus. Selimut yang menutupi seluruh tubuhnya kini hanya menyisakan wajah dengan tatap mata datar dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.
"Hah, gue minta maaf!" Kini Rion benar-benar tidak bisa menatap Ray seperti tadi. Kadar gengsinya kadang-kadang lebih tinggi daripada tinggi badannya.
"Gue nggak lagi salah denger kan?! Seorang Rionald Chandra Arrizco minta maaf?!" Ada sedikit senyum yang Ray sunggingkan. Ia tidak tahan melihat sikap Rion yang minta maaf dengan terpaksa.
"Apa?! Emangnya cara gue minta maaf itu salah?!"
Kini matahari benar-benar telah terbit. Nyatanya tawa Ray kembali terdengar. Memperlihatkan gigi kelincinya yang membuatnya tambah menggemaskan.
"Gue nggak bilang gitu, cuma lucu aja lo mau minta maaf sama orang!"
Rion mendengus kesal. Tapi ada lega dalam raut wajahnya, karena ia sudah melihat tawa di bibir orang di hadapannya.
"Itu kenapa?" Ray mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia sedikit bingung dengan pertanyaan Rion. Bahkan suaranya menjadi lebih serius. Ia hanya tak tau saja, bahwa Rion mulai menyadari lebam di pelipisnya yang kini mulai membiru.
"Apa?!" Rion menghela nafasnya.
"Maksud gue, itu pelipis..."
"Oh, ini?! Biasalah...ini kepentok pintu tadi pagi! Nggak liat jalan soalnya, gelap. Hehe..." Ray menyambar bungkus cemilan yang ada di atas meja. Dan mulai memasukkannya satu persatu kedalam mulut. Ia terlihat gugup. Kini ia tengah memikirkan topik apa yang akan ia ungkap berikutnya. Untuk mengalihkan pembicaraannya tadi.
"Sini! Gue liat!" Rion menggeser kursinya mendekat ke arah Ray. Tapi Ray refleks menjauh dan menutupi kening menggunakan kedua tangannya.
"Nggak nggak! Udah gue bilang ini kepentok pintu!" Rion menghela nafas kembali. Ia tau anak ini sedang berbohong. Dari gerak-geriknya saja sudah terlihat bahwa ia memang benar sedang berbohong. Tapi kali ini, Rion akan mengalah. Sejujurnya, ia tak tau mengapa anak ini menutupi aib ayahnya hingga sedemikian rupa. Bahkan jika Rion ada di posisi Ray, ia jelas-jelas akan melaporkan hal ini ke kakeknya. Atau kalau tidak menyebarkan rumor bahwa Arnold bukanlah orang yang sebaik kelihatannya.
"Iya, gue tau itu lebam gegara kepentok pintu! Gue juga tau, lo cerobohnya minta ampun! Buat lebam dikit kaya gini buat lo sih biasa, kan?!" Ray mengangguk. Ia tidak tau bahwa kini Rionlah yang berbohong padanya. Mengatakan ia percaya padahal sebenarnya tidak.
Ray kembali pada posisinya.
"Gue cuma mau liat, boleh kan?!" Ray mengangguk. Tanpa ada curiga sedikitpun.
"Ini butuh di kompres biar cepet hilang, tunggu ya?!" Ray mengangguk. Padahal setelah langkahnya tak terlihat, Rion mengutuk dirinya sendiri. Mengatakan dalam hati bahwa ia tak berguna. Andai saja ia lebih cepat sampai di sana, tanpa menunggu Arnold keluar dari pekarangan, mungkin saja Ray tidak akan mendapat luka.
...***...
Ada satu dua hal yang selama ini Kensie takutkan. Yaitu saat nilainya jelek dan mendapatkan amukan papanya, dan kedua saat ia melihat Shan dengan emosi yang meluap luap. Seperti malam kemarin yang membuat hati dan pikirannya cukup kusut.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia dan yang lainnya sudah pulang dari apartemen ayahnya sejak sore tadi. Meninggalkan Shan yang memaksa untuk tinggal, menemani Ray yang memang seorang diri. Namun entah kenapa ada yang janggal untuk malam ini. Ia sendiri tidak tau mengapa, tapi yang jelas ia tidak bisa tidur dengan tenang. Dan akhirnya ia memilih untuk berkeliling dalam rumah sebentar, kemudian tidur ketika lelah.
Namun nyatanya, rencana untuk bisa tidur tidaklah semudah yang ia bayangkan. Karena baru beberapa langkah ia dari kamarnya, Kensie mendengar suara pintu didobrak dengan kencangnya. Menimbulkan suara menggema yang mungkin saja semua orang bisa mendengarkannya.
Kensie berlari kearah pintu depan, suara itu berasal dari sana. Setidaknya untuk memastikan bahwa maling tidak masuk dari pintu depan.
Nafasnya masih terengah-engah. Langkahnya terhenti ketika melihat Shan yang datang dengan kacaunya. Rambut berantakan dan tatapan mengerikan yang tak pernah ia lihat beberapa tahun belakangan. Dari sini, ia bisa melihat tatapan murka dari Shan.
BRUAKK...
Shan menendang pintu dengan kencangnya. Menimbulkan suara berdentum yang cukup keras untuk mengumpulkan beberapa orang di dalam rumah.
"Shan!!! Lo apa-apaan sih?!" Kensie putuskan untuk mendekat. Bagaimanapun, di sini hanya ada dirinya. Setidaknya sebelum yang lain datang dengan tanya di setiap benaknya.
"Di mana om Arnold?!" Suara itu terasa sangat dingin. Bahkan saat ini Kensie merasa takut.
"Gue bilang, di mana om Arnold?!!" Suaranya semakin kencang. Ada banyak hal yang bisa Kensie tanyakan. Tapi lihatlah Shan sekarang! Ia masih penuh dengan amarah yang meluap di setiap geraknya.
"Gue nggak tau, om Arnold belum pulang!" Hanya itu yang bisa Kensie katakan. Karena setelahnya ia hanya bisa menahan gerakan Shan yang akan menyambar apa saja untuk di hancurkan.
"Lo tenang Shan!! Lo kenapa, hah?!"
"Ini ada apa?!" Kakek dengan beberapa orang dibelakangnya yang tak lain adalah Karen dan Septian mulai mendekati mereka berdua. Keributan yang telah mereka buat, membuat seisi rumah termasuk Karel, Sean, dan Sam juga ikut ke ruang depan.
"SHAN!! Ada apa denganmu, hah?!" Septian mulai mendekat. Dan kini Kensie mulai melepaskan kungkungannya. Membiarkan remaja itu menjelaskan. Ia bisa dengan jelas melihat amarah keluar dari Shan.
Penjelasannya di dengarkan semua orang. Dan di sini mereka tau bahwa Ray memang sedang terguncang. Ia butuh dukungan setiap orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments