Chapter 19

Setelah memperdebatkan apa yang akan mereka makan, mereka akhirnya berhenti di warung bakso langganan anak sekolah mereka. Kebanyakan sudah sering makan kesini dan sudah tau kelezatan makanannya.

Hanna duduk di sebelah Ronin. Pemuda itu mengikutinya bagai anak kecil yang mengikuti ibunya. Begitu menggemaskan sekaligus merepotkan. Tapi Hanna sepertinya tidak terlalu ambil pusing karena gadis itu tampak cuek-cuek saja.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan mereka datang juga. Ketiga perempuan itu tampak semangat menerima mangkok mereka. Memang benar katanya kebanyakan wanita itu adalah pecinta bakso. Atau lebih tepatnya pecinta makanan.

Hanna meraih mangkok sambal yang berada di dekatnya. Namun sebelum dapat mengambilnya, Ken telah terlebih dahulu mengambilnya dan mengarahkannya ke tengah, menjauh dari jangkauan gadis itu. Hanna hanya memandangnya tajam, namun tak mengatakan apa-apa. Namun tindakan Ken barusan sudah terlanjur dilihat oleh Ronin dan Felline yang memang berada di dekat mereka. 

“Lo mau sambel?” Ronin menawarkan. Pemuda itu mendekatkan mangkok sambal yang sebelumnya telah dijauhkan Ken, ke dekat gadis itu. Hanna mengambilnya dengan semangat. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok. Hanna menutupnya kembali. “Princess, maksud gue bukan yang sebanyak itu.” Ronin protes, mendadak khawatir.

“Tapi gue maunya segini.” Hanna menjawab santai.

“Kamu kuat sama sambel?” Felline ikut bertanya. Gadis itu baru pertama ini makan bareng Hanna sehingga tidak tahu tabiat gadis ini.

“Nggak terlalu.” Hanna masih santai saat mengatakan ini, gadis itu mengaduk baksonya dengan tenang.

Ronin tercengang. “Lah terus?!” Hampir saja dia berteriak. 

"Ini nggak terlalu banyak."

Ken menyeringai mendengarkan penjelasan Hanna. Gadis itu benar-benar susah diatur. Padahal juga sering sakit tenggorokan karena sambal tapi tetap saja kecintaannya terhadap rasa pedas tak bisa hilang. 

"Nggak terlalu banyak gimana maksudnya?" Ronin gemas. Pemuda itu menggertakkan giginya. Benar-benar ya gadis ini. Jadi menyesal dia mengikuti kemauan gadis ini. 

"It's ok, Ronin. I can handle it." Hanna tersenyum. Gadis itu benar-benar tersenyum sampai ke mata. Ken bahkan hampir menjatuhkan sendoknya melihat senyum gadis ini. Karena ya siapa pun tau bahwa Hanna sangat jarang sekali tersenyum. Dan sekarang tersenyum pada Ronin, pemuda sangar ini? Siapa dia sampai berhak mendapat senyuman Hanna? 

Sementara Ronin, sepertinya senyuman Hanna memang kelemahannya. Pemuda itu tak protes lagi, membiarkan gadis itu makan dengan tenang. 

Dia jadi berpikir, kenapa pemuda itu jadi mudah luluh begini? 

Hari telah sore saat Ronin mengantar Hanna sampai ke rumah. Sepanjang perjalanan, pemuda itu hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Sejauh yang Hanna tahu, pemuda ini bisa dibilang cerewet. Selalu ada saja hal-hal yang dibicarakan jika mereka bersama. Jadi kalau sudah begini, apa berarti ada sesuatu? 

"Ronin," panggil Hanna saat mereka tiba di depan rumah Hanna. Gadis itu memandang Ronin lekat-lekat yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. 

"Hmm?"

"Ada apa?"

Ronin menggeleng pelan, tersenyum. "Nggak papa."

Hanna masih memandangnya. Meraih tangan pemuda ini perlahan. "Lo marah sama gue?"

“Nggak, Princess.” Ronin masih tersenyum. Pemuda itu kini ganti yang menggenggam jemari tangan Hanna. Hangat sekali tangan gadis itu, seperti biasa.

Hanna sepertinya masih tak percaya. Namun gadis itu tak mengatakan apa-apa, hanya memandang pemuda itu lekat-lekat membuat Ronin salah tingkah sendiri. Pemuda itu akhirnya mengakui keresahannya. “Gue cuma.. nggak percaya diri. Gue nggak tahu banyak tentang lo dan gue takut kalau apa yang gue lakukan justru menyakiti dan membahayakan lo. Seperti apa yang sahabat lo katakan.”

“Hmm.. masalah sambel?”

Ronin tertawa. “Ya itu salah satunya.”

Kini ganti Hanna yang tertawa. “Hey, it’s ok. Gue tahu batasan gue dan gue bisa menjaga diri gue sendiri.” 

“Tapi gue pengen jagain lo, Hanna sayang.” Ronin mencubit pipi gadis itu gemas. 

Hanna kembali tertawa, menampilkan deretan giginya yang rapi. “Oke oke, sorry gue terbiasa sendiri.” Gadis itu terdiam sesaat. “Yaudah, lain kali gue dengerin pendapat lo dulu.” Lagi lagi, gadis itu tersenyum.

Astaga, Ronin berkali-kali lupa bernapas kalau seperti ini terus. 

“Oke, kalo gitu gue balik dulu.” Pemuda itu memegang puncak kepala Hanna, mengacak rambutnya perlahan. Lalu mengusap pipi gadis itu. 

Hanna mengangguk seraya tersenyum. Saat Ronin hendak melepaskan tangannya, Hanna kembali menariknya, membuat fokus pemuda itu kembali padanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, gadis itu mengecup pipi Ronin singkat. 

Sangat singkat. Namun pemuda itu rasanya seperti terkena aliran listrik. Pemuda itu terpaku saat melihat Hanna yang tersenyum begitu manis. 

“Makasih udah anterin gue,” ucap gadis itu tersenyum malu-malu. Kalau saja tak ingat kalau mereka sedang berada di depan rumah gadis ini, mungkin Ronin sudah memeluknya bahkan menciumnya saking gemesnya.

Btw, maksudnya apa itu tadi? Apa itu berarti Hanna sudah menerimanya?

Ronin bahkan tak sempat berpikir.

Senyum Hanna mendadak lenyap saat gadis itu menutup pintu. Papanya telah berdiri disana. Tepat di depan layar monitor kecil yang menampilkan tangkapan cctv di depan pagar rumah mereka. 

“Papa..” Hanna menyapa takut-takut. Gadis itu meskipun sombongnya setengah mati di sekolah, namun sangat menghormati papa juga mama nya.

“Dari mana, sayang? Baru pulang?” tanya Papanya pelan, namun terasa dingin di telinga Hanna.

“Iya Pa, ada rapat.” 

“Akhir-akhir ini kamu jarang dijemput Pak Slamet, kenapa?” Adra, Papa Hanna kembali bertanya. Garis wajahnya sangat tegas dan kaku. Padahal, meskipun beliau kakunya luar biasa, tapi biasanya selalu sabar dan mengayomi anak semata wayangnya ini.

“Iya, ada banyak kegiatan, Pa. Nggak tentu pulangnya jam berapa. Kasihan Pak Slamet kalau nunggu.” Hanna berdalih. Gadis itu ingin cepat-cepat melesat ke kamarnya, takut ada pertanyaan lain-lain setelah ini. 

“Bukannya dari dulu juga seperti itu? Terus sekarang pulang sama siapa?”

Hanna mengeratkan pegangan pada tasnya. “Temen,” jawab gadis itu pelan.

“Teman yang sudah melukai kamu dua kali?”

Sesuai dugaan. Papanya benar-benar menanyakan ini. Sesuatu yang sudah sejak lama Hanna khawatirkan. Gadis itu mendongak, menatap Papanya yang juga menatapnya, menunggu jawaban Hanna. “Dia nggak sengaja, Papa. Ronin nggak bermaksud melukai Hanna. Hanna saja yang ceroboh.”

“Tapi kamu setuju kan kalau dia bisa menyeretmu ke dalam bahaya?” 

“Hanna bisa jaga diri, Pa.”

Adra memperhatikan Hanna. Menatap putri semata wayangnya lekat-lekat. Kekhawatiran terlihat jelas dari tatapan matanya. “Kamu menyukainya?” tanyanya pelan, tak lagi emosi seperti sebelumnya.

“Dia baik, Pa. Ronin nggak pernah jahat sama Hanna.”

“Papa tanya, apa kamu menyukainya?”

Hanna semakin mengeratkan pegangannya pada tas sampingnya. Gadis itu menunduk, tapi perlahan mengangguk singkat membuat Adra menghela napas. “Kamu sadar apa bahayanya jika bersama dengan anak seperti itu?”

Hanna mendongak. Entah kenapa emosinya tersulut saat mendengar pertanyaan papanya. “Anak seperti apa maksud Papa? Papa nggak kenal Ronin. Papa nggak tau dia seperti apa.”

“Papa tau, papa sudah cek semuanya. Mamanya jadi sekretaris utama direktur perusahaan ternama, tapi single parent. Tidak punya keluarga lain, tidak ada info tentang papanya. Dia brandal, doyan tawuran, keluar masuk BK, bahkan keluar masuk rumah sakit. Musuhnya ada dimana-mana. Dia incaran banyak orang, sayang. Apa jadinya kalau kamu sama dia? Papa nggak bisa ngebiarin anak satu-satunya Papa menantang bahaya.” 

“Pa, papa mendidik Hanna sebagai seorang anak yang pemberani, yang tangguh.”

“Pemberani bukan berarti harus menantang bahaya, Hanna.” Adra menatap putrinya. Memang benar jika ada yang bilang kalau anak adalah cerminan diri kita. Hanna keras kepala, tangguh, tak bisa dilawan, seperti dirinya. Tapi yang membuat repot, gadis kecilnya ini baik hati dan murni, seperti istrinya. Benar-benar perpaduan yang menarik.

“Pa, Hanna bisa jaga diri.” Hanna masih berusaha meyakinkan papanya. 

“Papa yang akan menjaga kamu.” Adra diam sejenak. “Mulai besok, papa yang akan mengantar jemput kamu ke sekolah.” Final. Tak dapat dibantah. Hanna hanya mampu menatap papanya yang kembali ke ruang kerjanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!