Hanna masuk ke kelas saat hampir semua siswa memandangnya. Untungnya guru belum datang jadi dia bisa masuk dengan mudah. Gadis itu duduk saat Felline meliriknya dari atas ke bawah.
Seperti ada yang aneh.
“Kenapa?” tanya Hanna. Pertanyaannya yang tiba-tiba membuat Felline mengerjap dan menggeleng kaget. Gadis itu kembali menunduk yang justru membuat Hanna semakin bingung. Apalagi memperhatikan teman-temannya yang lain yang seperti tak berhenti memandangnya sinis. Hanna yakin pasti ada sesuatu.
“Felline?” Hanna kembali memanggil gadis di sampingnya.
Felline mengulum bibir, mulai menggigit bibir bawahnya tampak tak nyaman saat Hanna mulai memandangnya lurus-lurus, malah jadi dia yang serba salah. “Ya?”
“Ada apa?” Hanna bertanya sambil tersenyum, tapi entah mengapa nadanya begitu mengintimidasi. Membuat gadis di sampingnya kembali menggeleng cepat. Respon yang kelewat cepat menurut Hanna.
“Nggak papa,” Gadis berambut terurai itu menambahkan di sela-sela gelengannya yang terasa kurang meyakinkan di mata Hanna. Gadis itu mencoba untuk tersenyum. “Kamu dari mana?”
Kini jadi Hanna yang salah tingkah.
“Dari.. ruang osis?” Hanna menjawab, malah terdengar seperti pertanyaan di telinga Felline.
“Oh, ketemu sama Ken?”
Tepat sasaran.
Hanna berdehem sekilas. Pandangannya berubah. Matanya kini justru tertarik pada meja di depannya. “Umm ya,” jawabnya sedikit menggumam, menyembunyikan salah tingkahnya.
“Oh.” Felline ber-oh ria. Kepalanya dipenuhi dengan tanda tanya. Terlalu banyak kejadian semenjak dirinya bersekolah disini. Bertemu dengan Hanna, sahabat, partner sekaligus saingan kekasihnya. Felline tak masalah sebenarnya, tetapi interaksi mereka benar-benar mengganggu pikirannya. Terlebih bagaimana Ken memperlakukan Hanna, siapa yang akan percaya bahwa mereka cuma sahabat? Lalu tiba-tiba di waktu istirahat yang sebenarnya cerah ini, semuanya membicarakan tentang Hanna yang keluar dari ruangan tertutup, diikuti oleh Ken.
Tolong dicatat, keluar dari ruangan tertutup. Ingin sekali Felline untuk percaya kekasihnya tapi kenapa rasanya sulit sekali?
Apalagi semua orang juga tahu bagaimana mempesonanya Hanna. Gadis di sebelahnya itu teramat cantik dengan garis wajahnya yang tegas dengan postur tubuhnya yang ideal, tidak terlalu tinggi tapi juga tidak pendek, bahkan lebih tinggi dari Felline. Gadis itu juga punya tubuh yang berisi, terlihat menarik dimata banyak lelaki. Ditambah dengan sifat Hanna yang mandiri dan penuh percaya diri.
Terkadang Felline bertanya-tanya, benarkah Ken tak pernah menaruh hati pada sahabatnya ini?
—
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Hanna masih bersantai sambil perlahan merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas ransel kecilnya. Gadis itu memang selalu menunggu agak sepi sebelum beranjak pulang. Dia tak suka berdesak-desakkan. Berpapasan dengan terlalu banyak orang juga terkadang terasa menyebalkan bagi Hanna. Apalagi banyak yang sering menatap sinis pada gadis itu. Meskipun Hanna terlihat sangat percaya diri tapi lebih baik menghemat tenaga daripada berhadapan dengan mereka.
Hanna menoleh ke bangku sebelahnya. Gadis sebangkunya sudah terlebih dahulu meninggalkan kelas. Katanya ada ekskul nanti sore sehingga dia ingin segera pulang dan rebahan sebelum waktu kembali menyitanya untuk beraktifitas. Hanna hanya mengangguk menanggapi gadis sebangkunya itu yang seringkali pulang terburu-buru.
Saat kelas sudah mulai sepi dan hanya tinggal beberapa siswa, Hanna sudah bersiap keluar saat tiba-tiba suasana mendadak ramai. Beberapa siswa di luar tampak berlarian, seperti ada pertunjukan di luar sana. Hanna mengernyit, merasakan ada sesuatu yang tak beres.
Persis seperti dugaannya. Ada seorang siswa yang tampak tergopoh menghampiri kelas Hanna. Napasnya tersengal. Pandangannya lurus ke arah seseorang di bangku belakang. “Heh, tolongin, temen lo bisa bunuh temen gue!” lapornya kebingungan.
Hanna diam sesaat. Gadis itu menoleh ke belakang hanya demi menemukan Jun yang juga menatapnya.
Bingo. Seperti bisa memikirkan hal yang sama, keduanya segera meninggalkan kelas, mengikuti sumber keributan. Mereka memasuki kelas yang tampak begitu ramai heboh di luar maupun di dalam ruangan.
Hanna terhenyak. Gadis itu membelah keramaian mencari sumber keributan. Gadis itu terpaku menyadari pemuda yang baru-baru ini dekat dengannya, lagi-lagi menyerang temannya.
Astaga.
Hanna tak habis pikir bagaimana pemuda ini selalu punya waktu untuk berkelahi.
Hanna melayangkan tatapan membunuh pada Ronin, yang kini menyadari kehadirannya. Dia tetap bergerak maju berusaha menghampiri pemuda itu, namun Jun menghentikannya. Pemuda beralis tebal itu menahannya seraya melayangkan tendangan pamungkas ke arah lawan Ronin yang masih berusaha bergerak menyerang, hingga akhirnya pemuda itu terjatuh tak mampu melawan lagi membuat Hanna melirik tajam ke arah Jun.
Apa-apaan ini maksudnya? Hanna tahu pemuda itu berusaha menolongnya dari serangan yang mungkin akan salah sasaran lagi tapi astaga….
Hanna memejamkan mata berusaha berpikir dengan tenang.
Gadis itu lalu mengedarkan pandangan, menemukan seorang siswa yang dia kenali sebagai anggota PMR di sekolahnya. Gadis itu memberi kode sekilas membuat siswa tersebut sedikit bingung. “Lo PMR kan?” tanya Hanna to the point yang mau tidak mau membuat siswa tersebut akhirnya bergerak. Hanna melemparkan pandangan ke arah siswa lain yang juga anggota PMR hingga dia tak punya pilihan selain mengikuti perintah Hanna. Kedua siswa yang juga teman seangkatan Hanna itu pun bergerak menolong, memapah pemuda yang menjadi lawan Ronin, lalu membawanya ke UKS.
Hanna mengalihkan pandangannya ke arah Ronin. Pemuda itu masih memancarkan mata berkilat emosi, tapi sedikit melembut saat Hanna memandangnya. Tanpa banyak bicara gadis itu pun meraih lengan Ronin dan membawanya menjauh dari kerumunan. Mengabaikan puluhan pasang mata yang memperhatikan mereka.
Hanna membawa Ronin ke taman belakang gedung sekolah. Gadis itu mendudukkan Ronin ke salah satu bangku. Ronin, seperti seorang anak kecil yang baru ketahuan nakal oleh orang tuanya, menurut saja saat Hanna mendudukkannya. Mata elangnya memperhatikan Hanna yang juga sedang menatapnya dengan raut muka yang susah ditebak. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ronin terkesiap saat menyadari gadis itu seperti akan menangis.
“Princess.” Ronin memanggilnya. “Lo marah?” tanyanya sembari mengelus pipi gadis itu dengan lembut.
“Nggak.”
“Jadi.. lo khawatir?” tanyanya lagi hati-hati sembari memegang kedua tangan gadis itu.
Hanna memejamkan mata. Menenangkan dirinya sejenak. “Apa harus selalu berantem? Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik? Kenapa nggak diabaikan aja?” tanyanya frustasi.
Ganti Ronin yang memejamkan mata. Pemuda itu mengingat kembali bagaimana lawannya yang tadi dihajarnya habis-habisan berbicara yang tidak-tidak tentang Hanna. Bagaimana dia bisa mengabaikan saja seperti saran gadis ini?
“Mereka bukan orang yang bisa diajak bicara baik-baik, Hanna.”
“Tapi apa harus dengan berantem? Lo bisa melukai diri lo juga.”
“But i’m ok. Ya?”
Hanna menghela napas. Menyadari pemuda di hadapannya sama keras kepalanya seperti dirinya. Gadis itu pun akhirnya menyerah untuk berdebat. Mengalihkan pandangan pada luka-luka yang Ronin terima. Tanpa banyak kata, gadis itu pun segera membuka tasnya untuk mencari pouchnya yang selalu dia bawa. Dia lalu mengeluarkan beberapa perlengkapan medis, dan mulai mengobati luka pemuda itu dengan sabar. “Yang kayak gini apa ok?” tanyanya separuh menyindir.
Ronin menyeringai. “Kan ada lo yang bakal rawat gue,” balasnya santai. Membuat Hanna melayangkan pukulan kecil pada lengan pemuda ini.
Pemuda itu tertawa pelan. Dilihatnya gadis yang masih saja tampak sibuk mengobatinya. Gadis yang selalu saja mendatanginya saat dirinya terluka seperti ini. Tak pernah bosan mengobatinya meskipun seringkali dia mengomel namun tetap tak berhenti peduli. Tangannya bergerak mengelus rambut gadis itu membuat Hanna sedikit bergerak lebih pelan.
“Princess…” panggilnya sekali lagi membuat pipi Hanna memerah. “Lo masih belum mau terima gue?” tanyanya sambil masih menyisiri anak rambut Hanna yang jatuh perlahan.
“Sebagai apa?”
“Your lover.” Ronin berbisik. Dia menyadari perubahan wajah gadis itu membuat Ronin ingin terus menggodanya. Dijumputnya beberapa helai rambut Hanna dan disisipkannya ke belakang telinga membuat gadis itu semakin tak mampu menahan wajah merahnya.
“Lo lagi berusaha merayu gue?” tanya Hanna pelan sambil menatap manik mata elang itu.
“Nggak.”
“Lalu?”
Ronin tersenyum. Ditatapnya wajah gadis yang sangat disayanginya ini. "Gue cuma mau bilang kalau apa yang gue katakan sebelum-sebelumnya itu serius."
Hanna menghentikan aktivitasnya. "Ronin, gue suka sama lo, tapi gue butuh waktu."
Pemuda itu masih tersenyum. "Ok, take your time, Princess," jawabnya tenang sambil mengelus pipi gadis itu.
—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Inasitinurhasanah
seharusnya si hana itu jang mau di pegang pegang sMa si ròhim apa lg daerah gunung nya,,hrsnya wajar aja jng kelewatan,,,di ajak pacaran malah gk mau ,,di raba raba mau
2023-09-13
0