Beberapa hari berselang. Kali ini, Hanna tidak akan melipir kemana-mana. Meskipun rasanya Hanna sudah hampir gila mendengar omongan teman-temannya yang semakin aneh-aneh mengomentari hubungan rumitnya dengan Ken dan juga Felline, tapi Hanna harus menahan diri. Karena terakhir kali dia kabur dan bersembunyi, Hanna malah mempermalukan dirinya sendiri dengan menangis di pelukan Ronin, pemuda yang memiliki semacam hubungan tom and jerry dengan dirinya.
Tapi memang tidak semudah itu.
Ken masih jadi Ken yang biasa. Entah bagaimana Hanna menyebutnya. Ken memang segitu tergila-gilanya pada pacarnya, namun juga selalu menaruh perhatian pada Hanna. Sedangkan Felline, jarang sekali menaruh cemburu dan malah memberikan perhatian yang sama pada gadis berkuncir ala Jinny ini. Hanna masih tak habis pikir dengan mereka berdua.
Mereka ini sebenarnya malaikat atau bagaimana? Kenapa membuat Hanna merasa aneh dan jadi tak enak sendiri.
Hanna menghela napas. Sebenarnya bosan. Akhir-akhir ini dia tidak terlalu banyak kegiatan, jadi satu-satunya tempat yang bisa ia tuju saat jam istirahat adalah kelasnya sendiri. Kecuali, kalau Hanna berencana bertemu pemuda bar-bar itu lagi sih.
Tapi wait, kenapa Hanna jadi peduli? Siapa dia sampai bikin Hanna jadi seperti ini?
Hanna nih bos. Masak takut sama cowok model begitu? Lagian belum tentu ketemu juga kan? Siapa tahu dia malah sibuk tawuran di suatu tempat?
Iya juga.
Akhirnya setelah meyakinkan diri sendiri. Hanna mulai beranjak, berjalan keluar kelasnya. Hanna tak punya teman, itulah kenapa dia selalu kemana-mana sendirian. Satu-satunya teman yang peduli padanya hanya Ken, awalnya begitu. Sampai akhirnya Felline memberikan perhatian yang sama.
Sebenarnya mereka juga sering kali mengajak Hanna ikut, entah itu sekedar makan siang, ke perpustakaan, ataupun jalan-jalan santai di taman. Tapi toh tak mungkin Hanna menyiksa dirinya sendiri dengan mengikuti mereka berdua. Jadilah dia selalu menolak hingga akhirnya sendirian lagi.
Kecuali kalau ada pemuda bermata elang itu lagi.
Lagi-lagi Hanna teringat pada orang ini.
Siapa dia sampai berhak memenuhi pikiran Hanna?
“Eh ada apaan tuh?”
Mode berjalan tanpa tujuan ala Hanna terhenti saat tiba-tiba suasana sekolah menjadi ramai. Para siswa tampak menuju ke arah yang sama. Membuat Hanna mengerutkan keningnya, tiba-tiba merasa dejavu.
Tanpa pikir panjang, Hanna segera berlari menuju ke arah sumber keributan. Dan seperti yang telah Hanna duga, seperti benar-benar dejavu, pemuda preman sekolah itu berulah lagi.
Kali ini dengan orang yang berbeda, dengan 2 orang sekaligus.
Astaga.
Hanna memejamkan matanya frustasi. Baru juga dianggap Hanna merasa tenang dan tak ada kegiatan, pemuda ini sudah buat masalah lagi. Apa nggak bisa kah sesaat saja tanpa memukuli orang? Apa dia akan alergi kalau dia anteng sedikit?
Hanna menyeruak di antara para penonton yang sepertinya tak ada yang tertarik melerai, malah menonton dengan seru. Kini dia di barisan paling depan. Kali ini tak lagi berteriak terlalu khawatir karena sepertinya mereka bertiga masih aman.
Toh Ronin kan kuat ya, dia tak mungkin semudah itu ditumbangkan bahkan oleh beberapa orang sekaligus.
Eh? Kenapa Hanna peduli?
Hanna menatap lurus-lurus ke arah pemuda bermata elang yang masih sibuk melawan dua pemuda lainnya ini. Sebuah kesalahan sepertinya, karena kehadiran Hanna membuat pemuda itu jadi melihat ke arahnya, terdiam sesaat hingga akhirnya Hanna melihat sesuatu yang aneh.
Satu cowok yang tadi ditumbangkan oleh Ronin, tidak mengabaikan kesempatan saat pemuda itu mulai lengah. Kini mengambil salah satu kursi yang berantakan, mengangkatnya dan berencana mengarahkannya pada pemuda bermata elang itu.
Hanna terperangah, dan kembali seperti dejavu, gadis itu tanpa sadar berlari ke arah pemuda ini.
Salahkan Hanna yang bergerak tanpa pikir panjang.
Salahkan Hanna yang seperti tidak memiliki koordinasi antara kaki, otak dan hatinya.
Salahkan jiwa murni Hanna yang secara otomatis menolong tanpa berpikir.
Gadis itu berlari, menghambur ke arah Ronin, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. Sungguh aksi heroik yang membuat Ronin tak mampu berpikir lagi, saat punggung dan kepala gadis itu terhantam kursi dengan keras.
Kenapa seperti ini? Kenapa seorang Ronin harus ditolong oleh gadis lemah tak berdaya seperti ini?
Ronin berteriak, panik saat gadis itu mulai kehilangan keseimbangan. Tangannya mendekap gadis itu erat-erat. Ingin sekali menghajar pemuda salah sasaran yang membuat gadis dalam dekapannya jadi tak berdaya begini. Tapi tidak sekarang. Tidak untuk saat ini. Karena prioritasnya sekarang hanya gadis ini.
—
Ronin memandang gadis di depannya lekat-lekat. Gadis itu tampak tertidur dengan tenang, seperti tak ada beban dalam dirinya. Ronin membelai rambut gadis itu dengan lembut. Tersenyum getir masih tak menyangka apa yang telah terjadi.
“Lo siapa sih sebenernya?” tanyanya entah pada siapa. Karena gadis itu masih belum sadarkan diri hingga tak mampu menjawab pertanyaan Ronin.
“Kenapa lo peduli sama gue?” Pertanyaannya mengudara. Hening. Ronin masih tenggelam dalam pertanyaannya sendiri saat tiba-tiba ada suara berisik dari luar ruangan.
Ronin beranjak, dilihatnya sepasang paruh baya sedang berbicara serius dengan dokter. Ronin dapat menduga kalau mereka adalah orang tua Hanna. Bersamaan dengan itu sepasang muda mudi juga masuk ke ruangan itu. Ken dan Felline. Keduanya langsung melihat ke arah Ronin yang sudah lebih dulu di dalam ruangan.
Mata Ken berkilat emosi ketika beradu dengan Ronin. Tanpa pikir panjang, dipukulnya wajah pemuda jangkung yang sedari tadi menunggui Hanna ini. Felline segera melerainya, mencegah sesuatu yang lebih jauh terjadi.
"Ken, ini rumah sakit." Felline mengingatkan.
Ken tidak seberapa peduli dan masih memandang marah ke arah Ronin. "Ngapain lo masih disini?"
"Gue mau nunggu sampai Hanna sadar."
"Ada apa ini?" Kedua orang tua Hanna masuk ke dalam ruangan. Keduanya sangat rapi, dalam sekali lihat Ronin tahu kalau mereka dari keluarga terpandang.
Ronin maju menyeruak di antara sepasang temannya ini, membungkuk sejenak memberi salam. "Maaf om, ini salah saya. Hanna begini karena menolong saya," ujarnya sopan.
Adra, Papa Hanna mengamati Ronin dari atas ke bawah, pandangannya menyelidik sekaligus mengintimidasi. "Kamu yang waktu itu juga melukai anak saya kan? Saat tawuran juga," tanya pria paruh baya itu mengenali wajah Ronin.
"Iya om," jawab Ronin jujur. "Saya minta maaf."
Mata Adra berkilat emosi melihat pemuda ini yang sudah menyebabkan anaknya terluka dua kali. "Sebaiknya kamu jangan dekat-dekat dengan anak saya," ucapnya tegas.
"Maaf om, saya akan tetap disini sampai Hanna pulih."
Ken menyambar, “Mau lo apa sih?” Dirinya menyambar kerah baju Ronin penuh emosi. Entah kenapa dia kesulitan menahan emosinya jika itu menyangkut orang-orang yang disayanginya. Padahal dia terkenal sabar dan tenang.
“Mau gue apa? Emang apa urusan lo?” Ronin malah mendekat. Pemuda itu tidak takut sama sekali. “Lagian lo juga bukan siapa-siapanya Hanna,” lanjutnya sedikit berbisik.
Ken hampir saja menonjok wajahnya yang sudah penuh luka itu jika Felline tidak segera menahannya.
Felline lalu berbalik meminta Ronin mengerti. “Mending kamu pulang dulu, suasananya nggak bagus, kasihan Hanna,” bujuknya. Sebelum Ronin sempat menyela, gadis ini kembali menyambar, “nanti aku minta Hanna buat kabarin kamu langsung, oke? Please,”
Akhirnya dengan berat hati, pemuda itu pun pergi meninggalkan ruang tempat Hanna dirawat. Sekarang, dia harus terlebih dahulu menyelesaikan sesuatu.
—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments