Mayleen menggeleng cepat. “No… cuman berarti lo beneran dekat dengan dia? Really?” Mayleen mendadak antusias. Ditutupnya laptopnya yang sedari tadi dia gunakan. Hingga sekarang benar-benar fokus pada gadis di hadapannya.
Hanna mendadak salah tingkah. “Nggak sedekat itu,” jawabnya seakan pasti tapi Mayleen yakin kalau gadis itu tengah berbohong.
Mayleen tersenyum. “Dekat pun nggak papa, Hanna. Nggak ada yang ngelarang lo juga. Lagian Ronin juga aslinya baik. Masalah temperamennya itu lo pasti bisa lah jadi pawangnya. Nggak akan berani dia sama lo.” jelasnya separuh bercanda, separuh meledek, tapi semuanya terasa benar di telinga Hanna.
“Tapi kayaknya tanpa gue bilang, lo tahu gue suka sama siapa.” Hanna mengetukkan jarinya di meja. Mereka berbicara, seperti sahabat dekat yang sudah sering mengobrol, begitu santai tanpa ada kecanggungan sama sekali.
Mayleen mengangguk. Gadis itu memandang Hanna sebelum berbicara. “Gue tahu, makanya gue bisa ngomong ini.” Diam sejenak. “Lo berhak bahagia, Hanna. Lo berhak bersama dengan orang yang sayang sama lo. Yang menjadikan lo istimewa. Ratunya dia.”
"Lo ngomong gitu seakan-akan lo tahu perasaannya." Hanna tersenyum kecut. Memainkan bolpoin Mayleen yang tergeletak di meja.
Mayleen memperhatikan gadis di depannya yang tampak asik sendiri. "Tentu. Gue kenal Ronin. Dan lo tahu? Akhir-akhir ini yang selalu dibicarakan Hanna begini, Hanna begitu. Sekali lihat juga gue tahu gimana perasaan dia ke elo, Han.” Gadis itu melirik Hanna sejenak. “Gue awalnya mikir, mungkin cinta sepihak. Tapi, siapa yang tahu? Mungkin mata elangnya bisa meluluhkan elo?" Dia mengerling.
Tepat sasaran.
Mata elang yang selalu membuat Hanna luluh begitu saja. Tapi, apa itu cukup untuk dijadikan alasan membuka hati?
"Tapi ya tetep sebelum itu, lo harus selesaikan dulu perasaan lo yang sebelumnya. Karena hati kita nggak bisa mencintai dua hati sekaligus, Hanna," pungkas Mayleen sambil tersenyum. Gadis itu memperhatikan Hanna yang menerawang jauh seakan berpikir.
Pandangan kedua gadis ini teralihkan saat ada seseorang membuka pintu ruangan. Ken masuk. Baru tersadar jika ada Hanna dan Mayleen di ruangan ini, pemuda itu segera berbalik akan pergi. "Sorry, gue ganggu."
"Eh nggak papa," Mayleen menahan lengan Ken, memintanya berhenti. "Gue udah selesai kok. Pak ketua dan ibu wakil ketua, silakan rapat terlebih dahulu, saya permisi dulu." Mayleen mempersilakan.
Ken dan Hanna jadi saling pandang.
"Gue nggak ada rapat sama dia."
"Tapi May…"
Mayleen hanya tersenyum. Menepuk bahu Hanna sekilas lalu beranjak membawa laptopnya. Kemudian keluar sambil menutup pintunya kembali. Meninggalkan kedua sahabat ini yang masih terpaku tak mampu bersuara.
"Lo masih marah sama gue, Ken?" Hanna memecah keheningan. Gadis ini menatap pemuda yang masih berdiri tak jauh darinya. Pemuda yang sangat dicintainya.
"Gue nggak pernah marah sama lo, Hanna."
Bohong. Ada gurat emosi yang Hanna tangkap dari matanya. Sesuatu yang sangat jarang ditunjukkan oleh pemuda sempurna seperti Ken.
"Lo percaya sama semua gosip-gosip itu, Ken?" Hanna bertanya lagi. Gadis itu berdiri. Melangkah perlahan menuju ke tepat di hadapan pemuda ini.
Ken menatapnya. "Gue percaya sama lo. Tapi gue nggak percaya sama dia."
Hanna tersenyum miring. Gadis itu berbalik, berjalan ke arah dinding, memperhatikan foto-foto yang dipajang di sana. Salah satunya tampak foto Ken yang tersenyum manis pada kamera sambil memegang kepala Hanna, sedangkan gadis itu tersenyum tipis berusaha menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga. Foto itu diambil saat mereka melaksanakan LDKS untuk pertama kalinya. Hanna tersenyum miris mengingat masa-masa itu. "Lo percaya gue suka sama lo, Ken?" tanya gadis itu lagi.
"Nggak."
Jawaban sederhana itu terlalu menyakitkan bagi Hanna. Gadis itu tersenyum getir. Kini berbalik memandang Ken kembali. "Lo percaya gue mungkin terpengaruh untuk melakukan hal yang nggak pantas, tapi nggak percaya kalau gue suka sama lo? Apa gue seburuk itu di mata lo, Ken?" Hanna memandang marah. Temannya, sahabatnya, pemuda yang dicintainya, tak percaya padanya.
"Lo salah paham, Han." Ken tetap tenang. Pemuda itu memegang lengan Hanna. Gadis itu memandangnya frustasi, kecewa, semua bercampur jadi satu. "Gue nggak percaya kalau lo suka sama gue karena menurut gue itu nggak mungkin, itu salah."
"Apa yang salah, Ken? Apa gue nggak pantas buat cowok sempurna kayak lo?" Hanna melepaskan tangannya; menyilangkan ke dada, membuat pertahanan diri.
Ken tak menjawab. Pemuda ini malah justru berbalik, bergerak menjauh. Memperhatikan deretan piala dan piagam yang terpajang rapi di dinding. "Lo tau apa yang paling tragis dalam hubungan kita, Han?" tanyanya pelan. Hanna tak menjawab, menunggu pemuda ini melanjutkan pertanyaannya sendiri. "Apa menurut lo gue nggak pernah ada perasaan sama lo?"
Hanna menaikkan alisnya. Tapi gadis itu tak juga bersuara.
"I used to love you, Hanna. Lagian, siapa yang nggak pernah suka sama lo?"
Masih tak bereaksi. Hanna bahkan tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Tapi siapa gue? Gue cuma anak dari orang biasa, gue bahkan bisa biayain sekolah gue karena dapat beasiswa. Gue berusaha keras belajar, ikut organisasi, ramah, jadi baik, biar orang nggak lihat latar belakang gue, biar orang mau mengakui gue. Sedangkan elo? Elo putri konglomerat, tanpa mencari pengakuan orang pun semuanya mengakui diri lo, kehidupan lo serba sempurna, lo nggak bisa disentuh. Siapa gue sampai berani suka sama lo, Han? Gue nggak bisa. Gue cukup tahu diri. Gue bersusah-payah membuang perasaan gue. Menormalkan diri gue biar benar-benar sayang sama lo tulus tanpa ada rasa ingin memiliki. Gue butuh waktu buat sampai ke titik itu, Hanna."
Jeda sejenak. Hanna masih tak bisa memproses informasi yang dia terima.
"Sampai akhirnya gue ketemu Felline, tetangga masa kecil gue. Perlahan perasaan gue berubah. Tapi setelah semua itu, gue dengar kalau lo suka sama gue, lo patah hati karena gue punya pacar. Gue harus bagaimana dengan semua itu, Hanna? Haruskah gue percaya setelah ribuan kali gue denial dengan perasaan gue sendiri?"
Hanna masih tak bisa berkata-kata. Ken menyukainya? Bagaimana mungkin? Setelah semua lovey dovey yang Hanna lihat, bagaimana Ken bisa mengatakan seperti ini?
"Lalu nggak lama ada gosip lain tentang lo dan preman sekolah itu. Gosip yang lebih buruk. Gosip yang nggak seharusnya ada. Gosip yang merusak citra lo di sekolah ini. Gosip yang mungkin itu terjadi karena gue. Gue marah, Han. Gue marah ke diri gue sendiri. Gue pengen lo bahagia. Tapi gue justru buat lo kena masalah."
Hanna terpaku. Perlahan, gadis itu menoleh ke arah pemuda di depannya. Pemuda itu masih memunggunginya. Tangannya mengepal, menahan semua emosi di dadanya.
"Ken, itu bukan salah lo." Hanna bersuara. Gadis itu perlahan meraih pemuda ini, memeluknya dari belakang. "Maaf, lo harus memendam semua itu sendirian. Andai aja lo pernah jujur ke gue Ken, sekali aja, mungkin kita sudah bersama." Hanna melepas pelukannya. Mengusap genangan di sudut matanya. "Tapi kita sepertinya dipermainkan oleh takdir. Seperti yang lo bilang, hubungan kita memang tragis." Hanna tersenyum miris, sesak sekali dadanya. Kenapa hubungannya rumit sekali.
"Hanna…"
"Let's take a break, Ken. Gue pikir kita bisa sahabatan selamanya. Tapi kita nggak bisa berteman dengan perasaan seperti itu." Hanna menyentuh pipi Ken seraya tersenyum. Kali ini senyumnya lebih tulus. Gadis itu mengelus wajah Ken dengan sayang. "Kembalilah kalau perasaan lo sudah normal, atau kalau lo sudah bisa memilih, gue juga bakal melakukan hal yang sama. Tapi semoga yang lo mau bukan gue lagi, Ken. Dan semoga bukan lo lagi yang gue mau. Karena gue nggak mau menyakiti siapa-siapa."
Hanna melepaskan pemuda ini. Benar-benar melepaskannya. Memang berat rasanya melepaskan seseorang yang baru saja mengakui pernah punya perasaan yang sama dengan kita. Tapi apa gunanya jika perasaan itu telah berubah? Apa gunanya jika perasaan itu kian rumit satu sama lain? Hanya akan saling menyakiti.
Hanna membuka pintu. Bel masuk telah berbunyi. Gadis itu keluar ruangan saat ternyata ada siswa yang sedang menuruni tangga. Pemuda yang membuat perasaannya kian rumit dan tak karuan. Pemuda yang meskipun tahu Hanna mencintai orang lain, tapi mampu membuat Hanna berkali-kali memeluknya dan bersandar padanya.
Mata mereka beradu. Pemuda itu tersenyum cerah. Tapi senyumnya meredup saat Ken juga keluar dari ruangan yang sama. Wajahnya berkerut emosi. Hanna tau ekspresi itu. Ekspresi yang ditunjukkan saat tak terima Hanna berdua saja dengan lelaki lain, apalagi dalam ruangan tertutup. Ronin sudah siap meninju Ken kalau saja Hanna tak memegang tangannya.
Gadis itu menggeleng lemah, sudah tak punya tenaga lagi untuk berdebat. Matanya berkaca-kaca, seperti kristal bening itu akan turun membasahi pipinya. Ronin bisa menangkap itu. Dia lalu memilih mengabaikan pemuda yang bersama Hanna, meraih tangan gadis itu dan menggandengnya meskipun ada puluhan pasang mata yang melihat mereka.
Setidaknya, dia tak akan membiarkan gadis itu menangis sendirian.
—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments