Chapter 3

Semenjak kejadian di UKS, hubungan Hanna dengan Felline mulai membaik. 

Memang benar apa kata Ken. Meskipun jutek, galak, dan kelihatan garang, tapi Hanna tipikal orang yang sangat baik. Keras hanya terlihat dari luarnya, tapi Hanna cukup lembut. Dia juga sama sekali tidak memusuhi Felline meskipun yaaa mungkin mereka mencintai orang yang sama. 

Sedangkan bagi Hanna, Felline benar-benar memancarkan aura dewi yang sesungguhnya. Sampai sekarang pun Hanna masih sering terpesona dengan kecantikannya. Tapi kecantikan itu tidak membuat gadis itu menjadi sombong. Justru ramah, baik dan perhatian. 

Memang kita tidak boleh menilai orang dari luarnya. 

Tapi ya tetap, Hanna masih harus membiasakan diri jika bertemu mereka. Ken itu dasarnya memang charming. Sama Hanna yang juteknya setengah mati aja dia baik banget, apalagi sama pacarnya sendiri yang sifatnya berkebalikan dengan Hanna. 

Tentu, sudah bisa dibayangkan akan sebaik apa dia, dan bagaimana interaksi mereka berdua. Membuat Hanna harus sering-sering melipir ke tempat lain jika pasangan lovey dovey ini sudah bersama. 

Kali ini atap gedung sekolah menjadi tujuan Hanna. Seharusnya tidak ada yang akan mengganggu Hanna disini. Karena pemuda bermata elang itu kabarnya masih menjalani hukuman setelah kejadian waktu itu. 

"Lo demen banget sendirian."

Atau mungkin Hanna salah menghitung hari? 

Hanna melirik malas ke arah pemuda tinggi nan rupawan di pojok pagar tembok tempat Hanna berdiri menikmati pemandangan sekolah. 

Ok. Trouble maker sudah kembali. Itu artinya Hanna harus kembali bekerja keras untuk membereskan kekacauan-kekacauan yang mungkin akan pemuda ini perbuat. 

"Mana cowok lo?" Dia bertanya sambil berdiri di samping Hanna. Kali ini tidak sambil merokok. Mungkin takut rokoknya diambil Hanna lagi? 

"Siapa?"

"Ituu cowok sok perfect sok iye yang selalu belain lo. Oh sekarang dia punya pacar baru ya?" Ronin mencibir. Bibirnya mencebik seperti menunjukkan rasa kasihan. 

Ingin rasanya Hanna menarik mulut pedasnya yang menyebalkan itu. 

"Imej tukang gosip kayaknya nggak cocok sama lo deh."

Pandangan Hanna teralihkan saat matanya menangkap dua sejoli yang setengah mati ia hindari itu. Di taman bawah sana tampak mereka berdua sedang duduk bersenda gurau, sambil sesekali tangan Ken mengelus rambut Felline dengan sayang. 

Hanna tidak bisa melihat ini. Berapa kali pun Hanna mencoba untuk terbiasa, tetapi ada sesak di dadanya yang tak bisa ia abaikan. 

"Lo sesuka itu sama dia?"

Tak ada jawaban. Pandangan Hanna kosong. Rasa sakitnya menjalar sampai ke ulu hati, menyadari bahwa bukan dia yang Ken cintai. 

"Ternyata memang sesuka itu." Ronin bergumam sendiri, menyadari gadis itu terlalu sibuk menyiksa diri dengan melihat pemandangan yang menyakiti hatinya. 

Hanna memejamkan mata. Entah kenapa ia jadi lebih emosional.

Tahan Hanna tahan. 

Hanna seperti merapalkan mantera dalam hati. Menahan diri agar tak ada setetespun air mata yang jatuh di pipinya. Tidak saat dia bersama dengan orang lain.

Tapi ternyata Hanna tak sekuat itu. Terutama saat dirasakannya tangan pemuda itu menepuk puncak bahunya pelan. Hanna jadi semakin emosional.

“Ehm..” gadis ini berdehem. Menahan sesak di dadanya. “Gue kayaknya harus pergi,” nadanya sedikit bergetar. 

Hanna sudah bersiap berbalik saat tiba-tiba tangan kekar pemuda itu menarik lengannya. Membawa dia ke dalam pelukan pemuda dengan dada bidang ini. Ronin menepuk puncak kepala Hanna perlahan. 

“Take a breath. Lo nggak harus jadi selalu sempurna. Lo bisa nangis kalau lo pengen.”

Pada akhirnya, kata-kata pemuda ini menghancurkan pertahanan Hanna selama ini. Menghancurkan benteng kokoh, kuat dan tegar yang selalu Hanna ciptakan. 

Kenyataannya, Hanna hanyalah gadis biasa yang bisa merasa sedih. Hanya gadis biasa yang bisa menangis. Hanya gadis biasa yang membutuhkan sandaran yang bisa membuatnya aman dan nyaman untuk menumpahkan segala yang ia rasakan. 

Pada akhirnya, pemuda tinggi kekar dengan mata elang itu membiarkan gadis berpita merah ini menumpahkan segala sesak di dadanya, selama yang ia mau.  

Hanna merutuki dirinya yang begitu bodoh dan lepas kendali.

Apa itu tadi? Bagaimana bisa dia menangis di pelukan seorang pemuda yang yaampunn, dimana harga diri Hanna saat ini? Bagaimana kalau mereka bertemu lagi, apa yang harus dia lakukan?

“Sebuah kehormatan buat gue, seorang Hanna yang judes, sombong, dan galak, baru aja nangis di pelukan gue.” 

Masih terngiang-ngiang di telinga Hanna saat mulut pedas pemuda itu mengejeknya.

Benar-benar ya, padahal dirinya sendiri yang menawarkan, kenapa setelahnya malah mengejek seperti itu? 

“Han?”

“Apa?” Hanna tersentak sendiri menyadari jawabannya yang kelewat ngegas. Dirinya mendongak memandangi Ken yang menatapnya seakan khawatir. “Eh, sorry,” Hanna berdehem. Salah tingkah. 

“Lo sakit?” tanya Ken sambil meletakkan punggung tangannya di kening Hanna.

Wait a moment. 

Ini apa lagi?

Hanna merasakan pipinya sudah seperti kepiting rebus karena gerakan Ken yang tiba-tiba ini. Dirinya lalu melirik ke arah Felline yang sekarang sudah duduk di sebelahnya. Gadis ini memandangnya tanpa ekspresi. Mungkin kaget juga dengan apa yang Ken lakukan?

Dasar Ken super nggak peka. Apa-apaan ini?

“Ken lo apaan sih?” Hanna menyingkirkan tangan Ken di dahinya. Tapi Ken tetap tak beranjak dan memandangnya khawatir.

“Seriusan, lo sakit? Mata lo sayu gitu.” Kali ini dia duduk di bangku tepat di depan Hanna. “Lo mau gue antar pulang?” tanyanya polos. Tidak peduli mungkin gadisnya akan merasa aneh dengan perhatiannya pada seseorang yang katanya temannya ini.

Tapi wait, sayu? Hanna segera meraih cermin kecilnya, lalu kaget melihat matanya sendiri yang kini membengkak. Pasti gara-gara tadi. Matilah. Hanna mendecak. Kini jadi memandang Felline tanpa sadar. Gadis itu juga tengah memandangnya dengan tatapan iba.

“Ken, itu Hanna ngantuk, bukan sakit,” sambar Felline dengan tenang. 

“Iya kah?” Pemuda tampan itu masih tidak percaya. “Tapi lo kelihatannya pucet, Han?” tanyanya masih penuh selidik.

Aduh, Hanna jadi pusing.

“Mungkin Hanna capek. Mending kamu balik kelas, bentar lagi masuk.” Gadis itu lagi-lagi yang menjawab pertanyaan Ken.

Hanna jadi ikut mengibas-ngibaskan tangannya. “Iya, mending lo balik kelas deh, makin pusing gue denger pertanyaan lo yang aneh-aneh,” usirnya. 

Pemuda itu akhirnya pergi setelah dua gadis ini mengusirnya dengan paksa. 

Tak lama setelah sosok Ken menghilang di balik pintu, gadis berkulit putih dengan rambut panjang terurai ini memandangi Hanna sambil tersenyum. “Are you ok?” tanyanya lembut. Menyadari bahwa penyebab mata sayu Hanna bukanlah yang tadi ia sebutkan, tapi karena menangis. Dan mungkin Hanna akan merasa tidak nyaman jika ada yang menyadarinya.

“Nggak papa. Makasih ya. Cowok lo bikin gue pusing.” Hanna menjawab sambil merapikan rambutnya, mengambil sedikit poninya yang mulai memanjang agar matanya sedikit tertutupi oleh poni panjangnya. 

“Perhatian aja dia ke kamu.” Felline nyengir. Lalu menepuk bahu Hanna pelan. “Kamu kalau ada apa-apa, cerita aja nggak papa.” Pandangannya menenangkan. 

Gadis itu masih tak menyadari, siapa yang menyebabkan Hanna begini.

Terpopuler

Comments

aku kesel sama ken dan felline ini.. sumpah kesel.. si ken juga klo emang gak suka knp harus over perhatian gitu sihhh..

2023-09-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!