Chapter 8

Gadis berkuncir dengan pita merah kesayangannya ini turun dari mobil yang dikendarai oleh Pak Slamet, sopir yang sudah sekian lama mengabdi di keluarganya. Begitu turun, matanya langsung menangkap seseorang yang dikenalnya yang kini tengah mengembalikan helm ojek online yang baru dipakainya. Hanna segera menyapa gadis itu.

Gadis itu tersenyum cerah, menggenggam tangan Hanna agar berjalan beriringan dengannya. “Udah sehat?”

Hanna mengangguk sekilas. “Tau gitu bareng gue aja tadi,” gumamnya. Menyadari sahabatnya ini baru diantar oleh tukang ojek online, bukan Ken seperti biasa. “Mana Ken?”

Felline tersenyum. “It’s ok Hanna. Ken berangkat duluan. Ada rapat koordinasi tadi pagi. Eh kamu seharusnya ikut juga kan?” tanyanya. Setahunya memang Hanna dengan Ken ini kegiatannya hampir sama karena memang sering satu organisasi dan kepanitiaan. 

Hanna mengangguk. “Gue ambil istirahat dulu, belum berani kegiatan macem-macem,” jawabnya yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Felline tanda mengerti.

Kedua gadis itu pun berjalan menyusuri lorong ke arah kelas mereka. Hanna menduga ada sesuatu yang aneh saat dia merasakan beberapa pasang mata tampak melirik ke arahnya. Pandangan itu terlihat mencemooh, beberapa tampak memandang sinis yang segera dibalas dengan tatapan yang sama oleh Hanna. 

Hanna melipat tangannya di dada, menegakkan bahunya seraya sedikit mengangkat dagunya menunjukkan percaya diri. Gadis itu memandang tajam setiap siswa yang memandangnya sinis. Sangat mengintimidasi, hingga mampu membuat lawannya tak berani memandangnya seperti itu lagi. 

“Ken!” Hanna mendengar Felline berteriak. Gadis itu sudah berlari lebih dulu mendahului Hanna menghampiri Ken yang tengah memegang kerah baju Ronin, menahan emosi. 

Mata pemuda itu berkilat penuh emosi. Sementara lawannya tampak santai mengangkat kedua tangannya. Tapi yang Hanna lihat, Ronin juga tengah menahan emosinya, karena kalau tidak, mereka pasti sudah berakhir dengan baku hantam.

Tentu saja, pemuda itu mungkin tak ingin menyakiti pemuda yang sangat dicintai gadis yang juga disayanginya ini. Miris sekali.

Felline segera menarik lengan baju kekasihnya, berusaha menenangkannya. Sementara Hanna juga menarik Ronin untuk mundur. Dirinya maju menghalangi Ken agar tak sampai bertindak sesuatu pada Ronin.

“Ken, lo apa-apaan sih?”

“Han, lo nggak ngerti.” Mata Ken masih berkilat emosi. Tangannya mengepal, sudah siap menghantam pemuda yang berada di belakang gadis yang disayanginya ini.

“Jelasin kalau gue nggak ngerti.”

"Han, berhenti belain dia, Hanna!" Ken berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak menghantam pemuda itu. Tidak saat ada Hanna. Sahabatnya dengan tingkat impulsif yang tinggi ini sudah pasti akan membantu pemuda itu lagi. Ken tidak mungkin menyakiti Hanna. 

"Lo bias, Ken. Kenapa lo benci banget sama dia? Apa salah dia ke lo?"

Ken tersenyum miris ke arah Hanna. "Lo yang bias, Han. Bahkan sampai sekarang pun lo masih belain dia. Sepenting itu dia buat lo?" Tatapannya sulit dibaca. Tapi terasa memendam kekecewaan bagi Hanna. 

Tapi, kenapa kecewa? 

Hanna memejamkan matanya. "Iya. Dia penting buat gue." Gadis itu mulai frustasi. "Kenapa lo ngomong seakan-akan lo yang paling penting bagi gue, Ken?"

Tajam. Tepat sasaran. Sedetik kemudian Hanna menyesal sudah melontarkan kata-kata ini. 

"Han.." 

Tapi terlambat. 

"Padahal gue ngelakuin ini demi elo."

Hanna sudah menyakiti perasaan pemuda yang paling dicintainya. 

Tak ada lagi kata-kata yang mampu terucap. Ken berlalu begitu saja. Felline segera menyusulnya. Meninggalkan kedua orang ini yang masih membisu di tempatnya. 

Tak lama, karena Hanna mampu dengan cepat menguasai dirinya. Ia menatap Ronin dengan dingin. Memandangi pemuda itu tanpa ekspresi. Lalu tanpa banyak berkata, ditariknya lengan pemuda itu menjauh dari kerumunan. Hanna mencari tempat yang lebih tenang sebelum akhirnya melepaskan lengan pemuda ini. 

Ronin memandang gadis di hadapannya yang tampak kelewat tenang, tapi ia yakin gadis itu berkecamuk dalam dadanya. Hanya tak ditunjukkannya karena ada banyak siswa yang lewat. Membuat Ronin ingin sekali memeluk gadis ini, menenangkan. Tapi jangankan memeluk, menyentuhnya pun Ronin tak sanggup. 

"Ada apa?" Gadis itu bertanya. Tangannya meraih lengan pemuda ini, tapi sebelum Hanna dapat menyentuhnya, Ronin sudah menarik tangannya sendiri, membuat Hanna sedikit tersentak karena penolakan yang Ronin buat. 

Hanna mengerjap. Tapi lalu kembali dapat menguasai diri. "Kenapa Ken marah banget sama lo?" tanyanya tapi lebih terdengar seperti untuk dirinya sendiri. 

Ronin mengulum bibir, menahan diri. "Nggak ada apa-apa Hanna."

"Terus tadi itu apa? Nggak mungkin nggak ada apa-apa."

Demi apapun Ronin ingin sekali memeluk gadis ini. Gadis yang sekuat tenaga berusaha terlihat tegar, tapi matanya memancarkan kesedihan dan kebingungan. 

"Nggak ada apa-apa Hanna." Tapi hanya itu yang terucap. Tanpa pelukan. Tanpa sentuhan. "Sudah lo ke kelas gih. Nanti pulang sekolah kita bahas lagi. Ok?" janjinya mau tak mau membuat Hanna menurut. Akhirnya dengan berat hati, gadis itu pun menuju kelasnya. Tanpa dia sadari bahwa pemuda ini juga terluka, merasakan kesedihannya. 

"Hanna, Hanna, berasa keren lo direbutin dua cowok sekaligus?" 

Hanna memejamkan mata. Benar-benar ya. Kenapa tidak ada yang membiarkannya tenang barang sebentar saja. Kini malah ada seorang gadis yang menghampiri mejanya, berbicara aneh-aneh. Gadis itu sebenarnya teman sekelas Hanna juga. Hanna tahu, sejak lama dia memang membenci Hanna. Padahal apa salah Hanna? Peduli aja enggak.

Hanna melirik gadis itu malas, enggan menanggapi. 

"Lo murah banget ya? Habis dicampakkan Ken, sekarang beralih ke Ronin?" 

What? 

"Lo ngincer cowok-cowok berpengaruh gitu ya? Biar apa sih?"

Hanna tertawa sinis. "Lo ngapain sih?"

"Nggak ada, gue masih amazed aja sama lo. Sekarang malah lo berhasil bikin mereka berantem. Waw." Gadis itu tertawa hiperbolis. Lalu kini beralih memandang Felline. "Eh lo kok mau temenan sama dia? Nggak takut cowok lo direbut?" tanyanya malah membuat Felline memandangnya aneh. 

"Kamu ngapain sih?" Felline menanyakan pertanyaan yang sama. 

"Nggak ada, gue cuman memperingatkan lo, temen lo ini cuma peduli sama dirinya sendiri. Paling dia mau temenan sama lo juga biar dia tetep deket sama Ken." 

Hanna berdiri. Telinganya mulai panas mendengarkan ocehan aneh-aneh gadis yang seringkali menggosipkannya ini. 

"Oh atau mungkin lo juga mau numpang tenar ya?" Gadis itu masih menunjuk-nunjuk Felline. 

Hanna sudah mulai geram dibuatnya. "Lo keterlaluan." Hanna melipat tangannya di dada. Memandang lurus pada gadis itu. 

"Gue ngomong apa adanya. Semua orang juga tahu, dia pasti pansos." Gadis itu menunjuk Felline, membuat Hanna meradang. "Dan lo, lo nggak pansos sih, cuma lo apa nggak berasa terlalu murah apa? Mau banget lo jadi rebutan sana sini? Kalian berdua cocok sih sama-sama ular!"

Tanpa banyak bicara, Hanna segera menjambak rambut gadis itu membuat beberapa siswa tampak memekik kaget. Saat gadis itu ingin melawan, Hanna semakin menarik rambutnya hingga membuatnya terlalu mendongak hampir terjungkal. 

"Lo bener-bener nguji kesabaran gue." Hanna berbisik tepat di telinga gadis itu. Felline sudah meminta untuk melepaskannya tapi gadis berkuncir ini sepertinya tidak menanggapi. 

Salsa, gadis itu meringis kesakitan tapi masih sempat tersenyum miring, mengobarkan api konfrontasi untuk Hanna. "Lo tersinggung? Gue bener ya?" Gadis itu bertanya angkuh. Ingin sekali Hanna membuatnya terjungkal saking gemesnya. 

Hanna ikut tersenyum miring seraya semakin menarik rambut lawannya hingga gadis itu berteriak. “Gue cuma nggak ngerti lo itu lagi ngapain sebenarnya.” Hanna mengarahkan kepala gadis itu hingga semakin mendekat padanya. “Tapi sekali lagi lo berani ganggu gue atau temen-temen gue, nggak cuma ini yang bakal lo dapet.” bisiknya tepat di telinga gadis itu. Hanna lalu melepaskannya dengan mendorongnya ke depan. Kini melipat tangannya di dada, tersenyum mengintimidasi pada gadis yang menatapnya murka. 

Pada akhirnya gadis itu memilih mundur dengan emosi. Hanna menatap gadis itu menjauh dengan raut muka yang sulit ditebak. Kini ganti menatap teman-temannya yang terpaku melihatnya. “Ada yang mau lawan gue lagi?” tanyanya angkuh, seperti biasa. Teman-temannya segera mengalihkan pandangan, merasa melawan Hanna hanya akan menjadi ajang bunuh diri mereka.

“Wooo.. queen of late game.” Suara tepuk tangan mendadak menggema dari belakang. Hanna menoleh, tampak seorang pemuda yang tersenyum padanya, tak terlihat takut sama sekali. Hanna tahu, pemuda itu seringkali jadi partner Ronin saat tawuran. Mungkin mereka berteman? Hanna tidak peduli.

Gadis itu kembali duduk. Mengetuk-ngetuk jemarinya di meja. Semakin merasa aneh dengan suasana di sekolahnya.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!