Chapter 2

"Ken…" 

Felline merasa iba memandang gadis di depannya yang belum sadarkan diri dan masih menggumamkan nama kekasihnya. 

Dia baru menyadari bahwa hubungan mereka tidak sesederhana itu. Bukan Hanna yang menyukai kekasihnya secara sepihak, tapi lebih dari itu. 

Setelah melihat sendiri bagaimana Ken dengan emosi memukuli pemuda yang membuat temannya jadi seperti ini. Dan bagaimana gadis ini berulang kali menggumamkan nama Ken di alam bawah sadarnya, Felline menyadari bahwa hubungan mereka lebih dari sekedar yang dibicarakan. 

Dia yakin bahwa kekasihnya itu memang mencintainya, tapi dia juga tahu bahwa kekasihnya itu juga menyayangi dan sangat peduli pada gadis itu. Entah sebagai apa. 

Dan Hanna, sudah tidak perlu ditanya bagaimana perasaannya. Kenyataannya perasaannya memang terlihat jelas di balik mata dan sikapnya.

Felline jadi merasa kalau dia yang justru memisahkan mereka berdua. 

Jemari tangan Hanna bergerak membuat Felline tersadar. Gadis itu perlahan membuka mata. Perlahan kesadarannya juga mulai kembali. 

"Lo… tolongin gue?" tanyanya lemah setelah melihat Felline yang duduk anteng di dekat tempat tidurnya sambil tersenyum. Ia melihat ke sekitar, Hanna mengenali tempat ini. UKS sekolahnya, menunjukkan bahwa luka Hanna tidak terlalu parah sehingga tak perlu ke rumah sakit. 

"Ken yang bawa kamu kesini," jawab Felline tak menutup-nutupi. Dirinya mulai bercerita tentang Ken yang tiba-tiba datang, marah besar karena pemuda yang katanya preman sekolah itu melukai Hanna, memukulinya sebentar. Lalu tersadar kalau Hanna harus segera ditangani, dirinya lalu menghampiri Hanna yang masih dalam dekapan Felline, menggendongnya dan membawanya ke UKS. 

Hanna merasa aneh. Bagaimana mungkin Ken menggendongnya saat di tempat itu juga ada pacarnya sendiri? Ken pasti menyakiti perasaan gadis ini. 

"Aku nggak papa, kamu yang lebih penting." Felline seperti menjawab pertanyaan dalam hati Hanna. "Oh ya, Ken sama…" Felline berpikir sejenak. 

"Ronin?"

"Iya dia, mereka berdua tadi di ruang BK, soalnya sudah terlanjur ada guru yang lihat. Terus anak yang tadi sudah dibawa ke rumah sakit, lukanya lumayan parah." Felline meneruskan ceritanya. 

Hanna menghembuskan napasnya pelan. Merasa bersalah karena membawa dua sejoli ini dalam situasi seperti ini. 

"Mending lo nyamperin Ken. Mungkin dia terluka juga." Hanna menyarankan.

Felline sekilas melihat ke arah jam dinding, mungkin sebenarnya dia juga khawatir pada pacarnya, tentu saja. "Tapi kamu…"

"Gue nggak papa," sambar Hanna.

Felline terdiam sesaat, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. 

"Ya udah, tapi kalau ada apa-apa kamu harus segera hubungi aku." Felline akhirnya memutuskan setelah sekian lama terdiam. 

"Gue nggak punya nomor lo."

Felline lalu meraih handphonenya, menekan sesuatu, hingga handphone Hanna yang masih berada di saku roknya bergetar. Hanna mengernyit aneh melihat ada nomor baru yang menelponnya.

"Kok lo tahu nomor gue?" tanyanya bingung. 

"Dikasih sama Ken." Felline tersenyum. "Katanya, kalau ada apa-apa dan kalau Ken sedang dalam kondisi nggak bisa bantu, ke Hanna aja, Hanna baik kok, gitu katanya," lanjutnya menirukan ucapan Ken. "Dan ya nggak salah, kamu beneran baik banget." Felline kembali tersenyum penuh arti. 

Hanna jadi salah tingkah disenyumi dan dipuji seperti itu. "Apaan sih," balasnya berusaha menutupi salah tingkahnya. "Yaudah sana buruan."

Felline terkekeh. "Yaudah Hanna, jangan lupa, hubungi aku kalau ada apa-apa, nanti aku balik kesini lagi sama Ken." Felline berlari keluar meninggalkan Hanna yang kini sendirian. 

Hanna menghela napas pelan. Menyadari betapa barbie nya gadis yang barusan bersamanya ini. Cantik, baik, dan perhatian. Pantas Ken suka. 

Sedangkan Hanna? Siapa Hanna? 

Hanna bukan apa-apa.

Tapi… kenapa Ken rela menghajar orang yang melukai Hanna, dan menggendong gadis itu, kalau memang Hanna bukan siapa-siapa? 

Siapa Hanna di mata Ken? Sepenting itu kah? Atau Ken memang selalu sebaik itu? 

Buntu memikirkan pertanyaan-pertanyaan rumit di kepalanya, Hanna memutuskan mengambil air di nakas dekat tempat tidurnya yang sepertinya sudah Felline siapkan. Baru seteguk air yang telah membasahi kerongkongannya, tiba-tiba pintu UKS terbuka diiringi dengan masuknya seorang pemuda bermata elang. 

Dia lagi.

Ronin. Pemuda bermata elang itu masuk setelah menutup pintunya kembali. Hanna yang menyadarinya kembali meletakkan gelasnya di meja, lalu menyandarkan tubuhnya separuh berbaring. 

"Mau apa?" Singkat, tegas. Tak ada tanda-tanda terintimidasi meskipun pemuda itu yang membuatnya jadi seperti ini. 

Malah jadi Ronin yang salah tingkah. "Mau istirahat lah, emang lo doang yang boleh kesini?" Ia lalu berjalan ke arah bed yang berada tepat di sebelah kiri bed Hanna. Lalu duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana seperti tanpa dosa. 

Hanna masih memantaunya. 

"Lo nggak ada sesuatu yang pengen lo omongin?" tanya Hanna separuh menyindir. Sudah bikin sakit, tapi nggak minta maaf. Siapakah itu?

Tapi yang bersangkutan hanya mengedikkan bahu cuek. "Lo kayaknya gapapa. Lagian bukan salah gue juga. Lo yang tiba-tiba datang." 

Masih Hanna pantau. 

Pemuda itu mengusap sudut bibirnya yang perlahan masih sedikit mengeluarkan darah. Sepertinya tonjokan Ken terlalu keras, membuat pemuda tinggi ini semakin berantakan dengan lukanya yang dibiarkan terbuka. 

Hanna jadi risih. Dirinya mendecak sebal lalu beranjak perlahan dari tempat tidurnya. Sedikit oleng, tapi Hanna bisa kembali menguasai diri dan mulai berjalan ke arah lemari dan mengambil kotak P3K disana. Menghampiri Ronin masih dengan wajah sebalnya. 

Ya. Hanna tetaplah Hanna. Dengan wajah sebalnya itu pun dia tetap tergerak untuk mengobati pemuda yang bahkan tadi sudah membuatnya pingsan ini. 

"Lo itu kalau memang sedoyan itu tawuran, harusnya belajar juga cara melindungi diri sendiri, termasuk rawat luka." Hanna mendecak sambil membuka kotaknya. 

Ronin tak mampu bersuara. Dirinya tertegun, tak siap tiba-tiba tangan gadis itu menyentuh wajahnya. 

Tidak. Seharusnya tak begini. Ronin tak mampu bergerak. Seperti ada sengatan listrik yang mengaliri tubuhnya. 

"Lo… ngapain?" Ronin bersusah payah mengatakan itu. 

"Lo nggak lihat gue ngapain?" Dan Hanna tetaplah Hanna. Saat seperti ini pun masih bisa galak. 

Ronin memejamkan mata. Tak habis pikir dengan perlakuan gadis ini. Tapi tetap menerima sentuhan gadis itu yang perlahan mengobati wajahnya. 

Aneh sekali. Siapa gadis ini sebenarnya. Setelah tadi sok jago berusaha menolong pemuda yang entah dikenal atau tidak oleh gadis ini, hingga menjadi korban, kenapa malah sekarang mengobati pemuda yang sudah tanpa sengaja melukainya? Memangnya dia dewi? Malaikat? 

"Lo siapa sih?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ronin. Masih tak habis pikir.

"Lo nggak tahu? Gue Hanna." Hanna menjawab cuek sambil beralih ke lengan Ronin yang juga terluka. "Luka lo banyak banget." Hanna mengomel. Namun tetap sabar mengobatinya. 

"Serius. Lo emang anaknya Yi Sun Shin?" Ronin bertanya random. Masih keheranan dengan tingkah gadis di depannya ini yang sering kali bertingkah bak pahlawan. 

Ganti Hanna yang meliriknya tak percaya. "Lo tahu Yi Sun Shin?" tanyanya merasa aneh. Ronin, preman sekolah yang seperti menganggap sekolah bagaikan neraka, tahu Yi Sun Shin, pahlawan nasional Korea? Really?

"Emang lo pikir gue sebego itu sampai lo tanya gitu?"

Hanna nyengir. Seakan menemukan hidden gem, Ronin bisa melihat senyum gadis yang terkenal super jutek dan galak di sekolahnya ini. 

Ternyata memang secantik itu. 

Ronin serasa lupa bernapas. 

"Nggak gitu, lo emang kpopers ya?" tanya Hanna sambil masih tersenyum geli. 

Ronin langsung mengelak. Merasa harga dirinya jatuh jika dianggap seperti itu. "Nggak lah. Gue user Yi Sun Shin." 

"ML? Elo user YSS? Seriusan?" Malah jadi Hanna yang semangat saat Ronin menyebutkan salah satu hero game mobile legend, game yang juga ia mainkan. 

Wait a minute. Sebentar. Hanna tahu game juga? Seorang Hanna, siswi berprestasi dan paling berpengaruh di sekolah, tahu tentang game juga?

Apa sih yang nggak dia tahu? 

"Emang kenapa?"

"Miripan juga Hanzo," jawab Hanna diplomatis.

Ronin malah mengerutkan keningnya, merasa tersinggung. “Lo mau bilang gue iblis gitu?” tanyanya kesal, menyadari Hanzo yang dimaksud, memelihara iblis dalam pedangnya, mungkin juga di dalam dirinya.

“Nggak lah.” Hanna mengibaskan tangannya. Jeda sejenak. Gadis berpita merah itu sibuk memeriksa luka-luka di tubuh Ronin. Memastikan semuanya telah diobati. Lalu menutup kembali kotak P3K nya. Kini berganti memandang pemuda di depannya lekat-lekat. “Mata elangnya Hanzo, sama kayak yang lo punya.”

Lagi-lagi.

Ronin tidak mampu berkata-kata. 

Terpopuler

Comments

calliga

calliga

Cemangat thor

2023-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!