Cahaya lampu ruangannya sudah meredup saat gadis itu membuka mata. Sebenarnya dia sudah sadar sedari tadi namun terlalu lemah untuk beranjak sehingga memilih untuk memejamkan mata kembali beristirahat. Kali ini dia merasa lebih baik.
Gadis itu mengedarkan pandangan matanya sejenak, lalu menyadari ada seorang pemuda yang duduk tertidur di dekat bed tempatnya berbaring. Sepertinya pemuda itu kelelahan hingga tertidur disini.
Hanna mengelus rambut pemuda ini dengan sayang. Pemuda yang sangat dicintainya itu perlahan terbangun lalu mulai membuka mata. Matanya sayu dan pucat, seperti bukan Ken yang biasa Hanna kenal.
“Han, lo udah sadar,” pemuda itu menyerukan kelegaan. Satu tangannya menggenggam jemari Hanna. Tangan lainnya mengelus pipi Hanna perlahan. “Lo nggak papa? Mana yang sakit?”
“Gue nggak papa, Ken.” Hanna menurunkan tangan Ken yang masih mendarat di pipinya, menumpuknya di antara jemari keduanya yang masih bertaut. “Lo dari tadi di sini? Nggak pulang?” tanya Hanna sambil memandang ke pintu yang tertutup. Tadi sepertinya dia melihat mamanya disini, tapi sekarang sudah tak terlihat lagi.
“Iya, mama papa lo sudah gue minta pulang, kasihan mereka pasti kecapekan. Felline juga, dari tadi dia disini, abis gue anter pulang, gue balik sini lagi.” Orang tua Hanna memang sudah lama mengenal Ken, karena Hanna dan Ken sering dipasangkan untuk berbagai kegiatan sekolah. Sehingga mereka cukup percaya untuk menitipkan Hanna pada pemuda tampan ini.
“Lo pulang gih, lo pasti juga capek.” Hanna tersenyum. “Lagian disini juga banyak perawat sama dokter jaga, pasti aman.”
Ken sepertinya tidak tertarik dengan apa yang Hanna katakan. Pemuda super charming ini memandang Hanna lekat-lekat, seperti akan mengungkapkan sesuatu. “Han,” panggilnya tenang. “Lo bisa berhenti khawatirin orang lain,” katanya serius.
Hanna memalingkan wajah, memandang ke arah lain. “Gue nggak ngerti maksud lo, Ken.”
Ken menarik tangan Hanna pelan agar gadis itu kembali memandangnya. “Berhenti bertindak impulsif, apalagi kalau itu kemungkinan bisa membahayakan diri lo sendiri. Lo cewek, Han, lo punya batas sendiri dalam membantu orang,” omelnya serius. Pasalnya, gadis di hadapannya ini memang sering kali tak berpikir panjang jika urusan membantu orang. Hatinya murni, tapi kadang lupa pada keselamatannya sendiri.
“Sorry, gue bikin kalian semua khawatir.” Hanna menunduk, merasa bersalah.
“Bukan itu intinya, Hanna.” Ken menghela napas. Kadang-kadang sahabatnya ini memang keras kepala. “Ya pokoknya jangan sering-sering bahayain diri sendiri, gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Ortu lo juga pasti sedih.”
Ken menyandarkan punggungnya di kursi. “Terutama Ronin, gue nggak ngerti lo punya alasan apa buat nolongin dia. Tapi dia harusnya cukup kuat buat nolongin dirinya sendiri,” pungkasnya, tak ingin dibantah.
Ken tak tahu, pemuda yang tak dianggapnya itu, yang telah menawarkan bahunya jadi tempat sandaran Hanna, saat gadis itu bersedih karena dirinya.
—
Hanna mengerucutkan bibirnya kesal. Susah payah dia mencari nomor pemuda itu kesana-kemari. Sebenarnya tidak susah-susah amat sih karena Hanna punya kenalan di seluruh penjuru sekolahnya, hingga dengan satu ketikan sederhana, nomor itu berhasil didapat. Tapi tetap saja, sudah mengeluarkan effort lebih untuk ini, bahkan sudah ngechat duluan, jawabannya sangat-sangat tidak memuaskan.
Hanna: gue udah sadar.
Ronin IPS 3: ok.
Hanna membaca pesannya lagi. Menyebalkan sekali. Sangat-sangat tidak sesuai dugaan.
Padahal kalau dari cerita Felline semalam di chat, pemuda itu benar-benar mengkhawatirkannya. Hampir memaksa untuk menunggui Hanna disini jika saja Felline tidak membujuknya. Tapi apa ini? Tidak terlihat peduli sama sekali.
Hanna sepertinya menyesal sudah mengabari orang ini.
Atau mungkin tidak?
Tanpa disadarinya, gadis itu tersenyum menyadari pemuda yang sedari tadi ditunggunya, tiba-tiba membuka pintu ruangan, masuk lalu menutupnya kembali. Pemuda itu duduk di kursi, menatapnya lekat-lekat, tapi tak juga mengeluarkan suara.
“Hai?” sapa Hanna karena pemuda ini hanya diam. Pelan-pelan, disembunyikannya handphonenya di bawah bantal, dengan terlebih dahulu mengunci layarnya, sebelum pemuda ini menyadari jika sedari tadi Hanna membaca pesan singkat mereka.
Pemuda itu masih mengunci matanya, dalam diam. Sampai Hanna jadi merasa canggung hingga memalingkan wajah. “Lo mau diem aja disitu?” tanya Hanna sambil memainkan jemari tangannya. Tapi tak lama karena pemuda itu kini meraih tangan gadis ini, membawanya dalam genggamannya. Hanna hanya memperhatikannya, tak menariknya, tak juga protes, membiarkan tangannya dalam genggaman pemuda ini.
“Syukurlah lo nggak papa.” Akhirnya Ronin bersuara. Dirinya semakin mempererat genggamannya seperti tak akan pernah melepaskan tangan gadis ini.
Hanna menatapnya lekat-lekat. Memperhatikan inci demi inci wajah pemuda ini. Lalu dia menangkap sesuatu. “Ronin,” panggilnya. Alisnya berkerut menunjukkan keseriusannya. “Lo berantem lagi?” tanyanya sambil melepaskan tangannya dari genggaman Ronin, kini beralih memegangi wajah Ronin yang penuh luka.
Hanna mendecak. “Lo itu nggak bisa apa ya anteng sebentar? Doyan banget tawuran,” omelnya jadi sebal sendiri. Dirinya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, mencari sesuatu. Menemukan tasnya di atas lemari dekat jendela. “Ambilin tas gue gih,” perintahnya membuat Ronin mendelik.
“Hah?”
“Masak harus gue yang ambil,” Hanna beranjak sedikit membuat Ronin tergupuh berdiri untuk mengambil tas gadis itu.
Hanna mengulum senyum melihat pemuda itu yang langsung tanggap membawakan tasnya, tapi lalu berdehem menyembunyikan senyumnya lagi.
Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah pouch berukuran sedang. Mengeluarkan beberapa perlengkapan medis dari dalamnya. Hanna memang selalu membawa perlengkapan medis yang lebih mirip P3K ini kemana-mana, berjaga-jaga kalau ada sesuatu.
"Lo itu udah dibilangin jaga diri sendiri, rawat luka." Hanna menarik lengan baju pemuda ini agar mendekat, lalu dengan telaten mengobati lukanya satu per satu.
Ronin terhenyak, tapi tak ayal menerima perlakuan gadis di depannya ini. Dia mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan kecil Hanna yang tiba-tiba.
"Ya kan ada elo." Entah kenapa Ronin malah mengatakan hal ini.
Hanna menyipitkan mata. "Lah siapa gue?" tanyanya sambil menempelkan plester di dahi Ronin.
"Nah itu yang pengen gue tanyain, siapa elo?" Ronin memegang tangan Hanna yang akan membuka plester lagi. Hanna segera memukulnya membuat pemuda itu meringis. Meskipun lagi sakit, ternyata kuat juga ya.
"Gue Hanna." Hanna mengulang jawabannya sembari menempelkan plester, kali ini di dagu Ronin. Membuat Ronin memutar bola matanya bosan.
"Kenapa lo selalu bantu gue?"
Hanna terdiam sejenak. Matanya bergerak ke kiri kanan seperti berpikir. "Nggak tahu, otomatis," jawabnya cuek. Kini ganti memeriksa lengan Ronin, siapa tahu ada yang luka seperti waktu itu.
Ronin terdiam, tak lagi bertanya atau pun bicara. Dia malah menunjukkan luka-lukanya yang mungkin sudah agak lama dan hampir sembuh. Tapi Hanna juga tak protes dan tetap telaten mengobati luka-luka itu.
"Sekarang ganti gue yang tanya." Hanna merapikan isi pouch nya. Pekerjaannya telah selesai. "Lo doyan banget tawuran, ada alasan?" tanyanya. Jemari tangannya yang mungil perlahan berusaha meraih jemari tangan Ronin yang kekar dan besar. Tapi terlambat karena Ronin sudah lebih dulu menggapai tangannya dan menggenggamnya erat.
Hanna hampir berpikir kalau Ronin kini tergila-gila pada tangannya.
"Kalau gue cerita, lo percaya?" tanya pemuda itu sambil menggenggam jemari tangan Hanna kian erat. Seakan dirinya tak akan melepaskan gadis itu barang sedetik pun.
"Mungkin?"
Ronin berdehem. Menyandarkan diri ke kursi. Menimbang-nimbang apakah dia perlu bercerita atau tidak. Matanya memandang mata Hanna yang masih memandangnya lekat-lekat.
"Gue nggak masalah kalau gue yang dihina, tapi gue nggak terima kalau itu nyokap gue, satu-satunya orang yang gue punya." Terdiam sejenak. Ditatapnya mata hitam cantik itu yang masih memandangnya dengan tenang.
"Bukan salah nyokap gue kalau nyokap gue jadi single parent. Bukan salah nyokap kalau harus merawat gue sendirian. Bukan salah nyokap gue juga kalau gue nggak pernah mengenal sosok ayah gue, karena meninggal semenjak gue bahkan masih di kandungan. Tapi mereka dengan seenaknya bilang kalau gue nggak pernah punya ayah, nyokap nggak pernah nikah tapi punya anak, dan lebih parahnya lagi, selama ini nyokap kerjanya jadi wanita gak bener." Ronin memejamkan mata, menahan emosi yang menyesakkan dadanya. Untuk pertama kalinya, dia bercerita pada orang lain.
Hanna melepaskan genggaman tangan Ronin, lalu beralih menepuk pundak pemuda ini menenangkan. Dirinya tak pernah berpikir sejauh ini. Selama ini dia sibuk menyalahkan pemuda yang selalu menghajar temannya sana sini, tak pernah mencari tahu akar masalahnya, yang ternyata dia sendiri lah korban sesungguhnya, bukan orang lain.
"Salahkah kalau gue emosi?" Ronin bertanya lemah. Perasaan berkecamuk, entah kenapa dia jadi emosional setelah bercerita.
Hanna memandangnya iba. Menyadari betapa terlukanya pemuda di hadapannya ini selama ini. "Nggak salah, lo harus belain apa yang seharusnya dibela." Gadis ini masih mengusap-ngusap pundak, lengan, dan tangan Ronin. "Tapi, tetap jaga diri, jangan sampai terluka," pungkasnya kini ganti menggenggam tangan Ronin dengan erat.
Pemuda itu terhenyak. Untuk pertama kalinya, ada yang membelanya. Dipandangnya gadis yang semakin hari semakin membuatnya tak karuan ini. Gadis yang membantunya, merawatnya, menolongnya, membelanya. Gadis yang tak menghakiminya dan bersedia mendengarkan ceritanya. Juga gadis yang percaya padanya.
Ronin harus bagaimana menghadapi gadis seperti ini?
"Han.." Ronin berbisik. Napasnya kian berat. "Kalau gue jadi suka sama lo gimana?" tanyanya pelan tepat di hadapan gadis itu. Tangannya membelai rambut Hanna dengan lembut. Lalu berganti mengelus pipi bulat itu yang kian kemerahan.
"Lo tahu gue suka sama siapa." jawab Hanna yang juga berbisik. Namun sikapnya seperti menunjukkan sebaliknya. Gadis itu menarik lengan kekar pemuda ini agar semakin merapat. Mengelus lengannya perlahan. Lalu jemari tangannya merambat ke punggung Ronin yang kokoh.
Ronin tak sanggup lagi menahan segala sentuhan ini. Matanya kembali terpejam. Tapi wajahnya kian mendekat. "Nggak papa, tapi gue juga bisa bikin seseorang jadi balik suka ke gue." Bisiknya tepat di telinga Hanna.
Hanna tetap tak beranjak sekalipun jempol kasar Ronin mengelus bibirnya yang memerah secara alami. "Caranya?" tanyanya sambil tersenyum miring.
Jeda. Tak ada lagi yang berbicara. Karena kedua muda mudi ini semakin merapatkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya tanpa suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments