Pagi yang cerah, tapi tak secerah wajah gadis ini. Sejak sampai di kelas tadi, gadis itu sudah menyandarkan kepalanya di meja, tampak tak bertenaga untuk sekedar menegakkan tubuhnya. Ia tampak pucat, memegangi perutnya membuat gadis di sebelahnya berkali-kali menoleh khawatir.
“Hanna pulang aja gih.” Felline menyarankan. “Kamu pucet banget loh.” Gadis itu memandang Hanna khawatir.
Hanna menggeleng lemah. Entah kenapa dia malas sekali untuk kembali ke rumah. Padahal sudah rutinitasnya memang tak masuk setiap bulan sekali karena hari pertama haidnya yang sangat menyakitkan ini.
“Kalo nggak pulang, ke UKS aja ya, aku anter.” Felline kembali bersuara. Gadis itu memegangi tangan Hanna.
Hanna menoleh. “Enggak ah. Masak masih pagi udah ke UKS.”
“Ya nggak papa lah. Daripada kamu kesakitan kayak gini. Minimal disana kan kamu bisa istirahat sebentar. Aku antar ya?”
Hanna terdiam sejenak. Gadis itu beranjak perlahan. “Kayaknya gue sendiri aja deh.”
“Hanna.”
Hanna menggeleng cepat. “Nggakpapa, gue nggak bakal pingsan. Lagian bentar lagi masuk juga.” Hanna tersenyum. Gadis itu lalu berdiri, berjalan perlahan dengan sisa-sisa tenaga yang Ia punya.
Dia keluar kelas. Sepuluh menit lagi, jam pelajaran pertama akan dimulai. Sehingga ada banyak siswa yang baru datang yang tampak tergesa masuk ke kelasnya. Hanna sampai di belokan menuju UKS saat ada seseorang yang menyentuh tangannya.
"Hanna? Mau kemana?" tanya pemuda itu. Terdiam sesaat memperhatikan Hanna. "Lo kok pucet banget? Lo sakit?" Pemuda itu menempelkan punggung tangannya di dahi Hanna.
Hanna menatap manik pemuda itu yang tampak sangat khawatir. "Ken.." Entah kenapa, seperti tak ada tenaga untuk menjawab pertanyaan pemuda ini.
"Lo mau pulang? Gue anter."
Hanna menggeleng lemah. "Nggak. Mau ke uks."
Ken memperhatikannya sesaat. Gadis di depannya sangat keras kepala. Rasanya hanya akan membuang-buang waktu jika dia terus memaksa gadis ini pulang. "Ayo kalo gitu."
"Hmm?"
"Ayo gue anter." Dan lagi-lagi, Hanna tak punya kekuatan untuk menolak pemuda ini.
Mereka berjalan beriringan. Ken memegang lengan Hanna. Gadis itu juga tak menolak, mungkin terlalu lemah untuk itu. Hanna juga tak seberapa mempedulikan meskipun ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka. Tujuan Hanna hanya segera sampai di UKS agar dirinya bisa berbaring atau sekedar bersandar karena perut dan punggungnya rasanya sudah seperti tertusuk-tusuk tak karuan sekali.
Mereka sampai di UKS. Ken mendudukkan Hanna di salah satu ranjang, lalu mengambil segelas air minum untuk gadis itu. "Lo mens kah?" tanya Ken seraya menyerahkan air itu. Hanna menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kenapa masuk sekolah? Bukannya biasanya juga istirahat di rumah?"
Hanna juga bingung mengapa dia memaksakan berangkat ke sekolah pagi ini.
Tapi di rumah seharian bosen juga.
Atau mungkin ada alasan lain?
"Gue beliin teh hangat ya? Air hangat di botol, mau? Cemilan, lo mau apa?" Ken menawarkan. Pemuda itu mengusap jemari tangan Hanna.
Hanna menatap pemuda itu yang masih menatapnya lekat-lekat. "Teh hangat aja Ken, sama air hangat kayak biasa."
"Oke, gue tinggal sebentar ya, lo jangan kemana-mana." Ken mengusap rambut Hanna pelan.
Saat Ken akan beranjak, Hanna menyentuh lengan pemuda itu membuat Ken kembali berbalik menatapnya. "Makasih, Ken," ucap Hanna tulus. Ken tersenyum. Pemuda itu kembali menyentuh puncak kepala Hanna lalu bergerak melesat keluar.
Hanna menatapnya dalam diam. Temannya itu, atau sering dibilang sahabatnya itu, yang dulu selalu jadi partner dan rival segalanya bagi Hanna, apa harus sebaik ini? Apa harus se perhatian ini? Bagaimana Hanna menjaga hatinya agar tetap kuat kalau masih begini?
"Kenapa susah sekali, Ken." Gadis itu menggumam.
Perhatian Hanna teralihkan saat pintu ruangan terbuka diikuti oleh seorang pemuda yang masuk. Pemuda itu menemukan keberadaan Hanna, menatapnya khawatir, lalu menutup pintu. Kini berjalan tergesa menghampiri gadis itu.
"Lo sakit? Lo kenapa?" tanyanya sambil memegang pipi Hanna. Tangan kirinya meraih jemari gadis itu dan memegangnya erat.
"Kok lo tau gue disini?" Mengabaikan pertanyaan Ronin, Hanna bertanya sebaliknya.
"Perasaan gue gak enak. Lo ga bales chat. Gue tanya Jun, katanya lo keluar kelas, kondisi pucet banget. Jadi gue mikir lo pasti kesini." Ronin semakin mengeratkan pegangannya pada jemari Hanna. "Lo kenapa, Princess? Sakit apa? Kenapa nggak pulang aja?"
Hanna menelan ludah. Malu, jika harus menjawab kondisinya. Tapi terus harus jawab apa? Sakit perut?
"Perut gue sakit."
"Gara-gara sambel kemarin?"
Sepertinya Hanna salah menjawab. Pemuda itu kini telah menatapnya kesal sekaligus khawatir.
"Enggak," jawab Hanna singkat, masih bingung bagaimana harus menjelaskan. Pasalnya, yang tahu bagaimana kondisinya setiap bulan hanya keluarganya, juga Ken tentu saja. Felline bahkan baru tahu hari ini.
"Terus?"
Hanna menghela napas. "Gue mens, Ronin. Hari pertama. Perut sampai ke punggung gue sakit. Banget."
Ganti Ronin yang menelan ludah. Dia tidak pernah menghadapi perempuan dengan kondisi yang seperti ini. Mamanya jarang di rumah, dan tak pernah sekalipun mengeluhkan hal-hal seperti itu.
"Dikasih apa biar nyaman, sayang?" Pemuda itu menjumput anak rambut Hanna yang berjatuhan di wajahnya, lalu menyelipkannya pada belakang telinga gadis itu. Tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Hanna.
Tepat pada saat itu, pintu ruangan kembali terbuka. Muncul Ken yang terpaku di ambang pintu. Pandangannya tertuju pada jemari pasangan ini yang masih terpaut. Namun ia bisa segera menguasai diri. Dirinya berjalan pelan ke arah rak kecil di sudut ruangan. Mengambil gelas kosong, memindahkan teh hangat dalam plastik ke gelas tersebut. "Gue bawain teh hangat," katanya sambil menaruh gelas itu ke nakas dekat ranjang Hanna. "Sama ini buat perut lo," lanjutnya kini menaruh botol berisikan air hangat.
Ronin memandang pemuda ini tak suka. Lalu beralih memandang Hanna, meminta penjelasan.
"Gue papasan sama dia waktu mau kesini." Hanna menjelaskan.
"Nggak usah cemburu gitu. Hanna masih sahabat gue." Ken menambahkan dengan seringai nya.
Ronin tersenyum miring. Pemuda itu memandang remeh ke arah lain. "Ya, asal lo nggak usah cemburu juga," balasnya. Hanna menarik tangannya agar pemuda itu diam.
"Makasih, Ken." Hanna tersenyum. "Mending lo balik kelas, sudah masuk dari tadi gitu."
Ken kembali menatap Hanna. Pemuda itu beralih menatap tangan keduanya yang sedari tadi terpaut, sepertinya tak ada niatan untuk dilepaskan. "Oke." Dia akhirnya mengalah. "Lo jangan macem-macem sama Hanna." Pesannya pada Ronin sambil masih menatapnya tak suka.
Ronin balas menatapnya. "Suka-suka gue sama Hanna lah," balasnya ikutan ketus. Membuat Hanna kembali menarik tangannya agar dia tak terus-terusan membicarakan hal-hal yang memicu konfrontasi.
Hanna meminta Ken pergi. Pada akhirnya pemuda itu pun pergi meninggalkan sahabatnya bersama dengan pemuda yang sangat tergila-gila padanya.
"Lo mau ini?" tawar Ronin mengangkat gelas berisikan teh hangat yang tadi sudah dibeli Ken. Hanna mengangguk, meraihnya lalu meneguk nya perlahan. Kini menaruhnya kembali.
"Ini buat apa?" Ronin ganti mengambil botol berisikan air hangat.
Hanna meraihnya. "Ini ditaruh di perut, biar hangat, biar nyaman." Gadis itu perlahan menarik baju seragamnya yang tertata rapi di balik roknya, menariknya sedikit, membuka satu kancing bawahnya, lalu menaruh botol tersebut di atas perutnya yang terbuka sedikit. Sambil menggulirnya perlahan.
Ronin bahkan sampai harus menahan napas melihat gerakan gadis ini.
Bisa-bisanya dia seperti akan membuka baju di depan pemuda ini?
Tapi tunggu, kalau Ken yang membawa ini, apa itu artinya Ken juga tahu kebiasaan Hanna?
"Lo juga kayak gini di depan Ken? Asal narik-narik baju lo gini?" Jujur saja, ada segurat emosi yang Hanna tangkap dari nada bicara pemuda ini.
"Enggak, gue suruh dia keluar dulu." Hanna tersenyum. Gadis itu sudah lebih baik sekarang.
"Kok lo nggak suruh gue keluar dulu?" Ronin kembali bertanya.
Hanna meneguk ludah. Gadis itu juga bingung kenapa dia santai saja begitu. "Mmm ya lo pasti nggak mau kalo gue suruh keluar dulu."
Ronin menyeringai. "Lo yakin itu alasannya?" Pemuda itu menatap perut Hanna yang sedikit terekspos. Mengelus nya perlahan membuat Hanna harus berusaha keras menahan napas merasakannya. "Lo membiarkan bagian perut lo terekspos di depan gue loh," lanjutnya kembali menyeringai. Pemuda itu begitu menikmati ekspresi Hanna yang berusaha menahan rasa geli sekaligus nyaman yang Ronin sebabkan. Pemuda itu semakin tertantang untuk melanjutkan aksinya hingga ke balik seragam gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments