Ronin IPS 3: Atap.
Hanna mendengus membaca pesan di handphonenya. Masih ada sisa waktu 15 menit lagi sebelum ia harus memulai rapat singkatnya dengan para anggotanya di osis. Awalnya Hanna akan mampir ke kantin membeli roti untuk mengganjal perutnya, tapi membaca pesan ini membuatnya mengurungkan niat.
Gadis itu dengan tenang menaiki tangga menuju ke atap gedung. Beberapa siswa yang akan pulang tampak menatapnya sinis, tapi Hanna tidak peduli. Gadis itu sampai di atap gedung saat matahari terasa membakar kepalanya tepat di atasnya. Tampak Ronin di sudut gedung membelakanginya, sambil sesekali menghisap rokoknya yang sudah hampir habis. Hanna mendengus, apa pemuda ini tidak takut hitam sama sekali?
Hanna menyilangkan tangannya di dada sambil bersandar di tembok, menghindari sinar matahari. Ronin yang menyadarinya segera mematikan api rokoknya lalu membuangnya, membuat Hanna mengulum senyum sesaat.
“Lo belum mau pulang?” Ronin bertanya sekedar basa-basi. Padahal dia sebenarnya tahu kalau gadis itu akan rapat singkat dengan osis, setelah membaca pesan May di grup chatnya bertiga dengan Jun. Itulah yang membuatnya meminta gadis itu untuk kesini.
Hanna hanya menggeleng. Menatap teman-temannya di bawah sana yang berhamburan ingin segera pulang. Gadis itu tersenyum miris. Sepertinya menyenangkan sekali punya banyak teman seperti itu, pikirnya.
“Ini buat lo.” Ronin menyerahkan bungkus rokoknya ke tangan Hanna, membuat gadis itu melayangkan tatapan membunuh sembari mendecak. Ronin terkekeh pelan, “sorry salah,” lanjutnya sambil menukar rokoknya dengan sebatang coklat yang masih utuh. Gadis itu menatapnya bingung. “Lo kayaknya belum sempat makan siang. Ini juga bagus biar otak lo makin encer.” Ronin berkata asal, menyadari kebingungan gadis di hadapannya.
Hanna masih menatapnya. Butuh waktu beberapa detik buatnya untuk memahami maksud Ronin hingga gadis ini pun akhirnya menerima coklat itu. “Makasih ya,” katanya sambil tersenyum manis.
Ronin terhenyak. Dia hampir lupa kalau gadis itu memang secantik itu. Senyumnya benar-benar mengingatkannya bahwa gadis yang dicintainya benar-benar sangat cantik, terasa sangat sulit diraih. Pemuda itu segera memalingkan wajah, menyembunyikan pipinya yang sedikit memerah hanya dengan melihat senyuman Hanna.
“Lo nyadar sesuatu nggak sih?” Ronin bertanya sambil menatap ke bawah, ke arah halaman sekolahnya yang mulai sepi.
“Apa?”
“Kalau lo itu sangat cantik.”
Ronin masih tak melihat wajahnya.
Hanna ternganga. Pipinya sedikit memerah. Tapi segera disembunyikannya dengan senyum khasnya yang biasa. “I know,” jawabnya membuat Ronin terkekeh.
“So arrogant.”
“Ya, its me.”
Ronin mengulum senyum. Pemuda bermata elang itu perlahan menipiskan bibir. “Ya, dan gue mencintai orang sombong itu,” gumamnya. Wajahnya semakin berpaling, entah kenapa lebih tertarik pada tembok di sebelah kirinya. “Di waktu yang tidak tepat,” lanjutnya lagi kian lirih.
Hanna terdiam. Gadis itu memandang Ronin lurus-lurus, mencari kebenaran dari setiap perkataan pemuda ini.
"Ronin."
Ronin menoleh. Mata mereka bertemu. Hanna tak melihat keraguan sedikitpun di mata elangnya. Hanya sorot mata kasih sayang namun frustasi yang pemuda ini berikan.
“Lo bilang akan menemukan cara bikin gue berbalik ke elo?”
Ronin mengangguk. Sorot matanya begitu lembut. Hampir saja Hanna menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam pelukan pemuda ini kalau saja dia tak ingat sedang berada di sekolah.
“Lets try.” Gadis berambut panjang ini mengulum senyum. Matanya semakin berbinar melihat raut wajah Ronin yang mulai merekah. Gadis itu mengedipkan sebelah mata sambil mengayunkan coklat pemberian Ronin. Mundur perlahan, tersenyum manis hingga mampu membuat Ronin membeku di tempatnya.
Hanya dengan satu senyuman gadis yang katanya angkuh ini.
—
Satu senyuman itu tak dapat ditahannya saat gadis itu naik ke motornya. Beberapa pasang mata tampak melihat mereka tapi dia tak seberapa peduli. Pemuda itu menoleh sejenak melalui spion motornya, memastikan gadis itu baik-baik saja.
“Mau makan apa?” tanyanya basa-basi.
“Lo nggak punya rencana?” Gadis itu balik bertanya. Membuat Ronin menggeleng tak mengerti.
“Kan lo yang tiba-tiba ngajak gue pulang bareng.”
“Lah emang iya?”
Ronin menggeleng tak percaya. Susah juga berhadapan dengan gadis yang memiliki harga diri tinggi begini. Mengakui sesederhana begitu saja tak mau?
Pemuda itu akhirnya memutar otak. Memperhatikan jalanan yang dia lewati. Lalu menghentikan motornya di depan sebuah restoran ayam cukup terkenal dengan pak tua yang ikonik.
“Hmm not bad.” Hanna menggumam. Membuat Ronin ingin sekali mencubit pipi gadis ini saking gemesnya. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan setelah memarkir motornya.
Untungnya suasana tak begitu ramai sehingga mereka tak mengantri begitu lama. Ronin segera menyebutkan pesanannya, lalu menunggu gadis di sebelahnya menyebutkan pesanannya sendiri.
“Chickennya dua, nasi satu, sama minumnya mango float aja ya mbak,” pesan Hanna lugas membuat Ronin sedikit terpana. Gadis itu bahkan tanpa malu memesan dua ayam saat kencan pertamanya? Menarik sekali.
“Maaf mango float kosong kak. Float tinggal Mocha float saja.”
Hanna mencebikkan bibir merasa kecewa minuman kesukaannya tak ada. “Kalau gitu lemon tea aja,” jawabnya sambil tersenyum setengah kecewa.
“Lo nggak suka kopi?” tanya Ronin masih memperhatikan gadis itu. Hanna hanya menggeleng membalasnya membuat Ronin semakin menemukan sesuatu yang menarik dari gadis ini. “Lo suka begadang tapi nggak suka kopi?” tanyanya memastikan.
“Emang ada hubungannya?”
“Lah lo begadang, belajar sampai malem gitu pake apa biar betah?”
“Pake niat?” Hanna menjawab, lebih terdengar seperti pertanyaan.
Ronin tertawa mendengar jawaban gadis itu. Benar-benar jauh dari perkiraan. Gadis ini benar-benar berbeda. Benar-benar penuh percaya diri. Benar-benar angkuh yang justru membuatnya semakin gemas. Pemuda itu tanpa segan mencubit pipinya yang halus. “Hih, gemes gue lama-lama.”
Ronin tak menyadari, tindakannya membuat pipi gadis itu memerah. Hanna merasakan seluruh aliran darahnya sampai ke pipinya.
—
Hari telah menjelang sore. Ronin membawa gadis itu berkeliling di taman tempat dia biasanya berkumpul dengan Jun dan sahabatnya, Mayleen. Hingga akhirnya Ronin menghentikan motornya tepat di samping sebuah lapangan basket yang kosong. “Lo bisa main basket?” tanyanya pada gadis itu.
Hanna mengangguk sekilas. Membuat Ronin semakin tercengang. Well, gadis itu bisa melakukan apa saja.
Ronin meminggirkan motornya. Berjalan masuk ke lapangan diikuti oleh gadis itu. Pemuda itu lalu mengambil bola basket yang tergeletak di tengah lapangan. Melemparnya pada Hanna yang langsung ditangkap dengan baik oleh gadis itu. Membuat Ronin sekali lagi melongo saking kagumnya. “Woahh..”
Hanna tak mengerti. Masih memegang bola itu seraya memandang pemuda itu meminta penjelasan. Yang langsung melongo kaget saat Ronin menggumamkan ‘ayo main’ dengan bibirnya.
“Lo gila, nggak!” tolak gadis itu tegas. Ronin mencebikkan bibirnya kecewa. “Gue pake rok,” lanjutnya lagi memberi penjelasan.
“Halah nggak papa, cuma main sebentar. Lo pasti jarang olahraga.” kata Ronin seenaknya.
Hanna segera meliriknya tajam. “Enak aja, gue kadang jogging kalo sore.”
Ronin tertawa. “Ok, berarti lo udah biasa lari.” Pemuda itu diam sejenak. “Hmm gini aja, bikin 1 point aja, gue anggap lo menang.”
“Lo ngeremehin gue banget?”
“No, Princess. Cuma katanya biar lo nggak capek? Apa susahnya sih bikin 1 point aja?” Memang Ronin tahu cara mempengaruhi gadis itu. Pemuda itu mengulum senyum saat tahu Hanna akhirnya setuju dengan permintaannya. Matanya mengekori Hanna yang berpindah sejenak menaruh tasnya di tempat yang aman, lalu mulai mendrible bola.
Well, Ronin harus berkali-kali terpana pada gadis ini. Kesempurnaannya benar-benar another level. Bagaimana mungkin cewek cantik, kaya, cerdas, elegan, tapi juga bisa olahraga? Mari kita lihat sejauh apa kemampuan gadis ini.
Hanna mendrible bolanya, mencari celah untuk melewati pemuda tinggi itu agar sampai ke ring di belakangnya. Gadis itu memutar, berbelok, berusaha mengecoh Ronin. Namun sebelum dia sampai ke ring, pemuda itu dengan mudah melewatinya dan sekali hentakan memasukkan bolanya dengan mudah.
Hanna tak menyerah, mencoba sekali lagi merebut bola dari Ronin, sekali dua kali berhasil, namun belum sampai melemparnya ke dalam ring, Ronin sudah terlebih dahulu merebutnya dan kembali mencetak angka.
Berkali-kali seperti itu.
Ronin menyeringai saat menyadari gadis itu yang mulai tersulut, berusaha lebih keras. Gadis itu sepertinya memang sulit menerima kekalahan. Sebenarnya, cara dia bermain sudah cukup bagus. Untuk ukuran seorang perempuan yang tak punya basic olahraga, she is a good one.
Tapi beda lagi kalau lawannya Ronin, preman sekolah yang sudah pasti jago olahraga. Tenaganya lebih besar. Larinya juga pasti lebih kencang. Hanna jelas bukan tandingannya. Tapi ya namanya juga Hanna, sekali lagi, gadis itu tak menerima kekalahan.
Hanna akhirnya kembali merebut bola, gadis itu dengan cepat berusaha menuju ring basket. Kali ini, Ronin tak berusaha merebut, membiarkan gadis itu melewatinya. Saat akan melompat, memasukkan bola, dengan siaga Ronin menangkap tubuh Hanna, mengangkatnya hingga semakin ke atas, hampir menyentuh ring. Hingga akhirnya gadis itu dengan mudah mencetak angka. Pada akhirnya, gadis itu mencetak angka dengan susah payah.
Ronin masih memegang pinggangnya, saat gadis itu perlahan turun dan berbalik ke arahnya. Wajahnya riang sekali, tapi seketika berubah saat memandang Ronin. Wajahnya berubah merah saat memandang mata elang itu yang juga sedang memandangnya dengan begitu intens.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments