Hari menginjak sore saat Ken menyelesaikan pidato penutupnya. Pemuda itu lalu membubarkan rapat dan mengijinkan teman-teman osisnya meninggalkan ruangan.
Tak butuh waktu lama, satu per satu temannya segera meninggalkan ruangan. Mayleen beranjak dari kursi, menyentuh bahu Hanna sejenak, lalu menyapa Ken, pamit pulang juga bersama yang lain.
Sementara Hanna masih sibuk merapikan barangnya, meraih handphonenya lalu mengirim pesan pada Ronin jika ia selesai. Akhir-akhir ini memang Ronin sering mengajaknya pulang bersama. Entah itu benar-benar langsung pulang, atau melipir dahulu sekedar makan bareng atau mencari jajanan. Hanna sering kali menolak, meskipun aslinya senang juga ada yang menemaninya, tapi kalau harus menunggu Hanna begini tak enak juga. Tapi pemuda itu sepertinya senang-senang saja, katanya toh di rumah tak ada orang jadi buat apa buru-buru pulang.
Kembali pada Ken, pemuda tampan itu tampak tak segera meninggalkan ruangan, justru dia dengan sabar menunggu Hanna sambil memandangi gadis itu yang tampak sibuk sendiri. Hanna baru menyadarinya saat gadis itu telah selesai dan akan beranjak keluar.
Mata mereka bertemu. Ken hanya memandangnya, membuat Hanna bingung sendiri. “Lo.. nggak pulang?”
“Nunggu lo.” Ken diam sesaat. “Gue anter ya? Mau ngobrol.”
Hanna yang masih berkutat pada handphonenya, kini memusatkan perhatiannya pada Ken. “Ngobrol apa?”
“Sambil jalan aja gimana?”
Hanna memandangnya lekat-lekat, berusaha mencari maksud dari pemuda ini. “Ken, gue mau pulang sama Ronin.”
Jujur saja, Ken sudah menduga ini namun tetap tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Jadi bener lo lagi sama dia? Dari semua orang, Han, really?”
Hanna menghela napas. Gadis itu menyandarkan punggungnya di dinding. “Apa ada yang salah?”
“Hanna, he is dangerous. Dia bisa bawa lo ke dalam bahaya.”
“Bahaya seperti apa contohnya?”
“Lo tahu maksud gue. Lagian, dia juga belum tentu tulus sama lo.”
“Ken, lo gak berhak ngomong gitu.”
“Hanna, gue ngomong gini karena gue peduli sama lo.”
Hanna kehilangan kata-kata. Gadis ini memandang kecewa pada pemuda yang juga memandangnya dengan cara yang sama. Suasana hening sejenak, butuh waktu beberapa detik bagi Hanna untuk menguasai emosinya.
“Ken, just let me go.” Hanna setengah memohon. “Gue nggak bisa ngelupain lo kalau lo masih terus kayak gini ke gue.”
Ken sama frustasinya. Pemuda itu memegang pergelangan tangan Hanna, mencoba membuat gadis ini mengerti. “Tapi gue nggak bisa ngebiarin lo gitu aja, Hanna. Gue sayang sama lo, gue peduli sama lo.”
Sementara kedua muda mudi ini berdebat, tanpa mereka sadari ada seorang gadis yang tanpa sengaja mendengarkan apa yang mereka katakan. Gadis itu awalnya baru kembali dari rumah. Kembali ke sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler di sore hari, namun sengaja mampir ke ruang osis untuk menyapa kekasihnya sejenak. Namun diurungkan niatnya, berbalik diam-diam, mencoba agar tak ada yang tahu, namun sayangnya saat berbalik, dirinya malah berpapasan dengan seorang pemuda bermata elang.
Pemuda bermata elang itu hanya memandangnya pergi, lalu kembali meneruskan perjalanan ke ruang osis, untuk menjemput gadis yang sangat disayanginya. Namun langkahnya terhenti saat samar-samar mendengar perdebatan mereka dari luar.
“Ken, please.” Hanna menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak menangis. Ada rasa sesak di dadanya. “Jangan bikin gue berharap lagi ke elo. Jangan mengatakan sesuatu yang bikin gue salah paham.” Hanna memandang pemuda itu seutuhnya. “Lo tahu, I still love you. But I can’t ruin your relationship. Bantu gue buat ngelupain lo, Ken. Apa nggak bisa?”
Ken terdiam. Meskipun dia tahu perasaan gadis ini, namun untuk pertama kalinya dia mendengarnya langsung dari mulut Hanna. Mendengar seseorang mencintai kita saat kita dulu mencintainya dan berusaha melupakannya, kenapa miris sekali? Pemuda itu mencoba untuk tak goyah. Lagipula, bersama atau tidak, sudah seharusnya dia melindungi Hanna, toh gadis itu tetap sahabatnya.
“Apa caranya harus dengan bersama orang lain, Hanna? Apa harus dengan dia?”
“Gue tau apa yang terbaik buat gue, Ken. Gue juga bisa jaga diri gue sendiri.” Gadis itu menyentuh jemari tangan Ken, memegang dengan kedua tangannya. “Just trust me, and let me go.” Gadis itu melepas tangan Ken, beranjak meninggalkannya, namun baru beberapa langkah, dia berhenti. “Gue berharap kita bisa temenan lagi tanpa ada perasaan menyiksa ini, Ken.” katanya lalu kembali berjalan.
Gadis itu keluar ruangan, terkejut mendapati pemuda itu di luar, tersenyum manis padanya.
“Udah selesai?” tanya Ronin, masih dengan senyum manisnya. Hanna hanya melihatnya, mencoba memahami arti dibalik senyumnya, hingga pemuda itu pun menariknya pergi.
Hanna tak ada pilihan lain selain mengikuti pemuda ini. Mereka tak banyak bicara, hanya diam dengan pikiran masing-masing. Hanna bingung, apa yang harus dia katakan pada Ronin, pemuda ini pasti mendengarnya, namun kenapa dia sangat tenang sekali?
Sementara Ronin, pemuda itu juga tak tahu apa yang dia rasakan. Bahkan jika seandainya Hanna hanya memanfaatkannya demi melupakan Ken, dia akan tetap bersama gadis ini. Namun, benarkah Hanna hanya memanfaatkannya?
—
Hanna mengetuk-ngetuk jarinya. Sedari tadi dia tak fokus belajar. Pikirannya kemana-mana. Gadis itu teringat bagaimana sikap Ronin padanya. Pemuda itu memang tenang, tapi dia tak berbicara sama sekali. Hanya mengantarkan Hanna sampai ke rumah. Aneh sekali. Pemuda cerewet seperti itu bagaimana bisa tiba-tiba diam?
Apa Ronin marah padanya?
Apa Hanna harus tanya?
Dering handphone Hanna mengganggu fokusnya. Gadis itu mengalihkan perhatian, membuka chat grupnya yang tak terhitung banyaknya. Dia membacanya singkat, perhatiannya terhenti pada salah satu chat adik kelas di grup inti kepanitiaan yang dia bimbing.
Rachel X-3: Kakak, kelompok sudah kita bagi ya, besok pagi kita share. Let's have fun this weekend!
Ah iya, acara ini. Acara setiap tahun yang mengharuskan dia dan seluruh anak kelas sebelas di sekolahnya menjadi peserta. Semacam ldks, camping atau apapun itu, membuat mereka bermalam di sekolah. Katanya, tujuannya agar mereka bisa akrab dengan teman seangkatan, saling support, yang nantinya saling membantu saat kelas dua belas nanti.
Hanna sebenarnya kurang suka dengan kegiatan ini yang menurutnya hanya membuang waktu, tapi ya sudah, suka-suka sekolah saja. Toh dia bukan panitia, hanya membimbing sebentar agar adik-adik kelasnya bisa ambil alih and treat her and her friends so well. Semoga saja begitu.
Hanna kini mengabaikan pesan itu. Kini berganti memandang chatroomnya dengan Ronin. Pemuda itu sering kali mengiriminya pesan entah sekedar mengucapkan selamat malam atau menanyakan hal-hal yang menurut Hanna kurang penting. Namun kali ini, tak ada pesan sama sekali.
Apa Hanna harus mengiriminya pesan?
Hanna menggeleng. Mau ngomong apa dia?
Belum sampai gadis itu memutuskan apa yang harus dia lakukan, handphonenya kembali berdering, menampilkan nama Ronin yang memanggilnya.
Gadis itu menelan ludah, namun segera menerima teleponnya.
“Halo.”
“Hai.” Entah kenapa, Hanna tersenyum mendengar suara itu.
“Hmm.”
“Gue ganggu nggak?” Pemuda itu bertanya di seberang telepon.
Hanna menggeleng segera, namun akhirnya tersadar kalau Ronin tak mungkin melihatnya. “Enggak.”
“Lo lagi apa?” Pemuda itu bertanya lagi.
“Umm.. belajar.”
Ada suara tawa yang tertahan terdengar dari seberang. “Lo lagi belajar dan gue nggak ganggu lo?”
Benar juga, bukannya harusnya Hanna marah ada yang mengganggu waktu belajarnya?
Tapi toh sedari tadi gadis itu tak fokus karena pemuda ini kan?
“Ya lo bisa temenin gue belajar,” jawab Hanna akhirnya. Yang lagi-lagi dibalas suara tawa renyah dari seberang.
“Vc aja kalo gitu.”
Dan gadis itu pun akhirnya kembali belajar, dengan ditemani wajah dan jokes-jokes receh dari pemuda di seberang teleponnya.
—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments