Amira berdiri diatas trotoar, langkah kakinya terhenti melihat secara pasti akankah mobil Demien berhenti ataukah terus berlalu.
Tetapi terlihat lampu sen sisi kiri menyala sebagai tanda kendaraan roda empat itu akan segera berhenti. Hingga terdengar suara pintu terbuka dan terlihat sosok Demien keluar dari mobil itu.
"Papa, ngapain turun?" guman Amira tetap tenang sekalipun dadanya berdegup seperti music disco.
Hingga jarak mereka semakin dekat,
"Amira kenapa Alex turunin kamu disini? Kampus kalian kan sama?" tanya Demien melihat jarak tempat tujuan tinggal sedikit lagi. Sehingga membuat dirinya heran mengapa Amira harus turun dihalte bukan dikawasan kampusnya.
Sama sekali tak terbesit dalam benak Amira tentang pertanyaan Demien barusan, walaupun ada perasaan lega di hati kecilnya. Ternyata Demien datang kemari bukan untuk memarahi dirinya.
"Aa ... oh ... itu tadi Amira sengaja turun karena mau beli tisu di warung Pa ... he." kilah Amira menjadikan warung kecil disebrang jalan sebagai alat menjawab pertanyaan Demien.
Terkesan tidak mempercayai ucapan putrinya begitu saja, segera kepala Demien berputar melihat keberadaan warung itu.
"Oh, gitu ... em kamu ada jam pagi?" tanya Demien dingin.
"Ada sih Pa ... makanya sekarang berangkat pagi ... emangnya kenapa?" tanya Amira seperti melihat sesuatu yang akan dikatakan oleh Demien terhadap dirinya.
Setelah mengetahui ternyata Amira memiliki jadwal pagi dengan berat hati Demien mengulum kekecewaan memupus harapannya dipagi ini. Perasaan kaku dan canggung membuat Demien tak berani untuk mengutarakan maksud tujuannya datang.
"Pa?" panggil Amira melihat Demien malah melamun.
"Ah, gak papa ... Papa kira kamu gak ada jam pagi, rencananya mau ke makam jenguk Mama." jelas Demien memutar arah kakinya untuk pergi.
Bagai mendapatkan kesempatan langka, Amira tak mau menyia-nyiakannya.
"Yaudah Pa, kalo gitu Amira bolos aja gak papa kok." ucap Amira yakin tak perduli dengan mata kuliahnya demi menuruti keinginan Demien.
"Kamu serius? nanti kalo nilai kamu jelek gimana?" tanya Demien, walaupun hatinya merasa senang karena Amira mau berkorban. Tetapi sayangnya kerasnya hati Demian tak semeta luluh. Dia masih saja bersikap dingin dan acuh.
"Gak papa kok Pa ...kan sehari doang, ayo kita berangkat." ajak Amira ingin rasanya tangan itu menggandeng tangan Demien tapi dia tahu hubungan mereka tak sebaik dulu lagi. Terpaksa Amira gigit jari mencengkram kuat kepalan tangannya sebagai rasa rindu yang tinggi dengan keakraban mereka yang dulu pernah terjalin.
"Kalo gitu kamu naik kemobil Papa." kata Demien segera menuju pintu mobil.
Amira sebenarnya ingin duduk dikursi belakang, tetapi ketika dirinya membuka pintu depan dan ternyata reaksi Demien biasa saja dan tidak melarangnya. Demien segera melajukan mobilnya ke tempat pemakaman umum dimana Rani dulu dikebumikan.
*
Jam menunjukkan pukul 07.30 menit, mata kuliah pertama Axel akan berlangsung dikelas Amira.
Sejak awal kedatangannya dikampus Reyno mencari keberadaan Amira tetapi dirinya tidak menemukan gadis cantik itu dimanapun. Sehingga terpaksa memasuki kelas sendiri tanpa si cantik Amira.
Axel tiba dikelas, tetapi sorot matanya menemukan kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Amira.
"Loh, tumben Reyno duduk sendirian? Amira kok belum datang, tadi kan kita berangkat bareng?" batin Axel melihat terus kesana.
Satu-satunya orang yang memahami tingkah aneh Axel adalah Angel. Mata sinisnya itu ikut melirik ke tempat yang sedang diperhatikan oleh Dosennya itu.
"Oh, Kakak Tiri yang ganjen gak masuk? kok bisa ya? gue lihat ekspresi Pak Axel kayak kaget, atau jangan-jangan Amira udah diusir sama dia ? hihihi syukurin!" guman Angel memainkan pulpen dengan tangannya.
Selalu saja ada harapan buruk dari bibirnya untuk Amira, padahal Amira selalu bersikap baik pada Angel bahkan selalu mengalah.
Karena terus memikirkan kondisi Amira, pikiran Axel menjadi buyar terpecah belah. Dia sendiri tak sadar sedang melamun dan diperhatikan oleh para mahasiswanya.
"Pak? Pak Axel?" panggil Reyno melihat gelagat aneh dari Axel berniat untuk menyapa. Namun, sepertinya lamunan itu cukup dalam sehingga Reyno harus menguras suaranya untuk berteriak.
"PAKKK!" seru Reyno sekali lagi dan kali ini suaranya berhasil menyadarkan Axel.
"Ah, maaf maaf." kata Axel menggoyangkan ringan wajahnya untuk memusatkan kembali pikirannya. Walaupun dirinya sedang memikirkan nasib istrinya yang sekarang tak tahu ada dimana.
Setengah hati Axel meneruskan pekerjaan sebagai pengajar dikelas. Dia harus tetap profesional untuk menjalankan tugasnya ini.
Beberapa kali Axel melakukan kesalahan dalam penulisan ataupun materi yang Ia sampaikan. Dan mendapatkan kritikan dari anak didiknya, tetapi siapa tahu tentang isi hatinya yang sedang khawatir.
"Amira, kamu dimana?" guman Axel melirik ke celah jendela bening menembus pemandangan langit biru yang luas.
*
Sebelum mereka melangkahkan kaki masuk ke area pemakaman. Amira dan Demien berhenti untuk membeli bunga.
"Aku aja Pa yang bayar." ucap Amira memberikan sejumlah uang kepada penjual bunga.
Demien hanya mengangguk kecil memberikan kesempatan untuk putrinya, melihat isi dompet Amira dipenuhi banyak uang bewarna merah menyala, membuat gatal mulutnya untuk bertanya.
"Selama ini uang jajan kamu masih ditabung juga?" tanya Demien. Masih teringat jelas hobi Amira menyisihkan uang sakunya untuk ditabung. Sikap perhitungan yang diajarkan Rani memang masih tertanam dalam kepribadian Amira. Tetapi bukan itu alasan Amira memiliki uang sebanyak ini. Ini adalah uang nafkah mingguan Axel yang diberikan untuknya. Selama ini Demien tak tahu tentang kenyataan pahit yang telah dialami Amira. Eva tak pernah memberikan uang saku itu, dan hanya memberikan bekal nasi saja.
Perasaan gugup seketika Amira buang jauh-jauh, meskipun ditempat ini tidak ada siapapun dan bisa dijadikan tempat untuk mengadu. Amira sama sekali tak mau membuat pertengkaran besar bisa terjadi dirumah tangga Demien.
"He, iya Pa." jawab Amira berbohong, menyudutkan senyuman kaku dibibirnya.
Hati Amira lembut menurunkan sifat baik dari Rani.
Demien berjalan kembali, memimpin didepan mereka langsung menuju ketempat pemakaman.
Ada perasaan bahagia di hati Amira, Setelah sekian lama akhirnya Demian mau mengajaknya berbicara lebih dulu bahkan sampai rela datang ke Kampus untuk menjemput dirinya.
Setelah beberapa berjalan melewati deretan blok dan tiba di blok ketiga dari depan pintu gerbang pemakaman. sebuah nisan berwarna hitam dikelilingi rumput hijau dengan nama Rani Anisa tertulis disana.
Demien duduk berjongkok disusul dengan Amira melakukan hal sama.
"Hay Ma ... apa kabarnya? maaf ya Amira sama Papa baru sempat datang." sapa Amira mengusap lembut batu nisan.
"Rani, kamu bahagia kan disana?" sapa Demien menitikkan air mata karena rindu berat terhadap wanita yang lembut seperti Rani.
Suara tangisan yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya, Amira tak kuasa ikut serta menangis.
Banyak yang ingin Amira adukan kepada tempat tinggal terakhir Rani. Tetapi masih merasa sungkan karena Demien juga bisa mendengarnya. Apalagi dirinya merasa bersalah karena menjadi penyebab kematian Rani kala itu.
"Papa, maafin Amira ... coba aja waktu itu Amira gak pergi." isak Amira kembali mengungkit kejadian kelam.
Demien menatap tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments